Bayang-bayang itu selalu menggangguku, menyelimuti aku dengan segala keresahananku. Aku masih ingat kejadian itu, di mana aku mengutarakan perasaan yang timbul sejak Aku tiba di pondok beberapa tahun lalu. Bukan hal mudah, sebab di wilayah Pesantren, jangankan mengucapkan cinta. Bertemu dengan perempuan saja akan dikenakan sanksi yang berat. Aku pernah menghitung seluruh keramik yang ada di pondok pesantren akibat ketahuan memberikan selembar uang 5000 ke ummi. Memang caraku salah, aku memaanjat tembok setinggi 5 meter. Mungkin, bila aku menitip melalui Mudabiroh (pengurus perempuan) disana, ceritanya takan seperti ini.
“Aku mencintaimu, sungguh” ucapku, dengan memberikan uang yang aku pinjam waktu aku krisis moneter. Sontak ummi kaget dan membuka matanya selebar mungkin lalu tersenyum mendengar perkataan itu. Dengan diselimuti oleh jilbab berwarna putih dan disandingkan dengan baju yang mampu menutupi seluruh keindahan. Perlahan-lahan membelakangiku. “mi, jangan dengarkan aku lewat kata, sentuh aku dengan rasa, maka kamu akan tahu, cintaku tak mengenal suara”. Aku yang sedang dimabuk asmara, takan mengerti apa yang Aku katakan. Aku hanya menggambarkan apa yang Aku rasakan. Setelah itu, tugasnya hanya menjawab “iya, atau tidak”. “tapi,” ummi menjawab dengan terus membelakangiku. “Tapi apa?” aku maju dan berusaha berada tepat didepannya “tugasmu hanya perlu terus hidup, kebahagian, biarkan aku yang mengurusnya.”
Perlahan-lahan Ummi mengangkat kepala yang sedaritadi hanya menatap rumput hijau yang malang. Ia, memberanikan diri untuk menatap mataku. Aku memperlihatkan ketulusanku. Hembusan demi hembusan terasa menyelimuti Kami. “baiklah, tapi aku meminta 1 syarat, boleh?” ucap Ummi. “apapun itu” jawabku “tolong buatkan Aku seribu candi dalam semalem!” senyum tipis terlihat di raut wajahnya. “Ayolah, Aku serius. Syarat macam apa itu?” sahutku dengan penuh kecemasan akan syarat yang ditentukan.
Beberapa menit kemudian, Kami berdiam ditempat dan posisi yang sama. Aku menatatap wajah yang lugu itu dengan penuh suka-cita. Tak lama, ummi mulai mengatakan sesuautu melalui alat ucapnya. “sebelum mengatakan cinta, kamu perlu tahu definisi cinta sesungguhnya”. Setelah mengatakan itu, Ummi melangkah pergi dari hadapanku dengan menggenggam uang yang aku berikan. Dia pergi dan meninggalkan 1 kata yang penuh dengan tanda Tanya. Sebenarnya, syarat apa yang dia inginkan? Ketika aku sudah memberanikan diri mengucapkan perkataan cinta, seharusnya dia tau, aku menguasai hal itu?
Aku memutuskan untuk pergi, namun perkataan Ummi masih saja mengikutiku. Hingga Sore datang. Pohon-pohon di sekitar bergoyang diterpa angin penghujung siang, rumput-rumput menari nan indah dengan tempo yang selaras. Waktu semakin berputar, bulan mulai memeluk kampung dengan sinarnya.
Aku tersadar dari lamunanku dan perkataan ummi tadi, masih menjadi belenggu sampai saat ini. Perlahan-lahan aku bangkit dan membanjiri apa sudah Aku keluarkan tadi. Perkataan ummi tadi, masih menjadi rahasia di dalam hati. “Cinta? Aku mampu mengatakan Cinta? Akan tetapi, bila disuruh mendefinisikannya?” aku berfikir dengan keras. Namun, nihil hasilnya.
Aku keluar dari ruang 2×3 setelah menabung cukup banyak dan bukti transakasinya? Sudahlah, tidak perlu dipersoalkan. Aku berjalan dengan penuh kegelisahan. Tatapan mataku mengarah ke depan, namun fikiranku berterbangan dan berusaha mencari jawaban perkataan itu. Tiba-tiba, salah satu santri mencetus dengan nada humor. “sudahlah, ikhlaskan saja. Memang makanan semalam sangat menikmatkan, tetapi kalo sudah diproses oleh perut. Ga perlu difikirkan bukan?” salah santri berkata dan diselingi ketawa kecilnya. “Siapa si mikirin gituan, Saya lagi memikirkan hal …” seketika Aku terkejut dengan perkataan santri tadi. Aku tersadar dan mendapatkan jawaban yang selama ini aku fikirkan. “terima kasih, don! Saya megerti sekarang!”. Aku berlari dari tempat percakapan Aku tadi menuju kamar yang biasa Aku singgahi untuk beristirahat bila malam tiba. Aku mencari sepucuk kertas dan sehelai pulpen yang biasanya aku titipkan kepada lemariku.
Senyap dan sepi semakin erat menyelimuti. Angin tak lagi beraktivitas hari ini, mungkin hujan yang menghujam telah mematisurikannya. Dengan menggeggam sepucuk surat, aku mencari mudabiroh yang ada disekitaran sini. “Assallamu’alaikum, kak.” “walaikumsalam.” Balas Mudabiroh. “boleh menitip ini ke Ummi?” ucapku kepada Mudabiroh yang Aku temui dipersimpangan antara asrama putra dan asrama putri. “ummi mana? Yang bernama Ummi disini banyak.” Ucap mudabiroh dengan mempertegas apa yang aku maksud. “Ummi saraswati, yang ada di Gurfatu Tsani (Kamar 2) di dekat ruang mudabiroh itu.” sahutku memperjelas. Mudabir itu berfikir dan menerka siapa yang dimaksud aku. “ohh, Ummi anak Gondrong Sebrang itu? Lalu ini surat apa?” Mudabir itu tersenyum curiga. “ini surat titipan dari seseorang untuknya, Aku pun dititipkan tadi” sahut dengan penuh senyum manja. “hemmm.. baiklah, kakak mengerti, nanti kakak sampaikan ya. Yaudah, kakak masih ada urusan dengan midabir (Pengurus Laki-laki) untuk membicarakan acara nanti. Assallamu’alaikum.” Mudabiroh itu pergi meninggalkanku perlahan-lahan “Walaikumsalam.” Sahutku atas salamnya.
Aku tersenyum gembira atas tersampaikannya suratku. Aku percaya, surat itu pasti sampai ke tangannya, sebab orang-orang di pesantren selalu mengutamakan amanah dan tata krama.
Kelak, Aku mencari Ummi di mana pun dia berada. Dia balas atau tidak cintaku, Aku tidak peduli. Aku tak memaksa, yang mesti Dia ketahui, aku mencintainya tanpa ada embel-embel belaka. Cintaku bukan layaknya berdagang, bila Aku memberi, dia pun mesti menghampiri. Cukup mencintainya Aku sudah bahagia. Urusan jodoh, itu bukan urusan umat manusia.
Isi Surat:
Untuk Ummi.. Cinta adalah hal yang dapat diutarakan melalui media suara, kata, dan rasa. Cinta pun dapat berkembang melalui waktu, wajah, prilaku, dan prasangka. cinta pun akan terbunuh oleh media yang mengembangkan dia pula. namun, ketahuilah… Aku tahu Kopi akan terasa pahit jika diteguk utuh Aku pun tahu Gula akan meyakitkan bila ditelan berlebihan Aku tahu itu. Namun, Aku tak tahu, di mana batas rinduku ntukmu.
Mungkin Aku akan lenyap dengan waktu Tapi.. Tidak dengan rasaku
Mungkin Aku akan berlari menjauhimu Tapi.. Bukan kehendakku.
Mungkin Aku berkata mengiklaskanmu Mungkin kau tahu Aku berbohong kepadamu.
Aku Sadar, aku tak pantas untukmu Aku sadar, aku hilang arah tanpamu. Aku pun sadar, kau terlalu baik untukku. Sebab itu, kau akan kuperjuangkan semaksimalku.
Ummi, Aku tunggu kau dimasa depanku
Cerpen Karangan: Achmad Alfian Blog / Facebook: Achmad alfiyan
Aku adalah manusia yang ingin berkarya melalui cerita. dilahirkan di tangerang Selatan melalui jalur kandungan ibu dan susah payah ayah. umurku kini menginjak 23 tahun dan beragama islam. masih menuntut ilmu di universitas pamulang dan memiliki keinginan untuk menjadi seorang yang diharapkan.
Terima Kasih