Seorang wanita cantik dengan berbalut kerudung pink, duduk diantara pepohonan rindang menatap rembulan. Gemerlip bintang menyambut dengan hangat senyuman. Cakrawala seakan menyinari hatinya yang dipenuhi rasa kegundahan. Ia menerobos malam, termangu sendiri menangisi nasib perjalanan kehidupannya.
Usianya sudah mendekati 21 tahun. Orang bilang ia sudah saatnya memilih dan memilah calon pendamping hidup. Suami yang mampu menjadi imam, pemimpin bagi rumah tangganya. Toh, sekarang kehidupannya sudah mapan. Gelar sarjana sudah di depan mata, hanya menunggu waktu sedikit lagi akan ia sandang. Clarissa Annora Putri, S.Pd. Hebat. Ya, 2 tahun lagi, gelar itu akan ia terbubuhkan dalam namanya. Calon seorang guru pendidikan bahasa dan sastra indonesia.
Hmm, ia juga perempuan yang baik dan sholehah. Lulusan pondok pesantren. Tentunya, dari segi agama ia patut untuk dibilang mumpuni untuk membina rumah tangga. Kurang apa lagi? Aku heran, lelaki mana yang menolak tuk jadi imamnya?
Trauma. Mungkin itulah penyebabnya ia takut menaruh rasa kepada seorang lelaki. Sejauh ini, jiwanya masih kering. Hatinya masih hening. Dan, akalnya masih bimbang dengan segala kenyataan yang ada. Begitulah, resiko terburuk dialami Clarissa di masa umurnya yang menginjak remaja. Clarissa ialah seorang perempuan yang terlahir dari 5 bersaudara, memiliki 4 orang kakak lelaki. Ia anak bungsu, yang hidup dari keluarga sederhana. Kulihat, malam ini ia tersenyum kecut. Sejuta tanya tengah mengunjungi pikirannya. Kacau!. Cinta dan trauma seakan menjelma, mengobrak-abrik hatinya. Hari-harinya pun kian terpaku dalam sendu.
Kata orang, cinta itu indah jika tepat pada tempatnya. Cinta ialah sebuah perasaan yang tumbuh dalam diri setiap makhluk yang bernyawa. Pada hakikatnya, setiap orang pasti memiliki rasa cinta. Entah itu, pada agama, sang pencipta-Nya, Nabi dan Rosul-Nya, orang tua, bahkan pada lawan jenisnya. Itu hal yang wajar, bukan? Ya, karena salah satu dari rahmat Allah swt ialah memberikan hidayah cinta. Panjang jika berkisah perihal nama cinta. Setiap orang mempunyai sudut pandang yang berbeda untuk memaknainya. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka tidak mampu memaknai cinta secara rinci.
Demi Allah. Cinta, layaknya bentangan cakrawala yang luas. Dimana cakrawala menyajikan keindahan pelangi yang memukau penikmatnya, menyajikan gemuruh kilatan petir yang membuat luka dan trauma. Bahkan, cakrawala juga membuat ambigu penikmatnya untuk mengartikannya. Adakalanya cinta itu rumit, penuh liku dan berkelok tajam; menyakitkan.
Matanya bercumbu rayu pada rembulan. Ia tumpahkan segala cerita pada malam. Dulu, ia pernah menaruh rasa yang teramat dalam kepada lelaki yang dicintainya. Hari-harinya berwarna indah layaknya pelangi. Hatinya seakan berbunga-bunga. Senyuman kian lukis di wajah cantiknya. Ia menatap lelaki itu seperti menatap masa depan. Dunia seakan milik mereka berdua. Akan tetapi, cinta telah membutakan mata hatinya. Ia lupa, jika cinta yang paling besar hanyalah kepada Allah swt. Bukan kepada makhluk ciptaan-Nya. Allah swt cemburu. Hingga, seiring waktu yang berjalan. Cinta membuka topeng kemunafikan dari lelaki itu. Ketika rasa itu terlanjur dalam, lelaki itu meninggalkannya tanpa sebab kepastian yang jelas. Siapa duga, bahwa skenario Allah swt tak sejalan dengan rasa cinta itu? Bagimana rasanya? Hancur, bukan?
Kutengok, belati tengah menyayat hatinya. Mengiris kenyataan. Dadanya sesak. Air matanya pun mengalir begitu deras kala mengingat perpisahan itu. Sejenak, ia merenungkan segala kisahnya. Menangis. Bersujud. Ia memohon pengampunan kepada Allah swt. Ia tersadar, bahwa mencintai tak harus memiliki. Allah swt tidak menghendakinya untuk memadu cinta bersama lelaki itu. Lelaki itu sudah milik orang lain. Dan, tak dapat ia miliki.
Semenjak peristiwa itu. Berawal dari rasa sakit, rasa cinta seakan lenyap dari jiwanya. Hangus menjadi butiran abu yang berterbangan. Ia bersumpah; Demi Allah, ia benci dengan lelaki. Ia tak percaya cinta jika cinta dapat menjadi pelangi setelah badai menguyur bumi. Baginya, seorang lelaki hanyalah dapat membuat luka tanpa bisa menyembuhkannya. Lelaki hanyalah menabur rasa cinta tanpa dapat mempertangungjawabkannya. Ia pasrah. Ia malas menanam benih-benih asmara, yang berakhir dengan air mata. Ia trauma menaruh rasa.
Dengan berjalannya waktu, ia mulai menata hatinya yang berantakan. Masa lalu ialah masa lalu. Hatinya yang kering kini seakan tersiram oleh gerimis yang menyejukkan malam. Ia tak pernah tahu, akan seperti apa urusan penantian jodoh itu berakhir. Ia serahkan semua pada Allah swt.
Waktu terus melaju. 2 tahun ia berjalan tanpa keselarasan, lamban laun hatinya yang hancur itu seakan kembali kokoh berdiri. Apakah cinta mulai bersemayam kembali? Entahlah, cinta seakan menjadi rasa kekaguman yang luar biasa. Dengan kehadiran Gibran, membuat hatinya tak sunyi lagi. Dari sudut matanya, Gibran ialah seorang lelaki yang memukau dengan seribu kesederhanaan. Hidupnya selalu apa adanya, tak pernah berkelakuan aneh-aneh untuk mendapatkan pujian dari orang disekelilingnya. Rasa kagum pun mulai berkecambuk, mengebu pilu. Pikirnya, apakah itu cinta? Ia kagum dengan semua hal pada diri Gibran.
Namun sesekali kuperhatikan ia sedih. Di waktu yang bersamaan pula ia juga menyimpan rasa dengan Roni. Sama seperti Gibran, sosok Roni baginya ialah lelaki yang menyimpan sudut keistimewaan yang membuatnya takjub. Tak sangka, ternyata Roni ialah sahabat dekat Gibran.
Disinilah, segitiga cinta mulai berbicara. Ia terjebak dalam sudut piramida cinta. Lagi-lagi cinta membuatnya ambigu. Ia akui bahwa ia masih menggagumi sosok Gibran. Akan tetapi, ia juga tak bisa mengelak bahwa ia juga menyimpan rasa kenyamanan atas perhatian yang diberikan Roni. Lantas bagaimana? Hatinya terpengal menjadi dua. Mana yang harus ia pilih, yang sedang ia kagumi atau yang selalu memberi kenyamanan. Hatinya begitu rapuh. Matanya sayup, hatinya tergores luka. Sungguh, kedua pilihan itu membuatnya gila.
“Ya Allah. Wahai yang Maha Pengasih dan Penyayang. Engkau menyayangi hamba-hambamu yang bertakwa. Ya allah berikanlah aku petunjuk atas jalan-Mu yang lurus. Berikanlah petunjuk dari pilihan kedua jodoh yang kau berikan kepadaku. Pilihkanlah diantara keduanya untuk menemani perjalanan tuaku. Jujur, aku masih trauma menentukan pilihan ini. Ya Allah, ampunilah aku yang pernah berpaling dari-Mu. Engkaulah dzat yang Maha Mengabulkan permohonan hamba-Nya, maka kabulkanlah doaku ya Robb. Aamiin.”
Kupandang Clarissa dalam-dalam. Bersama hembusan angin, ia mengusap air matanya dengan lembut. Menunduk kepalanya, berdoa untuk mendamaikan hatinya yang lara. Kusaksikan cakrawala tersenyum manis. Ia pun tersenyum tipis, melambangkan bahwa ia pasrah akan jalan kehidupan kisah percintaannya.
Akhirnya Clarissa lelah, pada perjuangannya yang terasa amat berat dan menyakitkan. Ia berserah diri, meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa Allah swt telah mengatur setiap jodoh bagi makhluk ciptaan-Nya di bumi ini. Semua hanya membutuhkan waktu. Ikhtiar dalam sujud kesunyian malam.
Cerpen Karangan: Sega Dwi Ayu Pradista Facebook: ega D.A Pradista Sega Dwi Ayu Pradista, lahir di Ponorogo, 04 November 2000. Tercacat sebagai Mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Ponorogo, tepatnya di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo juruan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2019. Ia mulai mengeluti dalam hal kepenulisan pada tahun 2020 dengan aktif di berbagai event kepenulisan cerpen dan puisi secara online maupun offline. Karya-karyanya yang sudah dimuat di berbagai buku-buku penerbit; Secangkir Kopi Kerinduan (2020) Kategori Cerpen 15 Terbaik, Skenario Kehidupan (2020) Cerpen Kategori Juara 2, Olivia (2020) Cerpen Kategori Harapan 1 dan, Setetes Harapan, Puisi Kategori Harapan 3. Sekarang ia tinggal di Desa Gandu Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo.