Menjadi diri sendiri bersama rasa syukur dengan rezeki yang Allah berikan membuatku sangat terasa bahagia dan begitu menikmati hidup karna setidaknya aku rasa telah sedikit mampu berdamai dengan masa lalu sebagai pribadi yang urakan, glamor sok sosialita namun di dalamnya aku susah mengatur keuangan. Nampak punya segalanya didepan teman-teman, yah itulah kemunafikan yang kuperlihatkan pada semua orang saat itu, tapi kini semua berputar terbalik hidupku yang apa adanya menjadikanku berkecukupan walau teman, keluarga yang dulu menganggapku dewa bak pengabul setiap keinginan yang mereka kehendaki dan selalu bisa mewujudkan permintaan mereka kala itu kini jangankan berkunjung di rumahku tak sedikitpun bertanya kabar karena telah lama aku meninggalkan dunia kelam itu, nampak glamor namun di dalamnya hamburadul.
Tapi bedanya aku kini merasa lebih tenang, tanpa beban pikiran yang menjerat hidupku, ternyata hidup tanpa adanya kemunafikan adalah suatu kenikmatan, bukankah Allah menjadikan dunia dan seisinya yang sementara ini hanya untuk ujian manusia agar bisa mengendalikan nafsunya, dan tugas kita hanya menjalankan takdir sesuai sekenario Allah, Lantas kenapa kita sibuk dengan pikiran orang lain, toh tak jarang kebanyakan mereka yang meninggalkan kita saat kita tak punya apa-apa, itulah saat terpahit yang aku terima, alangkah nikmatnya dunia ini jika semua manusia itu hanya punya cita-cita meraih hidup tenang, ikhlas, sabar sesuai ketetapan Allah dengan segala rentetan ujian yang ia berikan, pasti bencana tak kan terjadi di mana-mana, alam tak kan murka pada isi dunia karena ulah manusia yang tak patuh pada aturan Allah.
Aku menarik napas, pelan-pelan menangis dan menyesali segalanya, bukan karena aku telah tak punya segalanya seperti dulu, tapi aku yang baru mencari Allah saat ini, kemanakah dirinya selama ini yang hidup bergelimang harta menyandang status bos termuda di kantornya saat itu, perusahaan yang dikelola Om Yudi teman baik Ayah dulu, Sebab Ayah adalah orang kepercayaan Om Yudi maka akulah kepercayaan kedua setelah Ayah karena anak dari teman baiknya. Selain itu prestasiku selama sekolah yang membuat Om Yudi takjub sehingga tak ragu mengajakku bekerja dengannya sampai jabatanku naik sebagai kepala manager di kantor tersebut, hingga akhirnya aku berteman dengan bos-bos besar yang menjadikanku selayaknya bos seperti mereka juga.
Seiring berjalannya waktu tanpa sadar aku mengikuti permainan mereka dengan ikut tender-tender besar, karena kepintaran ku berinteraksi pada mereka hingga menjadikanku sangat berpengaruh di sana ditambah tender yang aku mainkan selalu menang, keuntungan demi keuntungan puas aku raup tanpa memikirkan halal haramnya, hari demi hari aku seperti tak lagi mengenal diriku yang jauh dari diriku dengan didikan orangtua, bahkan Ayahku yang sederhana itu selalu mengajarkan padaku untuk hidup selayaknya hidup, dan menjadilah yang apa adanya sekalipun mereka merendahkanmu. Begitulah pesan terakhir Ayah sebelum akhirnya ia meninggalkan kita semua.
“Kesombongan kian mengikat hari-hariku dan menjadi suatu kebanggaan saat teman-teman lamaku berkunjung ke rumah mewahku yang baru saja aku beli, mereka bahkan menginap dan bermain sesuka mereka, awalnya aku senang akan kehadiran mereka di rumahku yang besar bak istana dan hanya tinggal seorang diri, telah lama rasanya aku kesepian dan saat aku dapat semua kemewahan ini semua orang seketika mendekat, bahagia tak terkira rumah mewahku diisi teman-teman yang menghabiskan waktu disini. Walaupun aku berharap rumah ini bisa aku hadiahkan untuk Ibu dan Ayahku namun terlambat sudah sebab mereka lebih dulu meninggalkanku dan menghadap Sang Kuasa hingga kemudian Ayahku menitipkanku pada Om Yudi teman karibnya saat itu aku masih kelas dua SMA sejak terakhir Ayah meninggal karena penyakit jantung yang tiba-tiba menderanya hingga akhirnya Om Yudilah yang sebagai wali asuhku menggantikan peran orangtuaku dan melanjutkan biaya sekolahku hingga aku lulus sebagai sarjana di pertambangan sampai pada aku kerja dengannya dan karena obsesiku ingin sekali memiliki rumah dan memikat gadis manapun seperti Nayla anak Om Yudi yang sejak pertama aku di sana dia layaknya adik bagiku, Karena kecantikkan dan kesholihannya aku merasa tau diri bahwa ia gadis baik yang tak mungkin mendampingiku maka aku putuskan menerima tawaran temanku untuk membeli rumah yang mewah di perumahan dekat tempat tinggalnya dahulu karena uang tabungannya belum cukup iapun menerima saran temannya untuk membeli rumah itu dari hasil pinjaman Bank, dan saat itulah aku terbiasa pinjam dan menumpuk hutang kemana-mana karena obsesiku memiliki segalanya tak terbendungkan. Sebab pergaulanku yang salah juga lebih tepatnya dirikulah yang salah dalam mengambil tindakan sesuai nafsu syetan yang selalu aku turuti. Setelah akhirnya aku pisah tinggal dengan Om Yudi aku bertindak sesukaku hingga lupa diri hingga jauh dari Allah. Itulah penyesalan terbesarku.
Tanpa kusadari kian hari teman yang selalu mengandalkanku makin terlihat wujud aslinya yang selalu memperalatku, ada yang meminjam uangku namun setelah itu tak ada kabar lagi, ada yang berhari-hari menginap di rumah, makan tidur di rumah dari aku berangkat kerja hingga aku pulang kerja mereka asyik memakan apa yang ada di rumah sesuka hati mereka, setelah aku merasa muak barulah aku menyuruhnya untuk pulang dengan alasan aku akan ada job ke luar negeri dan tak meninggalkan apapun di rumah.
“Suatu ketika di saat aku terdiam membisu di sudut ruangan merenungi nasib yang kian mencekik leherku, hutangku kian menggunung bagai gunung yang hendak menyemburkan lahar panas. Lamunanku terhalang dengan paras wanita yang berjalan tepat di depanku dan yang tak asing lagi buatku. Dia jualah yang pada akhirnya menyelamatkanku dari kejaran hutang piutang, dia yang mengambil hatiku dari pertama kali aku melihatnya, bukan hanya parasnya namun suara khas lemah lembutnya membuat hatiku lirih bergeming ingin selalu dekat dengannya namun jiwa dari sisi lainku berkata bahwa dia tak pantas bersanding denganku karena itu aku memilih berjauhan dengannya, namun kali ini hatiku terpana dan bergetar melihat dan mendengar suaranya yang renyah terdengar di hadapanku.
“Hai Bang…” sapanya ramah “Eh dek Nayla ada apa kemari?” “Tidak, hanya ingin kemari, masa rumah baru tak mengabari adiknya sih, boleh aku masuk?” “Rumahnya berantakan dek”, ucapku gugup. “Biar Nayla bantu bersihin ya bang”, pintanya seketika. Aku tak bisa berbuat apa apa selain mengiyakan permintaannya.
“Sayangnya bang rumah gede seperti ini di isi sendiri tak ada yang menemani? Apa tak ingin meminang wanita untuk tinggal bersama Abang di sini”. Sindirnya usil sambil tertawa menggoda. Tak ada sahutan dariku, hanya tersenyum kecil, hati kecilku berkata apa mungkin wanita manapun akan mau menjalani hidup dengannya yang nampak bergelimang harta namun di dalamnya hutang piutang telah mengguyur dan terlanjur membuat hidupku hancur. Belum lagi terpaksa aku harus merelakan uang miliaran untuk keapesan karena bertindak ceroboh yang terlalu percaya dengan seseorang dan pada akhirnya ia menjebakku hingga aku rugi miliaran, akankah ada wanita yang mau sukarela tinggal dengan seorang dan menanggung duka lara bersama.
Raut kesepianku dengan mudah terbaca oleh Nayla hingga hampir tiap hari ia mengunjungiku dan membantu membereskan rumahku. “Kau tak perlu repot-repot kemari dek, abang bisa mengurusi semuanya”, selaku meyakinkan.
“Bang, kemarin debt colector datang”. Belum ia melanjutkan bicaranya aku sudah tau ujungnya apalagi kalau bukan untuk menagih hutangku, oh tuhan, jantungku kian berdetak tak beraturan, akankah kali ini dia membaca detakkan jantungku yang takut dia mengetahui semuanya.
“Abang kenapa tak pernah cerita pada Abah dan Ummi bahwa Abang punya hutang yang segitu besarnya”, sahutnya lagi bagai tamparan keras yang mengenai wajahku, tapi dia yang selalu pandai membuat sekitarnya tenang dengan suara santun nan lembutnya. Aku masih diam seribu bahasa, bahkan kata-kata tak bisa lagi aku rangkai dengan indahnya seperti saat aku presentasi depan karyawan lainnya dengan wibawaku di depan semua orang, bahkan saat ini hanya satu orang yang berdiri di depanku.
“Oya Bang, aku kesini ingin memberi kabar besar buat Abang, sebentar lagi Nayla akan menikah Bang” Aku yang memakan roti dengan selai yang barusan ia hidangkan membuat aku tersedak dengan kabar bahagia namun mencekik leherku ini. Aku sangat sadar saat itu bahwa sisi ketampanan dan kepandaianku tak mampu membuat wanita sholiha seperti Nayla akan bersamaku mengisi hari-hari sebagai pasangan. Perasaan lainku berkata, apakah karena ia tahu hutangku maka ia memutuskan segera menikah agar bukan aku yang meminangnya, ahh pikiran menduga-dugaku makin mengelabui hatiku yang tiba-tiba gelap gulita.
“Bang kok diam, Abang mau kan minggu ini datang ke rumah untuk melihat calon yang akan jadi imamku dan akan aku perkenalkan pada Abang” “Oh dengan senang hati dek, nanti Abang pasti datang sebagai kakak Nayla”, raut senyumkulah yang seketika itu menutupi kepura-puraanku dan bersembunyi di balik tawa kecilku.
Cerpen Karangan: Endah Karuniasih Blog / Facebook: Neney Chilla Endah Karuniasih, Lahir di Samarinda, 17 February 1991. Alumni D3 Keperawatan di Universitas Muhammadiyah Samarinda, Kalimantan Timur. Menulis adalah berinovasi, berbagi cerita pengalaman sehingga ia akan terus menulis dan menginspirasi. Selain menulis, ia sangat suka dunia Olahraga, Fotografi, juga Wirausaha, terlebih hobby nya yang gemar membaca novel, serta membuat puisi menjadikan ia ingin menjajaki dunia penulis. Saat ini, penulis berdomisili di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Pembaca bisa lebih dekat dengan penulis lewat akun sosial media Instagram, Twitter, dan Wattpad @n.a_karunia