Tepatlah pada hari yang kujanjikan pada Nayla untuk datang di acara lamarannya. Semalam Om Yudi dan Istrinya Bu Rasyidah memintaku untuk datang pagi-pagi sekali. Sesampainya aku disambut meriah oleh Om Yudi, Ibu Rasyidah juga dirinya, Om Yudi lalu menarikku dan menyuruhku segera bergegas ke kamar dan berganti pakaian. Aku tak ada pilihan lain selain menurutinya. Disana juga ada rekan kerjanya yang tak sengaja menyambutku dengan ucapan selamat. Aku bingung bukan kepayang dengan maksud dibalik ini semua, apa mungkin karena Nayla sudah seperti adikku sendiri maka mereka memberi ucapan selamat padaku. Tanpa berpikir panjang dan menduga-duga aku langsung memasuki kamar yang di dalamnya telah di siapkan jas hitam untuk aku kenakan.
Ibu Rasyidah mengetuk pintu dan memasuki kamar yang tadi di persiapkan untukku, setelah aku mempersilahkannya masuk. “Naaakkk Raihan, setelah ini kami tunggu di ruang tengah ya”, pinta Bu Rasyidah padaku, aku mengangguk sambil tersenyum heran.
Mereka telah berkumpul dan menungguku di ruang tengah. Dengan nada pelan dan hati-hati Om Yudi menyampaikan sesuatu yang sangat mengejutkanku, diam-diam aku memergoki Nayla yang melirik ke arahku sambil tersenyum, jantungku semakin berdegup tak beraturan kali ini aku yakin mereka semua bisa membaca wajah gugupku, aku berusaha sesantai mungkin sambil memperbaiki duduk sembari menunggu titik pembicaraan yang ingin mereka sampaikan padaku.
“Naakkk Raihan…” Akhirnya Om Yudimembuka suara, aku mendadak tegang menatap ke arah Ibu Rasyidah. Om Yudi melanjutkan ceritanya. “Begini nak, mungkin ini terlalu tidak masuk akal kalau kita menyampaikan ini dadakan bahkan tanpa seizinmu tapi karena Nayla sangat yakin maka kami mengikuti apa maunya kali ini sebab besok dia akan kembali melanjutkan study S2nya di Arab Saudi. Jadi hari ini kami ingin merestui kalian sebagai calon pasangan suami istri. Mohon maaf sebelumnya kami bersikap lancang yang menyuruh Nayla mencari informasi tentangmu saat di rumah”. Aku panik… akankah Nayla menceritakan perihal hutangku yang sempat kemarin bertemu debt colector?
“Sengaja sebelumnya Ibu ingin Nayla menikah sebelum lanjut S2 nya karena Ibu dan Om masih takut ditinggal lama dengan Nayla sedangkan di negeri orang dia tak punya siapa-siapa. Jadi Nayla menceritakan bahwa ada seseorang yang selama ini ia cintai, yaitu kamu hanya karena kamu pasti tak akan mungkin mengungkapkannya jadi Nayla Ibu minta berkunjung ke rumahmu dan mencari tahu tentang perasaanmu, apa benar Nak Raihan pun mencintai Nayla. kemudian Nayla menemukan buku tulisanmu yang dulu di berikan Nayla, dan masih kamu simpan hingga saat ini, buku pemberian Nayla itu isinya hanya tentang perasaanmu terhadap Nayla, karena itu Nayla yakin sebenarnya Nak Raihan pun menyimpan perasaan yang sama terhadap Nayla”.
Wajahku makin tak karuan dibuatnya, aku terbelalak menatap ke arah Nayla, kali ini tak bisa dipungkiri wajahku yang pucat pasi menandakan perasaanku yang malu bercampur gugup, sikap salah tingkahku semakin nampak terlihat, raga ini seperti hilang dari tubuhku dan terbang tinggi ke awan melayang-layang di udara saking girangnya. Bagaimana bisa Nayla menemukan buku itu, pikiranku memburu lalu ku gantung begitu saja.
“Bagaimana tanggapan nak Raihan…?” Tanya Ibu Rasyidah.
Sebelum kujawab aku melirik sedikit ke arah Nayla, dia terlihat malu-malu pipinya merah merona. Kemudian dengan hati bercampur bahagia aku menyetujui semuanya dan bersedia menjadi Imamnya dek Nayla. “Masyaallah… alhamdulillah…” sorak Om Yudi, dan Ibu Rasyidah sambil memeluk anak tercintanya.
Rasanya seperti mimpi, tak pernah terbayangkan di pikirannya bahwa gadis yang akan ia pinang adalah gadis yang selama ini dekat dengannya sekaligus telah bertahun-tahun mencuri hatinya semenjak dia tinggal bersama Om Yudi dan Bu Rasyidah. Selama ini aku terlalu banyak dibungkus rasa kekhawatiran, terlalu banyak dihantui rasa ketakutan apalagi harus mengungkapkan perasaan, rasanya aku terlalu pengecut untuk itu.
Hari ini bukan hanya lamaran, namun acara akad dan resepsi langsung dilaksanakan siang hari ini setelah persiapan ke pelaminan benar-benar matang. Seperti bahagia beruntun yang aku alami seakan lupa semua masalah yang akhir-akhir ini menimpaku.
Acara berlangsung sangat khidmat dan sederhana namun cukup meriah, Tak heran banyak rekan kerja yang terkejut melihat aku yang sekarang ini berdiri di pelaminan bersanding dengan dek Nayla yang selalu menjadi topik pembicaraan mereka karena kecantikkan, dan keanggunan parasnya, tak salah banyak yang ingin meminangnya, namun kini bagai ombak yang berputar haluan mengitari lautan bahwa bidadari ini adalah isteriku.
Setelah acara selesai kami masih malu-malu, tak berani saling tatap menatap, aku masih merasa berada di pembaringan dengan mimpi yang indah. Kita seperti seorang yang baru saja kenal, padahal telah tinggal bertahun-tahun lamanya sebagai sosok adik kakak. Takdir Allah begitu di luar dari kemampuan akalku memikirkan tak sesuai jalan pikiranku namun tiada yang tak mungkin jika Allah sudah berkehendak.
“Bang… maaf ya, kejutan ini membuat Abang bingung ya, sengaja Nayla lakukan ini karena melihat isi buku Abang, betapa senangnya Nayla saat itu bang”. “Tapi soal hutang Abang dek? Apa kamu tidak merasa ilfil?” “Ohh soal itu, tidak sama sekali bang, walaupun ada rasa sedikit kecewa, karena itu juga niatku ingin menikah dengan abang makin kuat, bisa jadi ini cara yang di utus Allah untuk menyelamatkan abang dari hutang”. “Maksudmu dik?” Aku mengernyitkan kening, tak mengerti. “Tapi Om Yudi dan Ibu Rasyidah tidak tau kan?” “Loh kok masih manggil Om sih Bang? Panggil juga Ummi dan Abi donk”, cecar Nayla sambil menyubit genit lenganku. “Iya iya dek, nanti Abang biasakan dengan sebutan itu. Hehe… tapi jawab dulu soal itu”.
“Oh yang itu Ummi dan Abi tidak Nayla beri tahu, toh besok setelah ini kita akan sama-sama berangkat ke Arab Saudi Bang, jadi semua aset Abang disini daripada tak ada yang menempati kita jual saja untuk menutup hutang Abang”, begitu alasan yang nanti akan kita jelaskan pada Abi dan Ummi. Tenang bang serahkan sama Nayla, asal Abang janji satu hal, Nayla menunduk. “Apa dik?” tanyaku menyelidik. “Abang jangan berhutang seperti itu lagi ya”, kali ini dia menangis di pelukanku, mungkin dia teramat kecewa namun tertutup rasa cintanya hingga terbagi dengan rasa kecewa juga cintanya sampai begitu totalitas dia menyembunyikan raut wajahnya, selama ini yang aku tahu Nayla memang tak pernah sedikitpun marah, kalau marah dia diam kemudian mengisinya dengan membaca Al-quran kemudian baik lagi dengan sendirinya begitulah cara Nayla menutupi rasa marahnya di balik sabarnya, beruntung aku saat ini yang menjadi suaminya, aku janji akan mengikuti segala keinginannya dan mencintainya dengan setulus hatiku.
Kini rasanya aku telah sedikit mampu berdamai dengan diri sendiri. Berusaha ikhlas dengan apa yang aku alami saat ini, harta benda memang tidak ada tandingannya dengan kebahagiaan yang dimiliki sepasang suami istri yang saling mencintai. Kini tak ada sepeserpun yang tersisa, rumah mewah, mobil dan asetku semuanya aku jual dan telah aku bayarkan ke bank. Akhirnya aku bisa merasakan ketenangan tanpa dikejar-kejar debt collector dan bahagia luar biasa walau hidup sederhana, setelah dua tahun kita di Arab Saudi sambil menunggu Nayla menyelesaikan S2 nya aku mengisi waktuku sebagai sopir, hingga tabungan kita berdua cukup dan setelah itu kembalilah kami ke habitat kami.
Akhirnya kini aku mengerti, ini cara Allah yang sangat rinci dan halusnya memberiku sebuah pembelajaran dan kejutan terindah buatku. Aku sangat beruntung dan bersyukur Allah masih memberi aku kesempatan untuk meraih rahmat dan mendekat pada Allah kembali. Ia memberikan pembelajaran melalui wanita yang kini jadi istriku yang mengajarjan banyak hal soal agama juga urusan memperoleh rezeki Allah dengan jalan berkah. Karena hidup ini hanya butiran debu yang dengan mudah tertiup angin jadi tak perlu mengejar harta dunia jika tak menjadikan kita dekat dari Allah karena tanpa kita memperdulikan Allah saja ia masih memberikan kejutan terindahnya untuk kita yang hanya butiran debu ini, jadi yang dapat menjadikan kita bahagia bukan hanya dengan harta dunia tapi bisa jadi dengan Zuriat yang di titipkan Allah pada kita seperti hadirnya buah hati kita saat ini yang telah dua bulan hadir di rahim Nayla. Aku baru tersadar bahwa senangnya menjadi Ayah lebih indah daripada mempunyai harta yang berlimpah tapi tak sedikitpun merasa tenang.
Seiring berjalannya waktu aku menyadari banyak hal bahwa menjadi diri sendiri dan menjalaninya dengan apa adanya itu lebih baik, apalagi Allah memberiku banyak kesempatan untuk mencerna dan menyadarkan diriku bahwa apa yang kita miliki ini bukan milik kita seutuhnya bahkan ada harta Fakir Miskin, Anak Yatim dan saudara kita yang membutuhkan di dalamnya, dulu aku tak sedikitpun memikirkannya karena sibuk dengan duniaku. Memang begitulah cara Allah menguji kita, bisa dengan harta berlimpah, dengan kemiskinan, dengan suatu penyakit dan lain lain yang jelas tujuannya agar kita tak pernah lupa bahwa hidup ini hanya sementara.
Jadi tutuplah kesusahan, kesenangan, kesedihan dengan rasa syukur dan lebih meluaskan sabarmu agar ketenangan menyelimuti hari-hari kita. Itulah hidup sebenarnya.
SELESAI
Sekian dan Terima Kasih SEMOGA BERMANFAAT
Cerpen Karangan: Endah Karuniasih Blog / Facebook: Neney Chilla Endah Karuniasih, Lahir di Samarinda, 17 February 1991. Alumni D3 Keperawatan di Universitas Muhammadiyah Samarinda, Kalimantan Timur. Menulis adalah berinovasi, berbagi cerita pengalaman sehingga ia akan terus menulis dan menginspirasi. Selain menulis, ia sangat suka dunia Olahraga, Fotografi, juga Wirausaha, terlebih hobby nya yang gemar membaca novel, serta membuat puisi menjadikan ia ingin menjajaki dunia penulis. Saat ini, penulis berdomisili di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Pembaca bisa lebih dekat dengan penulis lewat akun sosial media Instagram, Twitter, dan Wattpad @n.a_karunia