Hanna terus menatap punggung di depannya, mengabaikan pelajaran. Itulah kesehariannya. Ia sangat menikmati kegiatan itu. Walau akan sia-sia. Tapi tidak masalah. Gadis itu bertekad untuk memanfaatkan kesempatan yang diberikan Ummi. Menatap seseorang yang dicintai selama 6 tahun terakhir.
Hanna tidak peduli apakah cintanya terbalaskan atau tidak. Menatap punggungnya saja sudah amat bersyukur. Pernah terbesit rasa ingin memiliki, tapi itu tidak akan pernah terjadi. Dirinya dibesarkan di Pondok Pesantren yang dibangun orangtuanya. Tentu tidak lepas dari pengawasan ketat saat ia memutuskan bersekolah umum.
Kadang cinta menuntut lebih. Mengharapkan ini dan itu. Membebani pikiran. Tapi untuk seseorang yang selalu berpikir positif, itu semua tidak ada artinya. Bagi Hanna, itu sangat menyenangkan. Sebelum hatinya bergejolak hebat. Akhir-akhir ini hatinya menuntut lebih. Kadang ia pura-pura meminta tolong yang tidak perlu pada lelaki itu, atau tiba-tiba memberi coklat. Perubahan itu membuat Hanna ciut. Apa yang sebenarnya terjadi? Ia juga manusia, yang punya rasa serakah. Siang itu, tanpa disadari hatinya hilang pegangan. Termakan hasutan setan.°
“KEMANA SAJA KAU SEHABIS PULANG SEKOLAH?!” Anak berusia belasan tahun itu membisu. Dia sudah terbiasa dengan bentakan ibunya. Dia mengangkat bahu. Ibunya menggeram keras. “Mbak Sri kerepotan mencari, dan kau malah diantar cowok?!” Wanita itu menatap tajam. “Kalau kau tidak ceritakan apa yang terjadi, ucapkan selamat tinggal untuk sekolahmu itu.” Gadis didepannya tetap diam. Dia hafal kelakuan ibunya ketika marah. Pasti setengah jam kedepan ibunya akan menyuruh makan, melupakan begitu saja kejadian tadi. Tapi sepertinya tidak dengan yang kali ini. Satu jam berlalu tanpa terasa. Gadis bernama Hanna itu diam membeku, menunggu ibunya lelah sendiri.
“Baiklah kalau tidak mau mengaku, Ummi akan menyuruh Pak Slamet menyelidikinya.” Wanita yang biasa dipanggil Ummi itu membalikkan badan, pergi. Hanna menghela napas lega. Dilangkahkannya kaki menuju kamar. Dia tertawa kecil, mengingat kejadian yang membuat ibunya marah besar.
Pukul 2 siang, Hanna akan selalu mengingat itu. Seorang lelaki berusia setahun lebih tua menarik lengannya, menuju belakang sekolah. Dan para siswa tidak terlalu memperhatikan, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Halaman itu sepi, sungguh momen indah di masa SMA-nya. Tentu bisa ditebak bukan?
Gadis itu sudah sering menemui kejadian seperti ini, tapi kali ini berbeda. Lelaki itu adalah seseorang yang ia cintai selama 6 tahun terakhir dalam diam. Perasaan itu masih sama hingga sekarang. Dia salah tingkah mendengar pernyataan itu. Mengatakan agar memberinya waktu, ia tidak mau lelaki itu melihat wajahnya yang merona, apalagi saat bilang akan mengantar pulang. Dengan perasaan yang berbunga-bunga, ia mengangguk. Berkata dalam hati, “kali ini saja kok,”
Hanna seketika terdiam. Wajah Ummi beberapa menit lalu memenuhi kepalanya. Sial. Berdosa sekali kau, Hanna. Ia sadar itu salah. Tapi egonya sungguh besar, menutupi semua rasa bersalahnya. Gadis itu bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang baru saja dilakukannya?
30 menit berlalu. Hanna yang sejak tadi merenung mulai beranjak meninggalkan kamar. Ia akan meminta maaf. juga akan menghubungi dengan tegas ajakan lelaki itu. Ummi dengan senyum hangatnya mengelus kepala Hanna, mengatakan tidak usah dipikirkan, dan meminta maaf karena emosi. Hanna tersenyum senang, berjanji tidak akan pernah dibonceng lelaki yang bukan mahromnya. Setelah itu Hanna bergegas menghubungi lelaki itu.
Langkahnya terhenti. Apakah dia akan menolak? Bukankah dulu ia ingin lelaki itu melihat dirinya? Membalas perasaannya? Tapi kenapa perasaanya jadi seperti ini? Kecewa. Sedih. Senang. Dan rasa tidak nyaman. Jika dia menerima, Ummi akan sangat kecewa dan bisa jadi akan ada masalah baru. Tapi yang terjadi malah melenceng dari rencana. Jantungnya berdegup kencang. Hatinya luluh begitu mendengar suaranya. Harusnya ia tidak usah menelepon, lewat chat saja. Menyebalkan. Sekarang Hanna gelagapan untuk menyampaikan penolakan itu.
“Han? Lu masih disitu kan?” Hanna tersentak, “I-iya. Maaf, aku salah pencet nomor. Sampai besok di sekolah, Indra” Buru-buru Hanna menutup telepon. Tapi tangannya terhenti, “Oh. Ternyata cuman salah sambung ya. Gue malah baper. Sorry, gue takut lu nolak gue. Tapi kalau emang kek gitu, gue ngerti. Lu anak Pak Kyai kan? Gak tau diri banget gue. Yaudah, sampai besok.” Hati Hanna mendadak sakit. Tapi ia tidak bisa melakukan apapun. Telepon itu selesai.
Lelaki itu bernama Indra, yang sedari dulu sangat menyukai Hanna. Pagi itu, seseorang mengajaknya bicara serius. Orang itu Ica, teman dekat Hanna. Tentu Indra kenal dengan gadis ini. “Lo harus tahu ini. Gua udah lama kasian ama lo berdua. Sial. Kenapa harus gua yang ngurusin kisah cinta orang? Indra, lo harus tahu.” Ica menarik napas. Indra terlihat tidak sabar. “Hanna suka lo. Udah 6 tahun tau? Lo malah gak peka. Dasar. Lulus SMA dia disuruh mondok. Abis tu umur 23 dia bakal dijodohin ama anak Pak Kyai temen abahnya. Gua kasian. Lo ama Hanna tuh sebenernya saling suka kan?” Indra langsung lemas. Omong kosong!
“Lo bener-bener orang bego yang pernah gua kenal. Gua berani taruhan soal omongan ini. Gua sebagai temen mungkin gak boleh ikut campur kek gini. Tapi? Bodoh. Lo berdua bener-bener bodoh. Dengar. Lo harus norehin kenangan di kehidupan Hanna. Lo tau gak wajahnya saat nyeritain tentang perjodohan? Dia bahkan belum lulus, tapi-” “Cukup. Gue paham. Lu cepet pergi.” Indra membuang muka. Ica menghela napas. “Gua minta maaf. Seenggaknya gua udah jalani peran jadi temen curhatnya. Gua naruh harapan besar ke lo. Gua bahkan nganggep Hanna adek gua, lo ngerti?” Ica menepuk bahu, lalu meninggalkan lelaki itu.
Indra langsung memegang dadanya. Detak jantungnya berdetak kencang. Apa yang terjadi? Hanna menyukainya? Lelucon apa itu? Ica jelas tidak mungkin berbohong. Ia pernah melihat wajah Hanna merona saat sekelompok dengannya. Jadi?
Tepukan bahu mengangetkannya. Indra menoleh. Wajahnya seketika merona. Jaraknya dengan orang itu hanya satu langkah. Indra menelan ludah. “M-maaf. Tadi Ica sama kamu kan? Sekarang dia dimana?” Orang itu Hanna. Dengan wajah malu-malu ia menatap lawan bicaranya. Tersenyum. GLEK! Apa itu? Indra kembali menelan ludah. Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak berani menatap gadis itu. “Kalo gak salah kesana deh.” Indra pura-pura menunjuk suatu tempat, mengalihkan pandangan. Hanna berterima kasih, lalu pergi.
Indra kembali memegang jantungnya. Ada apa dengan hari ini? Haruskah ia mengecek kenormalan jantungnya itu? Lelaki itu tertawa sendiri. Diliriknya jam tangan. Sebentar lagi pelajaran dimulai. Ia menggenggam tasnya lebih erat. Bersikaplah biasa didepannya, bodoh.
Indra memakirkan motor di pinggir jalan. Ia menengok bagian ujung joknya, lalu tersenyum senang. Ini nyata. Gue tadi boncengin dia. Ia terus bergumam pelan. Rasa senang itu tidak dapat disembunyikan. Hingga hati kecilnya menyuarakan pendapat, “Lu gila ya? Lu nggak mikir entar jadinya kek apa? Kalo emang kalian jadian atau gak, itu sama aja kan? Hanna bakal sama orang lain. Dan lu mungkin gak mikir perasaannya sekarang. Dia lagi dilema tau. Bingung. Lu mah enak, ditolak tinggal cari yang lain, Hanna? Sial. Lu gak pernah jadi gue sih, gimana rasanya sakit? Bego.”
Indra membeku. Akal sehatnya kembali. Kalau dipikir-pikir, untuk apa ia menuruti ucapan Ica. Bukankah itu malah akan jadi rumit? Cinta tidak harus memiliki. Lagipula bagaimana jika dirinya dilaporkan ke orangtua Hanna? Indra menggeram. Apa yang sudah dilakukannya? Kenapa ia menuruti nafsu cintanya? Sial. Ini semua tidak akan ada artinya. Kalaupun ditolak, ia tetap akan bertemu dengannya.
Hpnya berbunyi. Dengan malas-malasan ia mengambil. Pasti bokap gue. Jarinya terhenti mengetahui siapa yang menelepon. Buru-buru diangkat. “Ya? Kenapa Han? Lu gak apa-apa kan?” Suara Indra terdengar ceria. Tidak ada jawaban. Indra mengenyitkan dahi. Ada apa? “Han? Lu masih disitu kan?” Suara Hanna mulai terdengar. Rasa senang sekaligus kecewa bercampur. Indra langsung menjawab sekenanya, lalu menutup panggilan. Ia menghela napas panjang. Belum satu menit sejak telepon singkat itu, hp kembali berbunyi. Terlihat dilayar, Bokap. Indra mendengus mengabaikan. Segera menyalakan motor, pulang.
Malam itu sunyi. Hanya isak tangis yang terdengar. Sore tadi Ummi sudah tahu semuanya. Beliau mengancam akan mengeluarkan Indra dari sekolah jika macam-macam dengan Hanna. Hanna mengelak, membantah. Tapi Ummi tetap dalam pilihannya. Hanna tertunduk sedih.
“Kau sudah berani main dibelakang. Ummi tak akan membiarkanmu terjerumus. Kau tau? Hati Ummi sakit melihat CCTV saat kau boncengan dengan lelaki yang bukan mahrom. Jarak itu dekat sekali. Bagaimana jika dibiarkan? Bisa-bisa terdengar kabar hamil-” “Hanna bukan orang seperti itu. Tadi itu hanya-” “HANNA!” Hanna mengusap airmatanya. Mengingat bentakan Ummi sore tadi. Ia sudah membuat keputusan besar. Andai Indra tidak mengatakan kalimat itu. Andai…
Hanna bangkit mendekati meja belajarnya. Diraihnya kertas dan pena. Ia akan menulis surat perpisahan. Perpisahan? Airmata itu langsung mengalir deras. Kenapa harus secepat ini? Ia tidak masalah memendam rasa sepihak. Tapi? Ia meremas kertas itu. Mengatakan dalam hati itu semua bukan salah Indra, melainkan dirinya. Ia ingat pernah berdoa agar Indra memiliki perasaan yang sama, menatapnya, dan memilikinya. Bodoh. Hanna mengusap wajahnya, mengambil cermin, lalu tersenyum.
“Ini terjadi karena keserakahanku kan? Kenapa aku malah sakit? Bukankah keinginanku sudah terjadi?” Hanna menangis dalam senyap. Tangisan memilukan untuk gadis yang masih mengenggam kuat perasaannya. Ia belum siap melepaskan. Jadi ini yang akan terjadi jika ia diharuskan dengan orang lain? Melupakan cinta hebat ini? Disisi lain Hanna bersyukur. Dia yakin jika seperti ini, akan memudahkannya membuka hati untuk jodoh yang akan datang. Jodoh yang sedari dulu disiapkan oleh-Nya, tapi dibelokkan oleh setan dengan lelaki yang kini juga memiliki perasaan yang sama. Ia tersenyum. Kisah ini sudah berakhir.
Hening. Indra menelan ludah, menerima hati-hati kertas itu, lalu membacanya. 5 menit lengang, Hanna angkat bicara, “Kau paham? Maafkan aku.” Gadis itu menatap sejenak lelaki didepannya. Tersenyum. Itu benar-benar senyuman terburuk. Ia membungkuk, pergi. Indra menunduk. Andai ia tidak gegabah. Andai ia…
Lelaki itu menjatuhkan tubuhnya, menangis. Dadanya benar-benar sesak. Sayatan itu terus mengiris hatinya. Ia melirik kertas itu. Membacanya sekali lagi, berharap penglihatannya salah. Tapi itu sia-sia. Kertas itu bertuliskan,
“Maaf, Indra. Kertas ini saksi terakhir kita bertemu. Aku akan pindah. Ummi sudah tahu semuanya. Beliau sangat marah. Aku mengalah, walau ini menyakitkan. Bertahun-tahun aku menyimpan erat perasaan ini. Hingga saatnya untuk terlepas. Aku amat mencintaimu. Tapi? Hahaha. Aku naif sekali. Kalau aku menerimamu, sama saja bunuh diri bukan? Aku bersyukur masih diberi kesadaran menulis ini. Kau pasti paham. Pak Slamet menemukan CCTV dimana kita bertemu. Itu masalah besar. Kau hampir dikeluarkan. Bagaimana bisa? Orangtuaku bisa melakukan apa saja, Indra. Tidak masuk akal bukan?
Aku senang kau ternyata mencintaiku. Tapi kita masih kecil. Belum ke jalan yang lebih serius. Aku tak mau merepotkanmu. Orangtuaku tidak akan menerimamu. Maafkan aku.
Sepertinya aku tidak bisa menyalahkanmu. Tapi? Aku bisa bertahan mencintaimu walau itu diam-diam. Aku tidak pernah berpikir kita akan saling memiliki. Maaf, kau terlalu egois. Kalau, kalau saja kau tidak mengatakan kalimat itu… ah. maafkan aku. Terima kasih untuk semua kenangannya.”
Indra menyeka air matanya. Kalau saja ia tidak menyatakan perasaan, tentu tidak akan terjadi seperti ini kan? Benar kata Ica. Dia adalah orang bego yang dikenalnya.
Cerpen Karangan: Nazai