Kau tahu cintaku, sepercik cahaya lilin saja sudah bisa menerangi seluruh isi ruangan kosong di sisi hatiku, apalagi kobaran api yang besar, apakah kau bisa membayangkan seberapa terang ruang kosong itu? kau tahu perbedaannya bukan? dan sekarang aku masih bersusah payah untuk membuat sinar cahaya lilin itu agar bisa menjadi kobaran api yang besar.
Saat senja mulai nampak dari ufuk barat, aku masih saja meregangkan semua otot-otot tubuhku. Saat ku mulai langkahkan kakiku kudengar samar-samar suara seperti bergumam. Alunan suara itu indah sekali, tapi aku sama sekali tidak mengerti maksud dari alunan suara itu. Saat kudekati suara itu semakin keras dan semakin jelas pula alunannya tapi sayang sekali aku sama sekali masih tidak mengetahui bahasanya. Kusibakkan dahan pohon yang menghalangi pandanganku, kulihat seseorang sedang membaca buku, tapi aku tidak mengetahui buku apa itu. Dia memakai tutup kepala yang aku tak tahu namanya. Apakah semua orang di Indonesia selalu seperti itu, mengalunkan suara yang tidak jelas namun begitu indah? Kukepalkan tanganku erat-erat ingin kutepis rasa penasaranku tapi seakan tahu pikiranku rasa penarasan itu malah semakin bertambah. Kulangkahkan kakiku perlahan, kuperhatikan wajah gadis yang terlihat fokus membaca buku tebal itu.
“Hei!” Sapaku seraya menepuk pelan lengan gadis bersuara indah itu. Tapi bukan mendapat respon yang baik, gadis ini tampak terkejut. Berdiri dari tempat duduknya dan menjauh beberapa langkah dariku. “Maaf, siapa kamu?” Tanya gadis itu dengan nada gemetar. “Aku hanya ingin bertanya, jadi jangan takut aku tidak memiliki niat jahat.” Jawabku setenang mungkin. Terlihat seulas senyum di wajah cantiknya.
“Apa yang kamu baca tadi? Kenapa begitu indah sekali?” Gadis itu mulai mengangkat wajahnya. “Kamu tidak mengetahuinya, sama sekali tidak tahu?” Tanya gadis itu dengan penuh keraguan. Aku menggeleng sembari tersenyum. “Ini Al-Qur’an.” Lanjutnya, seraya mengangkat buku tebal itu. “Apa itu Al-Qur’an, buku mengenai lagu kah itu?” Tanyaku masih tak mengerti. “Bukan. Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci utama dalam agama Islam.” “Tunggu sebentar, Islam? Apa itu Islam?” “Islam adalah suatu agama yang mengimani suatu tujuan yaitu Allah.” “Aku masih belum mengerti, lalu apa yang kamu kenakan di kepalamu itu? Baru kali ini aku melihat seseorang yang berpenampilan sepertimu.” “Ini namanya jilbab, di dalam islam seseorang wanita wajib mengenakannya.” Ujarnya dengan suara yang lembut. “Sebenarnya kamu orang mana sampai-sampai kamu tidak tahu mengenai agama Islam?” “Aku kelahiran lndonesia, tapi dari kecil aku hidup di London dan tiga hari yang lalu untuk pertama kalinya aku mendarat di lndonesia. Aku masih berusaha beradaptasi di sini, dan yang pasti tidak ada orang lain yang aku kenal selain keluargaku sendiri jangankan agama, mengenai lndonesia saja aku tidak paham.” Tuturku, terlihat senyum tipis di bibirnya. “jadi maukah kau membantuku untuk mengenal lndonesia dan agama lslam?” “Sesama muslim, selalu dituntut untuk menolong sesama jadi saya tidak punya alasan untuk tidak membantu kamu.” Jawabnya sembari tersenyum ramah. Kuangkat tanganku untuk awal dari sebuah perkenalan, tapi dia tidak menjabat tanganku melainkan hanya menepuk kedua telapak tangan sembari sedikit menunduk. Jadi apakah orang lndonesia sesombong ini? Sampai tidak menjabat tangan orang lain. Kuturunkan tanganku dengan kecewa.
“Briyan Alward, kamu bisa memanggilku Briyan.” “Annasya Adreena Saila, kamu cukup menganggilku Nasya.”
Hari ini hari minggu, jika aku masih berada di London aku harus mengikuti kursus photografi, aku menyukai dunia itu. Tapi, di lndonesia aku hanya sering sendiri di dalam kamar sembari mendengarkan musik. Tidak banyak yang aku lakukan di sini kedua orangtuaku juga terlalu sibuk dengan urusanya. Aku merebahkan tubuhku di kasur empuk ini, entah kenapa aku tiba-tiba tersenyum ada bayangan manis yang tiba-tiba hadir dihadapanku. Setelah pertemuanku tiga hari yang lalu dengan Nasya aku menjadi lebih sering tersenyum. Entah kenapa mungkin karena aku terlalu senang pada akhirnya aku mempunyai teman di sini.
Kuraih ponselku yang sendari tadi kuletakan di atas meja. Kucoba menulis pesan untuk gadis itu. Hari ini aku ingin mengajaknya bertemu di taman yang beberapa hari yang lalu kita ketemu, cukup sulit untuk membujuknya tapi pada akhirnya dia bersedia untuk datang. Secepat kilat aku menyambar jaket yang tersampir di kursi, lalu melesat saat itu juga dengan mobilku.
Kulihat Nasya sedang menungguku, aku tersenyum bisa melihatnya lagi. Aku menghampiri dan menyapanya. Dia terperanjat dan mengubah posisi duduknya. “Jangan mendekat!” “Kenapa Sya?, bukankah kita sudah saling mengenal.” “lya, tapi kita bukan muhrim, jadi kita duduknya berjauhan ya?” “Kamu sombong sekali, segitukah orang lslam sampai duduk saja dibatasi tidak boleh berdekatan.” Kataku sambil duduk menuruti perintahnya tadi. “Bukanya aku sombong Briyan. Tapi dalam lslam, jika kita berdua berdekatan apalagi saling menyentuh, secara hukum lslam dianggap zina dan zina itu berdosa.” Ujarnya dengan lembut. Aku hanya garuk-garuk kepala, semakin lama Nasya berbicara yang aku tidak tahu maksudnya.
Tiba-tiba terdengar alunan indah itu lagi. Tapi kali ini bukan Nasya yang membacanya. “Sudah adzan. Saya mau sholat dulu, kamu mau ikut atau menunggu di sini?” Tanyanya dengan tersenyum. “Tunggu, Kamu bilang apa? Adzan? Lagu yang indah itu namanya adzan?” “Marilah ikut saya, nanti di jalan saya jelaskan.” Aku hanya mangguk-mangguk dan menuruti ucapanya. “Eih… jangan dekat-dekat kita bukan muhrim.” Ucapnya saat kami mulai melangkah meninggalkan taman. “Muhrim lagi muhrim lagi, apa itu muhrim, Nasya? Kamu membuatku bingung.” “Kita belum ada ikatan Briyan, jadi haram hukumnya jika kita berdekatan seperti ini.” “lkatan seperti apa? Maksudmu sepasang kekasih?” “Bukan, tapi ikatan pernikahan.” “Bukankah kita masih muda? Kenapa kamu berfikir sejauh itu?” Tanyaku, perlahan Nasya menjelaskan tentang apa itu muhrim dan aku mulai memahaminya.
Akhirnya kami di suatu bangunan besar yang sangat megah. Aku tidak pernah menjumpai bangunan seperti ini di London. Alunan indah itu berasal dari bangunan ini. Aku melihat orang-orang yang masuk kedalam bangunan ini. Mereka berpakaian serupa dengan Nasya, dan bagi laki-laki mereka menggunakan penutup kepala juga seperti topi. Aku merasa asing di sini, orang-orang di London tidak pernah seperti ini. Apakah orang lndonesia selalu seperti ini?
“Suara adzan tadi berasal dari sini. Saya sholat dulu Briyan, kamu tunggu di sini saja ya nanti kita akan bicara lagi setelah saya selesai sholat.” ujar Nasya, sebelum ia menghilang dari pandanganku. Aku duduk di depan bangunan yang begitu besar ini. Saat aku mendongak ke atas aku membaca tulisan “Masjid lstiqlal” inikah nama bangunan ini?
Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang. “Tidak sholat mas? Kok tidak masuk.” Tanya seorang pria, aku hanya tersenyum dan cepat-cepat menggelengkan kepala. Orang itu membalasku dengan tersenyum lalu permisi dari hadapanku. Ada getaran tersendiri saat aku ditanya seperti itu. Entah kenapa? Ternyata tidak butuh waktu lama untuk menunggu Nasya keluar dari bangunan ini.
“Kamu nunggu lama Briyan?” Tanya nya sembari duduk di sampingku. Ya walaupun tidak begitu dekat. “Tidak Sya, apa yang kamu lakukan di dalam?” “Sholat” Jawabnya singkat “Apa itu sholat?” “lbadah wajib umat islam.” “Oh ibadah. Aku juga beribadah di London tapi hanya 1 minggu sekali. Apakah kamu juga seperti itu?” “Tidak ibadahku setiap hari. Sholat wajib dan sunnah” “Kenapa semua wanita di sini mengenakan penutup kepala sepertimu? Mengapa mereka mengucapkan Alunan indah seperti yang biasa kamu ucapkan? Apakah semua orang lndonesia selalu seperti itu?” “Tidak Briyan, itu hanya wajib untuk umat islam. Tidak semua orang beragama islam tetapi kita sesama umat beragama harus menghargai agama lain bukan? contohnya Kristen, Katolik, Budha, Hindu.” “Di London aku tidak pernah melihat bangunan semegah ini.” “Bangunan ini namanya Masjid, digunakan orang Islam untuk beribadah.” “Lalu kenapa tadi sholat laki-laki dan perempuan di pisah?” “Dari dulu memang seperti itu, sesuai kodratnya seorang laki-laki adalah seorang pemimpin dia akan menjadi imam dan wanita adalah makmum, umumnya seorang imam harus selalu di depan, bukan.” “Sya, kenapa aku tertarik mengenai Islam?” “Mungkin karena di London kamu tidak pernah melihat orang islam, tidak pernah melihat masjid, tidak pernah melihat orang mengaji.” Jelasnya, ya mungkin yang dikatakan Nasya ada benarnya.
Cerpen Karangan: Dewi Namira Andika Blog: namiradhika.blogspot.com