Lambat laun aku semakin bertambah dekat dengan Nasya. Diam-diam aku mengagumi gadis cantik ini. Hampir setiap hari kami bertemu. Dia begitu dengan sabar dan tenang menjeaskan seperti apa Indonesia dan apa itu Islam, dan sekarang aku mulai paham mengenai Islam. Ternyata agama Islam begitu indah, sangat indah. Begitupun dengan Nasya dia gadis berkepribadian baik, ramah, dan anggun. Kurasa sekarang aku menyukainya dan semakin lama aku mengenalnya rasa suka itu berubah menjadi cinta. Ya, aku mencintai Nasya. Nasya pernah berkata bahwa di dalam Islam tidak ada ikatan sepasang kekasih. Jika sudah seperti itu aku yakin pada diriku sendiri ingin lebih dari sekedar teman.
Hari ini aku dan Nasya akan bertemu, mengatakan akan menunjukkan sesuatu kepadaku, entah apa itu. Sudah 30 menit aku menunggu Nasya di taman biasa kami bertemu. “Assalamualaikum, maaf Briyan saya terlambat, tadi ada masalah sedikit.” “Tidak apa-apa Sya, Kamu mau menunjukkan apa?” Ucapku tanpa berbasa-basi. Nasya hanya tersenyum dan mengambil sesuatu dalam tasnya setelah menemukannya, cepat-cepat ia mengetik sesuatu di ponselnya. “Kamu lihat ini Briyan, ternyata di London juga ada masjid, tapi bagaimana bisa kamu tidak mengetahuinya?” Ucapnya dengan mata berbinar-binar. Ponsel itu ia sodorkan aku menerimanya, aku hanya tersenyum melihatnya. Betapa bodohnya aku sampai tidak mengetahui bahwa di London ada masjid.
“Sya, aku ingin mengatakan sesuatu.” Kataku pada akhirnya setelah beberapa saat diam. Aku tidak tahu kenapa, jantungku berdegub dengan cepat, tanganku gemetar dan berkeringat dingin. “Iya, Briyan.” Jawabnya dengan tersenyum. “Sya, aku mencintaimu, aku ingin hubungan kita lebih dari sekedar teman, aku ingin kamu menjadi makmumku Sya, dan aku ingin menjadi imammu.” Kubuka mataku setelah setelah mencoba untuk terpejam. Tapi yang aku lihat buka wajah kegembiraan tapi wajah kekecewaan. “Maaf Briyan, aku tidak bisa.” “Ke… kenapa?” “Kita berbeda keyakinan.” “Lalu apa masalahnya, katamu kita harus saling menghargai agama lainnya, lalu kenapa kamu menolakku dengan alasan seperti itu?”
“Briyan, dengarkan aku kita berbeda keyakinan, di dalam islam dilarang menikah berbeda agama. Bukan hanya orangtuaku tapi kedua orangtuamu akan menolak rencana kamu yang mustahil akan terjadi.” “Lalu bagaimana caranya agar kamu menjadi istriku Sya.” “Dengan kamu merubah keyakinanmu, menjadi mualaf.” “Aku akan tetap berjuang demi kamu Sya.” “Maaf, saya harus pergi. Mungkin sudah cukup saya membantu kamu. Assalamualaikum Briyan Alward.” Ujarnya sembari berlalu dari tempat ini. “Ingat Sya, aku tidak main-main dengan apa yang aku katakan, kita memang berbeda tetapi aku aku akan menepis perbedaan kita.” Ada rasa kecewa dengan apa yang aku ucapkan aku merasa semua hanya sia-sia. Namun aku tidak akan menyerah begitu saja, di lain sisi aku memang harus menerima kenyataan bahwa kami berbeda. Aku melihat matanya berkaca-kaca tadi. Kenapa kita dipertemukan dalam sebuah perbedaan yang mustahil disatukan?
Dengan langkah gontai aku masuk ke dalam mobilku, menatap kosong sekelilingku kuharap ini hanya sebuah mimpi di mana disaat aku terbangun ini semua tidak akan terjadi. Kunyalakan mesin mobilku. Untung saja selama perjalanan maut tidak menghalangiku hingga aku sampai rumah dengan selamat.
Seminggu telah berlalu tapi masih saja tak ada kabar dari Nasya. Kucari ia di taman tidak ada, di masjid juga tidak ada, kutelepon hasilnya nihil. Tuhan apa yang harus aku lakukan? Seminggu aku memikirkan gadis itu, seminggu pula aku memikirkan keputusan yang harus aku ambil. Entah mengapa aku merindukan suara adzan. Saat bersama Nasya tempo hari aku selalu menikmati suara itu, tapi sekarang aku merasa ada yang hilang. Kupejamkan mataku beberapa saat dan setelah aku membuka mata aku telah membulatkan tekadku. Aku yakin sekarang.
Sunyi sekali suasana di meja makan ini. Ya inilah keseharianku dengan mama hanya dentingan sendok dan piring yang terdengar berisik. Mama tak pernah peduli denganku. “Mam!” Panggilku hati-hati. “Iya, Briyan.” “Aku akan pindah agama. Aku akan masuk Islam.” “Apa?” Tanya mama dengan seketika menghentikan makannya. “Apa-apaan kamu, atas dasar apa kamu mengganti agamamu menjadi Islam?” “Islam itu indah mam, tekadku sudah bulat. Aku akan masuk Islam.” “Tidak, mama tidak mengizinkan kamu. Kamu akan beda dengan mama dan papa.” “Mam, sudah cukup mama atur hidupku. Aku sudah dewasa, aku berhak menentukan hidupku. Dari kecil aku sudah menuruti semua perintah mama.” Kataku sedikit berteriak, tanpa kusadari aku menyesal membentak mama. Kuambil langkah seribu meninggalkan mama sendirian di meja makan. Dengan marah aku membanting pintu kamarku. Aku sengaja melakukan itu, agar mama tahu betapa marah aku kepadanya.
Tok… tok… tok… “Briyan!” Suara mama, aku tetap diam. “Briyan, buka pintunya. Mama mau bicara.” Panggil mama lagi, aku memilih diam tidak menjawab. Sebelum aku bicara, kucoba tenangkan diri, menurunkan sedikit kobaran api yang saat ini tengah membakar kepalaku. “Buka saja mam, pintu itu tidak dikunci.” Mama masuk ke dalam kamar, duduk di sebelahku. Memelukku dan mencium keningku.
“Mama minta maaf sama Briyan kalo memang mama punya banyak salah sama kamu.” Aku mengangguk dan membalas pelukan mama. “Kenapa kamu ingin masuk Islam, sayang?” Tanya mama sembari mengelus kepalaku. “Aku merasa nyaman dengan agama Islam, mam.” “Tapi kamu tahu seseorang yang beragama Islam di London itu seperti apa?” “Tapi pada kenyataannya, Islam itu indah. Briyan yakin.” Ucapku bersungguh-sungguh. “Apa kamu tidak ingin memikirkannya lagi?” “Briyan sudah memikirkan matang keputusan Briyan, dan sekarang tekad Briyan untuk masuk Islam sudah bulat. Briyan mohon, restui dan hargai keputusan Briyan.” “Kamu benar-benar yakin?” Tanya mama berusaha tetap meyakinkanku. “Iya aku yakin.” Ucapku mantab. Mama mengangguk sembari tersenyum. Terima kasih Tuhan, Kau beri jalan terbaik untukku.
Seperti biasanya masjid Istiqlal selalu ramai. Entah mengapa aku rindu tempat ini. Tak bisa dipungkiri aku juga merindukan Nasya, gadis perparas cantik itu. “Briyan?” Aku tersentak mendengar suara itu, suara seorang gadis yang aku rindukan. “Nasya, kemana saja kamu?” “Untuk apa kamu kesini?” Tanya gadis itu dengan menunduk. “Pertama, aku merindukanmu. Kedua, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.” “Apa? Kamu mau mau masuk Islam. Apa kamu yakin.” “Dengan sangat yakin.”
Aku dan Nasya masuk ke dalam masjid. Dengan hanya disaksikan pak ustad dan sebagian para jama’ah masjid, aku dituntun untuk mengucapkan 2 kalimat syahadat. Cukup mudah untuk masuk ke dalam Islam. Aku tersenyum bahagia saat semuanya selesai begitupun dengan Nesya. Akhirnya aku sah masuk Islam. Alhamdullillah.
“Sya!” Panggilku saat kami akan meninggalkan masjid. “iya.” Jawab Nesya yang tampak malu-malu. “Aku telah berhasil menepis perbedaan di antara kita, dan sekarang kamu penentunya. Maukah kamu menjalin sebuah ikatan denganku? Ikatan pernikahan.” Ucapku tanpa menunggu apa-apa lagi. “Dengan senang hati, Briyan.” Aku tak bisa membayangkan betapa bahagianya aku sekarang.
—
“Saya terima nikahnya Annasya Adreena Saila binti Ali mustofa dengan mas kawin uang sebesar 10.000.000 Rupiah di bayar tunai.” Saksi meneriakkan kata SAH, penghulu menyetujuinya. Sempurna. Sungguh aku bahagia dan orangtua dari kedua belah pihak juga terlihat bahagia. Terima kasih Ya- Allah Kau melimpahkan kebahagiaan ini. Nasya meraih tangan kananku dan mencium punggung telapak tangganku. Dengan satu gerakan aku mencium kening istriku. Hari bahagia.
“Annasya, kamu sudah menjadi istriku aku mohon maaf jika aku belum bisa menjadi imam yang baik untukmu. Tapi sekiranya kamu tidak keberatan, tuntunlah aku dalam sholatku, bacaan Al-Qur’an ku, dan semua mengenai agamaku.” “Iya mas, aku siap menuntunmu dalam sholatmu dan bacaan khitabmu.” Kini kami tersenyum bahagia.
Bahagianya saling melengkapi, saling mengerti saling memahami, tak bisa dipungkiri aku mencintai Indonesia dan Agamaku, banyak perbedaaan, namun akan menjadi indah jika perbedaan itu bisa saling menyempurnakan.
Selesai…
Cerpen Karangan: Dewi Namira Andika Blog: namiradhika.blogspot.com