Aku membenarkan posisi terompah abah sebelum beliau selesai mengenakan jubah putih kesayangannya. Sejak setahun terakhir, jubah itu menjadi andalannya untuk menghadiri undangan khusus. Dan malam ini, abah akan memenuhi sebuah undangan yang sudah lama dinantinya. Beliau berusaha tampil menarik dengan berkali-kali mematut diri di depan cermin panjang yang tak jauh dari kamar mandi. Aku menahan senyum melihat abah yang bertingkah seperti anak muda, mondar-mandir hanya karena ingin mengoreksi penampilannya.
“Terompah abah sudah kau siapkan, Meyda?” Aku mengangguk. “Sudah kau hubungi Ahsan?” Aku kembali mengangguk. “Oh ya, tolong tasbih abah di depan rak buku yang menghadap ke selatan.” Aku berlalu dari hadapan abah untuk memenuhi perintahnya. Kuraih tasbih dengan butiran permata yaqut yang lembut dan mungil itu, kemudian kumasukkan ke dalam saku jubah abaya ungu yang kukenakan malam ini.
“Meyda, Ahsan sudah datang.” Panggil abah lirih namun terdengar tegas. Aku segera menghampiri abah yang sudah siap menungguku di kursi bagian depan bersama Ahsan, sopir pribadi abah. Yah! Aku bertugas menemani abah kemanapun beliau pergi semenjak hari wafatnya ummi beberapa tahun yang lalu. Karena, akulah satu-satunya putri semata wayang dengan beban berat yang akan aku tanggung nanti. Bismillah dengan ikhlas, in sya Allah aku bisa menjadikan pesantren yang menjadi tanggung jawabku ini lebih baik, sesuai permintaan abah. “Abah tidak ingin santri yang banyak. Abah cuma ingin santri yang nurut.” Pesan abah ketika sebulan yang lalu terbaring lemah di rumah sakit.
“Neng, sudah sampai.” Ahsan membangunkanku pelan. “Oh!” Aku gelagapan, kemudian bersusah payah menegakkan tubuh yang ku biarkan meringkuk selama perjalanan. “Abah mana?” Ahsan menunjuk abah yang sedang di gandeng beberapa santri Habib Ahmad dengan jari jempolnya. “Ngapunten, tadi romo yai melihat antum sudah sangat lelap. Tapi, sekarang Neng Meyda diutus menghadap romo yai beserta habaib yang sudah menunggu kedatangan Neng Meyda.” Aku segera beranjak dan hatiku sedikit berbungah ketika memasuki gerbang yang langsung menghubungkan dengan ruang tamu mewah itu. Berharap menemui sosok pilihanku yang sampai sekarang pun aku belum berani mengajukannya pada abah. Jangankan matur (bilang. indo) kepada abah, namanya saja aku belum tahu. Yang jelas dia tampan. Saking tampannya, aku menilai wajah itu seperti sibawaih (Tokoh yang biasa diceritakan dalam ilmu Nahwu). Dan aku baru dua kali bertemu dengannya pada acara yang sama beberapa tahun lalu. “Ternyata dia tidak datang.” Aku menunduk lesu.
“Meyda?” Panggil abah. “Iya, Bah?” Jawabku, berusaha menyembunyikan rasa sedih yang tiba-tiba menyeruak. “Dengarkan dawuh Habib Ahmad.” Tutur abah yang langsung kuturuti. “Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang harinya lebih buruk dari hari kemarin maka ia termasuk orang yang binasa, barang siapa yang harinya sama dengan hari kemarin maka ia termasuk orang yang merugi, dan yang beruntung adalah orang yang harinya senantiasa lebih baik dari hari kemarin.” Sejenak aku merenungkan tutur kata dari Habib Ahmad yang diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia oleh penerjemah.
“Dengarkan baik-baik, Meyda.” Abah langsung meluncurkan kata-kata yang membuat kedua pipiku memanas. “Tidak selamanya manusia hidup dalam kebahagiaan. Jangan gara-gara ditinggal ummimu saja kamu jadi malas beribadah seperti dulu. Itu akan merugikan dirimu sendiri. Abah harap tidak ada sesi yang kedua kali setelah abah meninggal nanti.” Abah memutar biji tasbihnya dengan khusyuk. “In sya Allah, Bah.” Abah mengangguk dan aku bernapas lega. Syukurlah, aku memang dua kali frustasi. Dan yang dimaksud abah kali ini bukan keegoisan pada seseorang yang dulu pernah gagal dijodohkan denganku melainkan frustasinya aku saat menghadapi kepergian ummi ke tempat pembaringan terakhirnya.
Sebenarnya, aku berencana merajut kisah baru bersama calon suamiku sebelum ummi meninggal untuk membahagiakannya bersama lelaki pilihanku sendiri. Namun apa daya jika bukan jodoh, maka Alloh akan menggerakkan salah satu hati untuk tidak mencintai lagi. Dan saking sibuknya menyelesaikan program S2, aku belum bisa memenuhi permintaan ummi yang menginginkanku menikah di usia belia dan aku belum bisa menemukan pengganti mas Damar. Sampai hari pada tahun itu tiba.
“Monggo di minum, Neng.” Tiba-tiba datang seorang santri putri yang mengajakku beristirahat di ruang belakang. Aku menoleh ke arah abah untuk mendapat persetujuannya. “Meyda.” Panggil abah sebelum aku beranjak. Beliau menggenggamkan tasbih dengan butiran putih bening itu di tangan kananku. “Abah.” “Istirahatlah secukupnya. Selama ini abah selalu merepotkanmu.” Abah mengusap jemariku dengan lembut. Aku hanya mengangguk dan memasuki rumah mewah dengan design interior masa kini itu bersama Nila. “Semoga Neng Meyda betah disini. Ini bekas kamar Habib Husain.” Ujar Nila, khodam (pembantu. indo) cantik yang menemani istirahatku itu sibuk membawa masuk banyak camilan ke dalam ruangan. “Terima kasih. Aku mengantuk, Nila.” Jawabku seadanya, kemudian tak lagi menyadari keberadaanku. Samar-samar aku mendengar Nila yang bertanya pada dirinya sendiri tentang letak selimut khusus tamu yang baru saja dicucinya.
—
“Hari ini abah ada jadwal mengajar di pondok putri. Kitabnya Tafsir Al-jailani. Sudah Meyda siapkan di atas meja.” Abah mengangguk santai, menikmati sayur brokoli yang dimasak sesuai selera oleh khodam pribadi beliau. Untuk masalah memasak, abah memang tidak ingin mempercayakannya padaku. Mengingat aku adalah sosok manja yang segala sesuatu harus dipersiapkan sebelum aku marah-marah mencarinya dan ummi pun tidak ingin membiarkan kulit kuning langsatku terbakar oleh api kompor yang membahayakan. Tapi, itu sudah berlalu setelah ummi meninggal. Dan sekarang, tugasku adalah mandiri dan merawat sebagian barokah dalam hidupku. Sedikit ilmu yang pernah kudengar dari salah seorang guru memberi tahuku bahwa, apabila sosok seorang ibu telah meninggal dunia, hilanglah separuh barokah dalam hidupnya. Dan aku benar-benar ingin mengistimewakan abah.
“Tasbih abah mana, Meyda?” Tanya abah yang sudah siap dengan terompah di kaki kanannya. “Abah menitipkannya pada Meyda.” Aku segera berlari kecil menuju kamar yang berada di lantai dua. Setelah merogoh saku jubah, aku merasa panik karena tasbih itu tidak ada. Apa mungkin aku lupa? Tanyaku dalam hati dan berusaha merekam ulang kejadian dindalem (rumah. jawa) Habib Ahmad setelah dibangunkan Nila. “Abah, tasbih itu tidak ada.” Bibirku bergetar menahan tangis. Aku merasa tidak bisa menjaga amanah sekecil itu. Menjaga tasbih saja aku nggak bisa apalagi pesantren sebesar ini. “Abah, apa ini pertanda kalau Meyda tidak pantas meneruskan syiar ini?” Abah merengkuhku ke dalam pelukannya. “Abah percaya padamu. Kamu mengerti, tasbih itu adalah tasbih yang bukan sembarang orang bisa tau. Hanya mereka yang memiliki ketaqwaan tinggi yang mampu melihatnya.” “Bagaimana mungkin kemarin Meyda bisa melihatnya dan hari ini tidak, Bah?” Tanyaku penasaran. “Memang, hati manusia sering terombang-ambing. Ya Muqallibal qulub, Wahai Allah Sang Pembolak-balik hati, akan ada waktunya bagi putriku ini untuk tetap menjadi sang peneguh iman.” Beliau melirikku dengan senyum yang tak bisa kuartikan. “Abah, Meyda bukan orang yang bertaqwa.” Ujarku penuh kesedihan. Sebagai putri semata wayangnya, aku benar-benar merasa lemah.
“Tasbih itu adalah pemberian Syaikh yang abah kenal dari mimpi. Beliau merangkul abah sembari menyatakan, bahwa ketaqwaan abah ini setara dengan ketaqwaan beliau. ” “Subhanallah abah, Maha Suci Allah yang meletakkan kerasnya irodah (keinginan yang kuat) di hati para pengharap akhirat.” Aku mencium tangan abah penuh takzim. “Maafkan Meyda yang tanpa sengaja menghilangkan tasbih itu, Bah. Meyda akan mencarinya di ndalem Habib Ahmad.” Pintaku pada abah. “Iman tanpa ibadah tidak akan bermanfaat. Ibadah tanpa iman tak bisa di terima Allah. Agar ibadah diterima maka harus dibekali ilmu. Gunakan ilmumu untuk bisa membaca jejak seseorang dan merasakannya. Sekali lagi, tasbih itu bukannya hilang, tapi kamu tidak bisa melihatnya. Mungkin kamu meninggalkan beberapa amalan yang abah berikan.” Aku mengangguk. Karena kelelahan, aku memang sengaja meninggalkan amalan-amalan yang diberikan abah. Dan aku tak pernah menyadari tentang tingginya nilai spiritual yang ada pada tasbih itu. “Meyda minta maaf, Bah. Meyda janji tidak akan mengulanginya.” Janjiku pada abah yang disambut dengan anggukan lembut dari beliau. “Berikan tasbih itu pada Meyda.” Putus abah yang lama melihatku termenung. Dan aku kembali termenung setelah melihat sosok yang sangat aku kenali. Dia?
—
“Kitab Al-Muwatha’ karangan Imam Malik sebagai maharnya. Dan Meyda ingin mengunjungi makam para Salafus Sholih yang berada di Indonesia.” Ucapku datar dan berharap calon suamiku akan memenuhi keinginanku. “Bagaimana kalau ziarahnya itu dalam rangka bulan madu?” Usul abah yang langsung kusambut dengan anggukan takzim. Walau dalam hatiku kurang bisa membenarkan usul abah. Tapi, semua setuju dan pernikahan akan berlangsung nanti malam atas kesanggupan dari calon suamiku dan pihak keluarganya. “Meyda, apa yang kamu perlukan?” “Tidak ada, Ummi. Perlengkapan busana, Meyda mewarisi gaun almarhumah ummi. Masih bagus kok.” Calon ibu mertuaku itu tersenyum menatapku.
Saat malam menjelang, dimana detik-detik aqad itu akan dimulai aku merasa sangat gerogi. Berulang kali abah mengingatkanku untuk tidak menularkan rasa gerogi itu pada calon suamiku. “Abah, syafakallah.” Aku merangkul pundak abah yang sudah begitu rapuh. Aku berharap kesehatan selalu ada pada dirinya. “Amin ya mujibassailin.” Balas abah. Aku melihat ada kesedihan di mata sendunya. Mungkin beliau berpikir, akupun berpikir sebentar lagi takzimku sepenuhnya untuk suami. “Meyda, kamu sudah tau kan kalau suamimu itu bakal syaikh besar?” Aku mengangguk. “Mengabdilah padanya, karena dia akan selalu mengingatkanmu pada Rabb dan Rasulmu walau sekedar melirik wajah teduhnya.” Aku kembali mengangguk.
Aqad berlangsung selama tiga menit. Suamiku benar-benar lancar dan fasih dalam melafalkan sighot aqad dalam dialek bahasa arab tulen. Aku tak pernah menyangka, dia adalah seorang habib yang menjadi putra angkat Habib Ahmad. Dan aku kembali tercengang ketika mengetahui bahwa Husein, si sibawaih itu adalah putra kandung Habib Ahmad.
“Bang, selamat ya. Suatu saat Husain juga ingin mendapatkan wanita cantik yang sholeha seperti Neng Meyda.” Ujar Husain mendekati abangnya. Husein, si sibawaih itu melirikku. “Amin.” Sahut Ahsan, seseorang yang baru saja menjadi halal untukku. Seseorang yang adik angkatnya pernah jadi bagian yang aku semogakan untuk hidupku. “Aminin dong, Neng. Do’a pengantin baru biasanya mustajabah.” Guraunya, membuatku tersipu. Namun, ku merasa canggung dan ragu.
Saat aku mulai membalas senyumnya, tiba-tiba kabar itu melenyapkan senyumku. Seketika. Abah? Penyakit jantung abah kambuh? Aku sempat marah dalam hati karena abah tidak bilang dari awal tentang penyakit beliau yang sering kambuh akhir-akhir ini. Jika begitu, aku pasti akan menunda acara ini. Namun, abah bersikeras jika tidak sekarang pernikahan itu dilaksanakan, maka abah tidak akan bisa melihatku. Memang tiada yang patut disalahkan. Selagi ada suka, duka pasti mendekat. Bukan berarti Allah tidak suka melihat hamba-Nya bahagia melainkan, itu adalah bentuk ujian yang di berikan-Nya untuk menguji setebal apa iman para hambanya.
“Yang tabah, Nduk.” Ummi mendekapku. Aku menangis tiada henti setelah acara pemakaman abah selesai. Tak lupa aku terus berdzikir dalam hati dengan tasbih pemberian abah. Salah satu bentuk rasa rindu yang aku sampaikan melalui Al-fatihah khusus untuknya. Dan aku tidak bisa mempertahankan hari bahagiaku selain hanya dua jam yang berarti. Mas Ahsan tetap menguatkanku dan berencana untuk mengembangkan pesantren ini sesuai permintaan abah.
“Bi, abah memberitahuku kalau antum adalah syaikh yang hadir dalam mimpi abah untuk memberikan tasbih ini.” Mas Ahsan mengangguk. Kali ini senyumnya tidak sesopan ketika menyamar menjadi seorang sopir pribadi abah. “Tasbih ini pemberian abi angkatku, Habib Ahmad. Dan hanya orang-orang yang memiliki ketaqwaan setara dengan kakek beliau yang bisa melihatnya. Abahmu adalah salah satunya.” “Alhamdulillah. Tapi, seorang Habib, kenapa harus menjadi sopir? Itu terlalu merendahkan diri.“ Protesku. “Di luar sana bahkan banyak habaib yang menjadi tukang becak, Dek. Dan alasan kenapa abi memilih menjadi sopir pribadi abah, karena abi ingin dekat dengan abah.” “Santri yang tekun juga bakalan dekat dengan abah.” Kilahku, membenarkan ucapannya. “Kalau menjadi santri yang tekun aku memang bisa dekat dengan abah. Tapi, kalau sopir kan aku bisa lebih dekat dengan abah dan putrinya.” Mas Ahsan menjahiliku dengan ucapannya. “Ternyata ada niat terselubung.” Aku mencibir, seolah berpura-pura menyesal. “Bukan begitu. Selain itu, aku juga ingin menyembunyikan identitasku sebagai putra dari kakak abi angkatku dan ingin ngalap (mengambil. indo) barokah dari yai yang putrinya ingin ku jadikan ratu pendamping hidupku.” Mas Ahsan merangkulku penuh sayang. “Insya Allah tidak ada yang salah ketika seorang Habib banyak beralasan.” Candaku kemudian mengakhiri kajian kitab Al-muwatha’ itu dengan pergi berwudhu dan melanjutkan sholat malam.
Cerpen Karangan: Rista Dwi Anggraini Blog / Facebook: Rista Dwi Anggraini
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 23 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com