Kutatap ia dari balik pintu kamar kami, ia tampak termenung seakan pikirannya tengah kosong. Aku sudah memperhatikannya sejak di rumah Kak dina tadi, tepatnya pada saat acara selamatan penyambutan kedatangan putra kak dina yang baru lulus dari pondok pesantren di Yaman itu, ia sudah mulai nampak berwajah demikian.
Akupun masuk ke dalam kamar kami, kuletakan gelas berisi air putih itu di sampingnya, ia masih tak bergeming dari lamunanya. “Mas kenapa mushapnya tidak dibaca? Pamali jika dibiarkan dibuka saja” Tegurku, perlahan ia mulai menyadari kehadiranku. “Astagfirullahal’azim”. Ucapnya segera menutup mushap yang ada di pangkuannya lalu meletakannya di nankas kecil samping tempat tidur, kuperhatikan setiap gerak geriknya.
“Melamunkan apa mas?” tanyaku. Ia tersenyum dengan wajah tertunduk, kududukan diriku di sampingnya, masih kentara di wajahnya bahwa ia masih memikirkan sesuatu, jujur aku sangat penasaran, karena sangat jarang sekali ia bersikap demikian.
Setelah beberapa saat menatapku ia mulai membuka suara. “Mas mau tanya sesuatu boleh? tapi kamu jangan marah ya?” tanyanya, entahlah tapi sekilas aku dapat melihat raut kesedihan dan keraguan di matanya. Aku menatapnya heran. “Boleh, tanya apa mas, saya ada salah ya?” ucapku. Ia hanya menggeleng. “Mas mau mungikhlaskan kamu dik” ucapnya parau. Jelas aku sangat terkejut dengan pertanyannya, ada apa ini kenapa ia begini. “Maksud mas apa?”. “Mas tau, yang kamu suka dari dulu itu dia bukan mas, mas ini hanya sekedar mirip saja sama dia, ilmu agama yang mas punya juga tak sehebat dia. Sekarang dia sudah pulang, mas ikhlas jika kalau kamu mau kembali sama dia”. Ucapnya, wajahnya nampak tertunduk dalam tak berani menatapku.
“Mas ini ngomong apa, kenapa sampai berpikiran seperti itu, saya sudah sangat bahagia bisa hidup sama mas” jawabku jengkel, rupanya masih ingat tentang cinta kelamku dimasa lalu dengan putra kak Dina. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana tragisnya kisah cinta bertepuk sebelah tanganku itu, aku bahkan sampai-sampai seperti orang depresi saking besarnya cintaku dengan putra kak Dina itu, atau lebih tepatnya keponkanku sekarang. Masih ingat dengan jelas saat pemuda tampan dan agamis itu menolak cintaku mentah-mentah, lalu pergi dengan begitu saja selama bertahun-tahun setelah menorehkan luka itu padaku. Tidak tahukah dia bahwa cintaku begitu besar untuknya kala itu!
Aku beruntung setelah setengah tahun lama akhirnya aku bertemu dengannya, seseorang yang dapat menghapus luka itu, siapa lagi kalo bukan suamiku ini. Awalnya kukira suamiku ini adalah dia, aku sangat terkejut saat melihat wajah keduanya nampak begitu mirip, tidak hanya itu perawakannya pun juga sangat mirip, hal ikhwal dalam masalah agamanya pun juga sama, hanya tingkah dan gaya bicaranya saja yang sangat jauh berbeda.
Awalnya akupun berat menerima pernikahan ini, karena hati dan ragaku masih tertuju padanya. Padanya yang tengah jauh menuntut ilmu disana. Namun Allah punya takdir yang luar biasa, perlahan namun pasti akhirnya aku mulai menerima cintanya dan mencoba menjalani takdir yang seharusnya.
Kutarik nafas dalam dan kutatap ia dengan lekat “Mas, kalau seandainya saya masih belum bisa melupakan dia, mana mau saya menerima pernikahan kita, saya menerima mas bukan karna semata-mata mas mirip sama dia atau karna mas itu pamannya. Saya cinta sama mas itu tulus, mas buah dari do’a-do’a dan kesabaran saya setelah saya tersiksa oleh perasaan saya sendiri” ucapku setelah kami terdiam beberapa saat, kutatap dia lekat sambil mencoba menjelaskan apa yang menjadi keraguannya padaku selama ini. Setelah terdiam beberapa lama nampak ia masih teguh dengan pendiriannya.
Aku beranjak dari sampingnya kuraih kunci motor yang tergantung di samping pintu kamar, lalu berjalan kerluar rumah. “Dik tunggu, dulu” ia bergegas mengejarku. “saya kecewa, mas meragukan cinta saya untuk mas. Bagaimana mungkin mas bisa berkata seperti itu pada istri mas sendiri, apa menurut mas selama ini saya berpura-pura mencintai mas? cinta saya ini tulus mas” Ucapku dengan isak tangis, ia terlihat bersalah melihatku menagis. “Dik maksud mas bukan seperti itu, mas hanya tidak mau kamu tidak bahagia hidup bersama mas, mas ini tidak seperti yang kamu inginkan.” “Tapi saya tidak mau kembali dengan dia mas, kenapa mas meragukan saya. Saya bukan perempuan yang rela membuang emas yang ada di tangan saya hanya untuk sekedar ingin memiliki kilau berlian yang jelas bukan punya saya” jawabku, ia tanpa terdiam mendengar jawabanku, tanpaknya ia mulai menyadari sesuatu. Kulihat wajahnya semkin tampak lebih merasa bersalah dari pada tadi.
“saya mau tidur di rumah ibu malam ini, saya akan pulang setelah rasa kecewa saya hilang”. Kuhidupkan mesin motor metik itu dan melaju ke rumah ibuku yang lumayan jauh tempatnya, suaranya terdengar samar terus memanggil namaku diantara suara mesin kendaraan yang menderu, kuhiraukan udara dingin yang terasa menusuk kulitku, tapi biarlah. Aku ingin tenang malam ini, aku ingin ia menyadari kesalahnnya. Dan aku pun ingin menyadari perasaanku yang sesungguhnya.
Cerpen Karangan: Maulida Hariati Blog / Facebook: HariatiMaulida
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 9 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com