Namanya Shyntia Jum’at, 14 Mei 2021 Mobil Pajero Sport menderum meninggalkan kota kelahiranku. Mentari mempertontonkan sinar lembut berwarna jingga keemasan di senja hari. Beberapa hari kedepan akan sangat mendebarkan. Karena aku akan datang ke rumah seseorang yang jangankan bertemu, melihat fotonya saja tak pernah.
“Sore-sore begini sepertinya paling enak makan bakso.” Ibuku memberi usul. “Nah cocok tuh!” serempak aku, Mas Jundi, dan Mas Emil menyahut. Dan kami berakhir di warung bakso yang cukup terkenal di Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung. Terletak di pinggir jalan protokol yang cukup padat, ditambah pelanggan yang padat pula. Karena euforia hari raya Idul Fitri masih kental. Maklum, ini adalah hari kedua Lebaran. Semua sedang menikmati tunjangan hari raya sambil bercengkrama.
“Kamu gugup nggak, ham?” Mas Jundi membuka pembicaraan. “Engga tuh.” jawabku sambil memasang muka sok keren. “Ah masa.” Mas Jundi meledekku lagi. “Serius.” sambil mengacungkan dua jari peace. “Yang penting maju dulu, urusan disana akan bagaimana bisa dipikir belakangan.” ujarku lagi sambil meringis.
Tujuh mangkuk bakso ludes dilahap oleh enam orang. Seperti biasa aku selalu minta tambah satu mangkuk. Bakso adalah makanan kesukaanku.
“Bu, kira-kira Shyntia gugup nggak ya?” aku bertanya kepada ibuku sembari mobil kembali di jalan protokol. “Sudah pasti gugup. Dia baru saja mengirim chat kepada ibu. Katanya dia kecemasan.” jawab Ibuku sambil terkekeh. “Shyntia kok bisa mau sama aku ya, bu?” aku masih terheran-heran.
Skenario Langit Mas Azzam tertunduk di hadapan penghulu. Wajahnya merah padam. Detak jantungnya berdegup kencang. Ia berada di momen paling mendebarkan seumur hidupnya. Ijab qobul.
Masjid Jami’ Manna mendadak hening. Semua mata tertuju kepada sepasang lelaki, empat orang saksi, dan seorang penghulu yang duduk di tengah-tengah masjid. Sekelompok wanita bercadar duduk di bagian Timur masjid sambil mengusap air mata haru. Terlihat jelas bahwa mereka adalah teman-teman sejawat mempelai wanita.
Mas Azzam mendengar wali berkata-kata. Pengalihan amanah yang berat. Menggantian peran sang ayah untuk mencintai dan memuliakan mempelai wanita. Tangannya bergetar menjawat tangan kanan wali dari calon mempelai wanita. Perlahan suara Mas Azzam berseru berat disertai tangannya yang masih tremor.
“Saya terima nikahnya Fiki Ajeng Eka Safitri dengan mas kawin tersebut, tunai!” “Sah?” Penghulu mengedarkan pandangan kepada seluruh saksi. “Sah!” Jawab seantero masjid Jami’ Manna. “Alhamdulillah.” Pengulu mengucap hamdalah, yang diikuti oleh seluruh tamu. Lalu dilanjutkan dengan pembacaan doa.
Dan disitulah dia, tertunduk di tengah-tengah sekelompok wanita bercadar. Turut melantunkan do’a untuk sahabat karibnya yang baru saja resmi menjadi seorang istri. Dia adalah Shyntia. Duduk tepat dibelakang seorang wanita bercadar putih. Tak lain adalah ibuku.
Shyntia menggamit tangan seorang wanita paruh baya sembari membuka pembicaraan. “Nggak nyangka ya, ma. Kak Ajeng sekarang sudah menikah. Lalu teman Shyntia siapa dong? Apalagi Kak Ajeng hendak dibawa suaminya ke Lampung.” Ucapnya murung. “Apa Shyntia mau Mama carikan laki-laki juga. Seorang yang soleh dan penghafal Al-Qur’an?” Tanya Mama Wati. Mertua baru Mas Azzam. “Mau, ma!” Shyntia berbinar.
Keanehan itu 7 Bulan sebelum keberangkatan ke rumah Shyntia. “Shintya pernah pacaran?” Tanya ibuku melalui chat Whatsapp. “Tidak pernah, bunda. Bahkan Shyntia pernah dianggap tidak normal oleh Bapak dan Emak.” Jawab Shyntia. “Kok bisa?” Ibuku terheran. “Iya bunda. Karena Shyntia selalu tak acuh ketika ditanyai soal laki-laki. Shyntia tidak pernah berminat membahasnya. Bapak, Emak, Abang, sampai kakak ipar seringkali bertanya kepada Shyntia apakah sudah punya pacar atau belum. Tetapi Shyntia selalu bilang tidak punya. Shyntia tidak mau memikirkan laki-laki dulu. Shyntia ingin fokus belajar. Sampai akhirnya dianggap tidak normal oleh keluarga.” Jawab Shyntia terkekeh. “Lalu sekarang?” Ibuku penasaran. “Sejak pertama kali Mama Wati memaparkan tentang Ilham kepada Shyntia. Disitu Shyntia merasa mantap. Mama Wati banyak bercerita tentang Ilham. Juga memperlihatkan wajahnya, walau hanya melalui fotonya. Shyntia tidak terlalu melihat kepada fisik ataupun harta. Shyntia suka karena agamanya baik.” Balas Shyntia. “Lalu? Shyntia sudah bicara kepada orangtua?” Ibuku masih penasaran. “Sudah. Dan sontak seluruh rumah mentertawakan Shyntia. Seorang yang tidak pernah jatuh cinta. Selalu tak acuh saat membicarakan kaum Adam. Tak punya pacar. Tak pernah dekat dengan lelaki. Secara tiba-tiba meminta untuk menikah. Di tengah padatnya semester empat program Pendidikan Kedokteran yang ia ambil. Seluruh keluarga mengira Shyntia bercanda.” Kisahnya. “Baiklah. Bunda percaya pada Shyntia. Karena Bunda juga percaya pada Mama Wati. Maka insya Allah Bunda akan secepatnya berkunjung ke kediaman Shyntia. Bunda sekeluarga ingin berkenalan dengan Shyntia, Bapak, Emak, dan seluruh keluarga Shyntia.” Respon Ibuku.
Manna, Kota Kenangan Pukul sembilan pagi kami sampai di Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu. Setelah empat belas jam perjalanan menyisir lintas Barat Sumatera. Melewati kawasan Bukit Barisan yang dinaungi pepohonan besar, jalan menanjak, curam, dan berliku. Tak lupa dilengkapi oleh hadirnya kawanan kera yang bergelantungan di pinggir jalan. Setelah keluar kawasan Bukit Barisan kami bertemu jalan yang diapit oleh bukit di sisi kanan dan pantai di sisi kiri. Maha besar Allah. Sungguh pemandangan yang menakjubkan.
Untuk ke sekian kali akhirnya aku kembali ke Manna. Dulu, kami sering ke Manna dalam rangka perjodohan Mas Azzam dan Mbak Ajeng. Hari ini mereka sudah menikah, bahkan persalinan pertama mereka sudah menjelang. Jantungku berdegup kencang melihat jalanan yang sudah sangat familiar di mataku. Karena di Manna hanya ada satu jalan besar sejauh kurang lebih tiga kilometer saja. Terdapat dua masjid besar di jalan protokol ini. Yaitu, masjid Jami’, tempat Mas Azzam dan Mbak Ajeng melaksanakan pernikahan, dan satu lagi bernama masjid Rukis. Aku yakin rumah Shyntia tidak jauh dari jalan protokol ini. Karena wilayah Manna tidaklah besar.
Sabtu Malam, Kutatap Rembulan Euforia hari raya masih sangat terasa. Pasar malam banyak dikunjungi keluarga, muda-mudi, hingga anak-anak yang sekedar bermain petasan. Bulan Purnama bertengger di langit kota kenangan. Memberi suasana dingin sekaligus perasaan yang hangat. Nun jauh di Bumi, ada seorang wanita yang sedang kecemasan, dan laki-laki yang sedang berusaha mengatur pernafasan. Agar tetap rileks.
“Masya Allah. Anak ibu gagah sekali.” Ibuku memujiku yang sedang berdandan. Memakai kemeja semi batik. Berwarna biru dongker, berlengankan benang-benang berwarna emas yang membentuk motif batik berkesan elegan, celana panjang berbahan halus berwarna senada dengan kemejaku, sepatu pantofel hitam yang sudah disemir, rambut yang sudah berkali-kali diberi conditioner agar tetap lembab dan wangi, dan tentunya selalu disisir meski tidak ada perubahan. “Sudah rapi belum, bu?” Tanyaku sambil meringis. Ibuku hanya mengacungkan jempol. Mengangguk. “Oke. Kalau sudah siap semua, ayo kita berangkat!”
Dua mobil berwarna putih menembus jalan protokol Manna, satu milik orangtuaku, satu lagi milik Mama Wati. Didalam mobil aku hanya diam, berarap jaraknya tidak dekat, karena kali ini aku yang kecemasan, meski aku tau Manna adalah wilayah yang kecil.
Cerpen Karangan: M. Ilham Salim Blog / Facebook: Muhammad Ilham Salim M. Ilham Salim, seorang mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Metro, Lampung.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 7 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com