Mobil kami berhenti di depan sebuah ruko. Bagian bawahnya adalah garasi, tempat penyimpanan hasil bumi, sekaligus toko. Bagian atasnya adalah rumah Shyntia. Kami disambut didepan gerbang oleh Shyntia sekeluarga. Aku turun dari mobil, lalu menuju bagasi untuk mengambil oleh-oleh yang kami bawa. Lalu aku berdiri paling belakang, bersalaman paling akhir. Dari kejauhan aku melihat sesosok wanita dengan hijab berwarna hijau pupus yang terjulur sampai pinggang, mengenakan gamis berwarna hitam, sangat kontras dengan wajahnya yang bercahaya. Sontak aku langsung menundukkan pandangan, lalu bergumam, “Pasti ini yang namanya Shyntia. Ternyata cantiknya bukan bualan.”
Malam itu aku sangat lega. Keluarga kami disambut sangat baik oleh keluarga Shyntia. Percakapan kami sama sekali tidak ada yang mengarah ke arah pernikahan. Karena ini adalah pertemuan pertama. Jadi lebih baik perkenalan dahulu. Membahas latar belakang masing-masing. Juga pada malam itu aku lebih banyak tertunduk dan diam. Tak lupa aku sering mencuri-curi pandang ke arah Shyntia. Kesempatan ini tidak boleh dilewatkan begitu saja. Berbulan-bulan aku hanya mendengarnya dari cerita, tak pula berani melihat fotonya, aku ingin melihatnya secara langsung. Dan sekarang ia ada di hadapanku. Aku ada di hadapannya. Ia juga melakukan hal yang sama (mungkin).
Ayahku dan Bapak Shyntia mendominasi pembicaraan. Membahas latar belakang, pengalaman kerja, serta rencana-rencana. Meski baru bertemu, rasanya seperti sahabat yang lama tak jumpa. Pembicaraan sangat berkesinambungan, saling simpati, saling menghargai. Maha suci Allah, lagi-lagi kugumamkan dalam hati. Inilah keindahan persaudaraan dalam Islam.
“Shyntia, besok bunda pulang pukul sepuluh pagi. Kira-kira kalau Shyntia datang ke rumah Mama Wati pukul delapan bisa tidak? Sepertinya Ilham ingin ngobrol berdua. Ingin berkenalan.” Tanya ibuku yang lagi-lagi membawa namaku tanpa izin. “Insya Allah bisa, bunda.” Jawab Shyntia takzim.
Aku dan Shyntia. Berdua. Semalaman aku tidak bisa tidur. aku baru terlelap pukul tiga pagi. Walau mata terpejam, pikiranku melayang tak tentu arah. “Besok aku harus berbicara apa?” Pertanyaan ini selalu terngiang-ngiang di kepalaku.
Pukul tujuh pagi. Setelah mandi dan sarapan, aku menyendiri. Memasang headset, lalu membuka youtube. Aku mengetik “Apa saja pertanyaan yang diajukan saat ta’aruf?” Se-awam itu.
Pukul delapan pagi Shyntia datang. Sendirian. Ia tampak anggun berbalut gamis berwarna abu-abu, jilbab berwarna hitam, dan sayangnya memakai masker. Masker itu menutupi wajahnya yang berseri. Sangat disayangkan.
Shyntia datang membawa dua buah minuman Buavita rasa Jambu Biji. Ia menyodorkan satu kepadaku. “Ini buat saya?” Tanyaku polos. “Iya.” Shyntia menjawab singkat. Untuk pertama kali aku mendengar suaranya. Ini adalah suara paling merdu di dunia, batinku.
Kami berbincang di ruang tamu rumah Mama Wati. Awalnya, ayah dan ibuku menemani. Berbasa-basi. Lalu, kami ditinggal berdua. Kami seperti orang bingung. Bingung ingin berbicara apa. Awalnya, aku berpikir akan dibantai banyak pertanyaan oleh Shyntia, ciri khas seorang yang memiliki idealisme tinggi seperti dia. Ternyata sama sekali tidak. Shyntia tak banyak bicara. Berarti aku yang arus mengendalikan pembicaraan.
“Shyntia kesini naik apa?” Aku berbasa-basi. “Naik mobil.” “Nyetir sendiri?” “Iya.” “Shyntia bisa mengendarai mobil?” Tanyaku heran. “Alhamdulillah bisa.” Basa-basi yang bodoh. Sudah jelas aku tau dia tidak diantar dan membawa mobil sendiri. Sudah pasti ia bisa menyetir mobil. Aku menggaruk kepala yang tak gatal.
“Dengar-dengar Shyntia pernah ke Korea Selatan, ya?” Ia memang anak yang sangat berprestasi. “Iya. Dulu Shyntia mewakili sekolah dalam ajang World Invention Creativity Olympic (WICO) di Seoul, Korea Selatan. Kami meneliti bagian dalam cangkang kerang yang ternyata memiliki kandungan protein yang sangat tinggi.” Ujarnya. “Berarti Shyntia sangat pandai dalam bidang pengetahuan alam, ya. Pantas saja masuk kedokteran.” “Tidak juga, aslinya Shyntia ingin menjadi pedagang seperti bapak dan emak. Tapi bapak dan emak lebih ingin Shyntia menjadi dokter.” “Ohh begitu.”
Setelah mengobrol cukup lama, aku mulai kehabisan topik basa-basi. Rasanya sudah saatnya masuk ke dalam topik serius. Shyntia tidak banyak bertanya. Aku lebih mendominasi pembicaraan. Dia terlihat sangat malu, seperti tak biasa berbincang dengan laki-laki. Ayah, ibu, dan mas Jundi menguping dari dalam bilik kamar.
“Hmm… Jadi begini, kita kan belum pernah kenal sebelumnya. Jangankan kenal, bertemu saja kita tidak pernah. Lalu hanya berawal dari ditawarkan oleh Mama Wati dan berlanjut video call dengan bunda. Mengapa Shyntia bisa serta-merta mau dengan saya? Padahal kan kita tidak pernah mengenal sebelumnya. Shyntia tidak tau kekurangan saya, bahkan belum pernah melihat wajah saya secara langsung sebelumnya.” Pertanyaan ini sangat mengganjal di hatiku cukup lama. “Saya mau dengan Ilham hanya karena agamanya, tidak lebih. Saya ini berasal dari keluarga sederhana di kampung. Bapak dan emak berdagang hingga sukses seperti sekarang. Tapi saya tak lebih hanyalah anak kampung. Saya tidak melihat dari sisi materi. Saya rasa apa yang Allah beri sudahlah cukup untuk saya. Saya mencari seseorang yang baik agamanya, baik akhlaqnya. Dan saya melihatnya pada diri seorang Ilham. Oleh karena itu saya setuju saja.” Alasan yang sangat sederhana sekaligus membuatku malu luar biasa. Aku yang masih belum istiqomah dalam beramal. Aku yang masih banyak kekurangan. Masih sering berbuat salah. Dianggap sebegitu baiknya oleh seorang Shyntia.
“Kalau begitu saya akan menyampaikan alasanku. Sebelumnya aku belum pernah kenal atau melihat Shyntia. Melihat foto Shyntia pun saya tak berani. Ibuku yang menyampaikan segala sesuatu tentang Shyntia. Dan aku langsung setuju karena pilihan seorang ibu jarang meleset. Lalu sosok dirimu sangat sesuai dengan rencana hidupku kedepannya. Aku memiliki banyak sekali kekurangan yang bisa kau tutupi, begitu pula mungkin sebaliknya, kelebihanku bisa menutupi kekuranganmu. Setelah pembicaraan kita ini, aku semakin mantap dan merasa semakin cocok denganmu.” Aku menjelaskan.
“Shyntia sebenarnya ingin pernikahan di laksanakan secepatnya” Ujar Shyntia, “Tetapi bapak dan emak lebih menghendaki supaya Shyntia lulus dulu dari kedokteran, karena kuliah di kedokteran membutuhkan tingkat fokus yang tinggi. Dan Shyntia baru lulus sekitar tiga setengah tahun lagi.” Ujar Shyntia “Tidak mengapa. Biar aku juga sambil memantaskan diri dan mempersiapkan segala sesauatunya. Tidak perlu khawatir.” Jawabku.
Pembicaraan berlanjut hingga satu setengah jam. Ta’aruf adalah sesi dimana kita harus benar-benar jujur dan terbuka kepada calon pasangan. Tiga setengah tahun adalah waktu yang cukup lama, tapi aku rasa itu adalah waktu yang pas juga. Karena akan tepat setelah aku wisuda S1 dan Shyntia pula resmi menjadi dokter. Ujian sebenarnya adalah sekarang: Masa-masa penantian.
Cerpen Karangan: M. Ilham Salim Blog / Facebook: Muhammad Ilham Salim M. Ilham Salim, seorang mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Metro, Lampung.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 7 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com