Aku sampai di pekarangan rumah Kiai Maksum lima menit menjelang shalat Ashar. Kiai Maksum meenyambutku di teras rumahnya. Aku kebanyakaan menundukkan kepala saat beliau berbicara denganku. Tak lama kemudian, aku mendengar suara kaki yang menginjak lantai keramik dari dalam. Aku mengangkat kepalaku sekilas. Ternyata Annisa yang muncul dari dalam rumah membawakakan minuman untuk kami. Aku sama sekali tidak berani mengangkat mukaku saat putri semata wayang Kiai Maksum itu meletakkan minuman di atas meja di hadapanku. Aku hanya bisa melihat wajahnya yang anggun yang memantul dari kaca meja. Hatiku berdesir halus saat itu. Jantungku juga mau copot. Aku tidak memungkiri kalau Annisa memang benar-benar jelita. Sayang, untuk memilikinya rupanya masih jauh dari panggan daripada api.
“Silakan diminum, Mas!” Kata Annisa dengan menutup bibirnya di balik ujung kerudungnya. Aih! Aih! Suaranya terasa ces di hati. Lembut bagaikan tetesan salju dari petala surga. Aku jadi teringat kala pertama kali aku bertemu dengannya saat mengajar di Madin milik pesantren Tebu Ireng dulu. Matanya. Aih sungguh bening! Tatapannya sampai menusuk ke ulu hati sehingga menyebabkas bekas luka yang mendalam. Dan luka itu menyebabkan aku jatuh hati padanya.
Setelah itu, Annisa kembali masuk ke dalam rumahnya. Saat gadis itu sudah hampir sampai di gorden yang terbentang di pintu tengah, aku mengangkat mukaku sehingga aku hanya melihat kerudung hijau pupusnya yang berkelebat. Lalu gadis yang mengenakan gamis hijau itu menghilang di balik gorden. Hatiku meronta-ronta memanggil namanya. Kemudian ganti menjerit-jerit meminta belas kasih Tuhan yang telah menciptakan gadis itu.
“Bagaimana dengan mabitmu tiga malam terakhir ini, Fik?” Tatapan Kiai Maksum tajam bersekongkol dengan nada suaranya. “Aku harap kamu berhasil melaksanakan mabitmu dengan khusyuk dan lancar tanpa gangguan apa pun.” Aku menundukkan kepalaku. Aku menekuri nasibku. Aku meratapi takdirku. Aku sadar bahwa diriku memang tidak pantas untuk bersanding dengan Annisa. Lalu aku teringat bagaimana ketika kali pertama kami saling bertemu. Sungguh Annisa telah menawan hatiku. Aku tidak bisa melepaskan dirinya. Namun apa yang musti aku lakukan untuk mendapatkan dirinya. “Gagal, Kiai.” Aku menjawab dengan menundukkan kepala.
Kiai Maksum menghela napas panjang. Lalu sepasang matanya menatap bola mataku seakan-akan hendak mencari sesuatu di balik sana. Aku tahu bahwa Kiai Maksum tidaklah sembarangan untuk melakukan ini. Beliau memang memiliki sebuah pertimbangan yang matang untuk menikahkan putrinya dengan seorang pemuda. Termasuk ujian yang diberikannya padaku. “Kamu itu gimana, Fik? Padahal melakukan mabit kan sangat mudah? Kenapa musti gagal?” Kiai Maksum membenamkan ujung rokoknya ke dalam mulutnya lalu menghisapnya dalam-dalam.
Kemudian, dengan penuh penyesalan aku lantas menceritakan kegagalanku saat mabit selama tiga hari berturut-turut. Sebenarnya yang menyebabkan kegagalan dalam menyelesaikan mabitku bukan karena sebuah alasan yang tidak jelas, melainkan karena berkaitan dengan hubungan antar sesama manusia agar saling tolong-menolong. Namun aku yakin apa pun alasannya, Kiai Maksum tidak akan menerima semua ini.
—
Tiga hari yang lalu aku minta izin sama ayahku untuk ikut mabit di masjid yang jaraknya hanya 20 meter dari rumah. Rumah yang berada di tengah permukiman penduduk itu biasanya ramai jika ada pengajian majelis taklim. Jamaahnya akan membeludak bahkan sampai ke pekarangannya sebab biasanya pengurus takmir mengundang kiai yang mengasuh Pesantren Tambak Beras maupun Pesantren Tebu Ireng. Ayah-ibuku juga akan hadir dalam acara pengajian itu. Namun bukan karena kiainya yang humoris melainkan karena ceramahnya yang penuh dengan nasihat-nasihat indah. Kiai itu menyampaikan nasihatnya dengan diselipi guyonan khas kiai Nahdhiyin.
“Tumben kamu ikutan mabit, Fik? Biasanya kamu selalu mengatakan sibuk dengan tugas-tugas kuliahmu dan tugas-tugas muridmu yang mesti kamu nilai,” ujar Ayah menggodaku. “Iya, Pak. Sekarang aku baru sadar bahwa urusan duniawi dengan urusan ukhrawi itu sama-sama pentingnya. Tidak boleh timpang salah satunya. Kita musti harus bekerja di dunia agar kita bisa bertahan hidup. Sebab dengan begitu kita dapat mengabdi kepada Yang Mahahidup,” sahutku.
Saat ini aku masih menyelesaikan pendidikan S1-ku di Universitas Hasyim Asyari yang masih satu yayasan dengan Pesantren Tebu Ireng. Selama kuliah aku selalu mendapatkan nilai B+ setiap kali mengerjakan tugas dari dosen sehingga aku diminta oleh keluarga ndalem agar mengajar di MA. Tebu Ireng. Baik putra maupun putri. Rupanya ini adalah takdir dari Tuhan yang mempertemukan aku dengan kekasih pujaan hatiku. Sebagai seorang guru aku harus bersikap profesional. Selama memberikan pelajaran aku harus menatap ke arah siswiku. Termasuk menatap langsung wajahnya Annisa. Hal ini tentu saja berbeda dengan di luar kelas. Aku sama sekali tidak berani menatap muka gadis ayu itu.
Setelah mengambil wudhu, aku masuk ke dalam masjid. Saat itu aku membaca doa untuk niat i’tikaf di masjid. Lalu aku berdiri untuk mendirikan shalat sunnah I’tikaf. Selesai shalat sunnah I’tikaf aku melanjutkan dengan shalat sunnah Tasbih seperti yang diajarkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Setelah itu aku duduk bersila dengan membaca zikir. Tasbih, tahmid, tahlil kubaca sampai masing-masing tiga ratus kali. Aku juga membaca shalawat sebanyak tujuh ratus kali.
Menjelang tengah malam aku lanjut membaca Al-Qur’an Karim. Sampai pukul satu malam masih membaca ayat-ayat suci. Untuk mengganjal perutku, tadi aku sudah membawa bekal dengan membeli dua potong roti dan sebotol air mineral. Tidak lupa aku juga membawa sedikit uang untuk jaga-jaga. Tak terasa angin malam ini terasa dingin sehingga membuat mataku sepet. Agar aku tidak kantuk, maka aku memutuskan untuk memperbarui wudhuku. Kulihat Ayah dan tiga orang lainnya yang mabit masih khusyuk bertasbih kepada Allah. Baru saja aku membuka pintu masjid, aku melihat seorang ibu-ibu paro baya yang tampaknya linglung. Ibu-ibu paro baya itu berjalan mondar-mandir di depan masjid. Aku bertanya-tanya di dalam batin. Siapakah ibu itu?
Karena aku merasa kasihan kepada ibu-ibu linglung itu, akhirnya aku keluar masjid. Tujuanku untuk memberikan dua potong roti dan sebotol air mineral untuknya. Aku juga memberikan sedikit uang yang aku simpan di dalam saku jaket. Ibu-ibu itu mengucapkan terima kasih kepadaku. Lalu ia pergi entah ke mana.
Mabit pertamaku gagal. Malam ini adalah mabit keduaku. Aku berdoa kepada Allah agar mabit malam ini tidak ada lagi halangan yang dapat membuat mabitku kembali gagal. Kali ini aku mabit sendirian di masjid Pesantren Tebu Ireng. Sampai di sana aku disambut oleh beberapa siswaku yang juga nyantri. Ketiganya berasal dari Pulau Kalimantan. Jauh-jauh dari Kalimantan mereka menimba ilmu hanya untuk berdakwah di kampung halaman mereka kelak. Seperti biasanya. Mabit malam ini aku mendirikan shalat sunnah I’tikaf di masjid. Lalu melanjutkan dengan shalat sunah Tasbih. Selesai shalat, aku membaca Al-Qur?an sampai tiga juz. Awalnya para santri banyak yang melakukan I’tikaf. Namun menjelang pukul 01.00 dini hari, mereka tidur satu per satu. Ruangan masjid menjadi sepi. kecuali di pekarangan pesantren, aku melihat ada belasan santri yang masih berjaga-jaga dari maling. Sebab beberapa minggu terakhir ini, di kampung ini telah terjadi tiga pencurian sapi milik warga. Lalu sapi-sapi hasil curian itu dibawa untuk dijual di Probolinggo. Konon maling sapi bukan penduduk asli orang sini melainkan dari kota lain. Mereka mengenakan teropong wajah supaya tidak ada warga yang mengenali mereka.
Setelah membaca Al-Qur’an, aku mencium mushaf dengan takzim. Lalu aku melanjutkan kegiatan mabitku dengan membaca zikir. Namun ketika aku tengah khusyuk berzikir tiba-tiba ada salah seorang santri yang meronta kesakitan. Seluruh santri terbangun. Termasuk aku. Aku memang tidak tega jika melihat orang lain kesakitan. Aku bangkit dari dudukku dengan menghentikan zikirku. Aku segera mendatangi santri yang kesakitan itu. Ternyata santri yang meronta kesakitan itu adalah salah seorang siswaku.
“Kamu kenapa?” Tanyaku dengan memegangi perutnya yang sakit. “Saya sakit perut, Pak,” jawabnya sambil memegangi perut dengan kedua tangannya. “Memangnya tadi kamu tidak makan?” selidikku. “Bukan, Pak. Tadi saya habis makan.” “Kalau kamu sudah makan, kenapa masih sakit perut?”
Lalu aku membantunya membopong tubuhnya yang lemas. Malam itu aku kembali keluar dari masjid. Dengan bantuan teman-temannya, aku membawanya ke kamar asrama santri itu. Aku juga melihat beberapa ustadz yang juga teman-temanku di madrasah. Mereka juga ikut mengantarkan santri itu ke kamarnya. Sampai di kamar asramanya aku membantunya supaya tidur di atas tempat tidurnya yang bertingkat.
“Memangnya apa yang telah membuatmu kesakitan?” aku menanyainya dengan lembut. Lalu santri itu berkata padaku bahwa sejak dua hari ini dia minum air keran. Katanya, kedua orangtuanya terlambat mengirim uang kiriman. Sehingga dia harus berpuasa. Untungnya ada dua orang teman sekamarnya yang mendapat kiriman dari orangtuanya sehingga dirinya bisa makan. Aku tersentuh ketika mendengar kisahnya yang menyayat-nyayat jiwa. Tanpa babibu, aku memberinya uang untuk dia membeli sebungkus nasi.
Malam ketiga, aku mabit di Masjid Pesantren Tambak Beras. Aku berdoa agar mabitku malam ini tidak kembali gagal. Meskipun begitu aku meratapi dua malam mabitku yang gagal. Aku gagal untuk mengkhitbah Annisa sebagai istriku. Dan aku sadar bahwa Annisa diciptakan bukan untuk menjadi pendamping hidupku. Saat itu aku kembali terbayang wajahnya yang bersembunyi di balik kerudung hijau. Gadis itu sungguh manis. Namun di balik itu semua aku merasa bahagia. Aku bahagia karena telah menolong sesama manusia yang sudah semestinya ditolong.
Sampai di sana aku melihat para santri juga sedang beri’tikaf. Ada yang shalat sunnah, ada yang membaca Al-Qur?an, ada yang membaca kitab kuning, ada yang bertasbih dan ada yang menghafalkan nazham Imrithy. Selesai berwudu aku masuk ke dalam masjid untuk mendirikan shalat sunnah I’tikaf. Di pesantren ini aku mempunyai beberapa teman yang sekelas denganku dulu. Dan kini mereka sudah menjadi ustadz yang disegani.
Menjelang tengah malam, angin mendesir dengan halus sehingga membuat dingin tulang persendian. Untungnya karpet yang membungkus lantai masjid lumayan tebal sehingga siapa saja yang berada di dalam masjid akan merasa hangat. Saat itu aku membaca zikir dan shalawat nabi sebanyak seribu kali. Tepat pukul tiga dini hari, aku shalat tahajud.
Selesai salam, aku menoleh ke samping kananku. Ternyata di sana tampak seorang anak lelaki. Dia adalah salah seorang siswaku. Aku kenal baik dengan anak itu. Namanya adalah Imran. Dia sering terlambat sekolah. Namun ketika aku telusuri kepada para guru pasal Imran sering masuk kelas terlambat. Ternyata, dia harus mempersiapkan sayur dagangan ibunya dan menyusunnya di atas becak. Dia anak yatim. Ayahnya meninggal dunia karena sebuah kecelakaan. Tiga tahun yang lalu. Saat Imran masih kelas 9 Mts, ayahnya yang pagi itu mengantarkan sayur dagangannya ke pasar, tiba-tiba dilantak oleh kereta api. Palang di perlintasan kereta api itu tidak ada. Jadi siapa saja yang hendak menyeberang musti tengok kanan kiri dulu. Sejak kepergian sang ayah itulah, Imran mengambilalih untuk mengantarkan sayur dagangan ibunya.
Selesai shalat, Imran memanjatkan doanya kepada Sang Ilahi. Saat itu ia menangis. Saat aku mencuri dengar, dia mengatakan bahwa saat ini ibunya tengah sakit. Hatiku merasa tersentuh. Bagaimana jika hal itu terjadi pada ibuku? Tak lama kemudian, dari luar masjid terdengar suara laki-laki yang memanggil nama Imran. Pemuda itu pun bangkit dan menghampiri lelaki itu. Lamat-lamat, aku mendengar bahwa ibunya Imran sakit keras, dan sekarang ini juga harus dibawa ke rumah sakit. Tanpa berpikir panjang, aku meninggalkan mabitku dan menghampiri mereka berdua.
“Pak Fikri!” “Maaf, Pak. Barusan Bapak bilang kalau ibunya Imran ini sedang sakit keras dan harus dibawa ke rumah sakit?” “Benar, Pak Fikri.” “Kalau begitu, keberatankah Imran jika Bapak membantu untuk membawa ibumu ke rumah sakit. Kebetulan Bapak punya sahabat yang punya mobil.” “Tentu saja tidak, Pak.”
Dini hari itu juga, aku menghubungi temanku yang kini sudah sukses menjadi seorang dokter. Aku katakan kepadanya bahwa saat ini aku sedang membutuhkan dirinya. Ternyata temanku itu mengiyakan aku. Dia akan datang dalam lima menit lagi dan langsung membawa ibunya Imran ke rumah sakit. Aku memanjatkan syukur kepada Allah, meski mabit terakhirku gagal. Mabit pertama gagal, dan mabit kedua gagal. Aku gagal untuk menghitbah Annisa. Tidak mengapa.
—
Kiai Maksum manggut-manggut mendengarkan kegagalan mabitku. Namun kulihat wajah beliau begitu cerah. Apakah masih ada harapan untukku?
“Fikri anakku, mendengarkan kisahmu yang menolong sesama begitu tulus, sama sekali tidak membuatku ragu untuk menikahkanmu dengan putriku Annisa. Menikahlah kalian berdua. Menikahlah!” Kiai Maksum menepuk-pundak tanganku. Kulihat kedua matanya basah oleh air mata. Sebuah senyuman terpancar di bibir beliau. Tulus. Tulus sekali.
Selesai
Kota Pengasingan, Februari 2022
Cerpen Karangan: Khairul A.El Maliky Blog / Facebook: @khairulazzamelmaliky
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 20 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com