Dhuha selalu menjadi waktu terindah bagi Fadli. Dia tak pernah sesekalipun meninggalkan sholat dhuha-nya. Matanya selalu tidak kuat menahan laju air mata ketika pemuda itu memohon ampun serta petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Fadli masih terbayang memori kelam di malam lalu. Waktu-waktu belakangan ini adalah menjadi masa yang sangat sulit bagi Fadli yang tengah menjalani perkuliahan di semester tujuh.
Selain menjadi masa kelam karena harus berjuang dalam penyusunan skripsi, Fadli juga berjuang di antara segala ucapan-ucapan sarkastis dari para teman kampusnya, serta dari temannya yang maha resek bernama Sudewo. Fadli Makarim Mulyono adalah seorang kosma, atau di sekolah biasa dikenal dengan sebutan ketua kelas. Dia selalu memimpin kelas DKV 7A dengan baik. Namun para teman selalu berbicara buruk tentang kinerjanya. Meski mereka memang tak pernah ada niat mengkudeta Fadli, tapi mereka tidak pernah berhenti mencemooh Fadli.
Hadirnya Sudewo teman kompleknya juga kerap membuat hatinya geram. Pemuda brandalan tersebut dulunya akrab dengan Fadli. Namun karena hadirnya sang pacar, Sudewo menjadi lupa teman, lupa daratan. Dia suka mencemooh Fadli dengan sebutan “Jones” alias jomblo ngenes.
“Hei Jones, kapan nikah? Enak lho! Gak capek apa kuliah?” “Kamu makin lama makin sombong, ya! Kamu harus tahu satu hal, Wo! Istrimu itu titipan.” “Waduh, Bapak Ustadnya ceramah nieee…” “Eh, bisa kamu jaga ucapanmu? Kita kayaknya gak perlu berteman lagi. Biarin! Kamu bisa sombong, aku juga bisa! Teman gak cuma kamu!”
Itulah sebuah kalimat terakhir dari Sudewo sebelum pada akhirnya dia tak pernah bertemu bahkan menampakkan diri kepada Fadli. Biarlah satu teman hilang, yang terpenting jiwa Fadli tenang. Berteman dengan seorang seperti Sudewo cukup melelahkan hati. Namun tak selelah memikirkan bagaimana cara agar skripsi Fadli segera tuntas.
Dalam setiap ritual sembahyangnya, Fadli selalu memohon kepasa Yang Maha Kuasa agar dilindungi dan dijauhkan dari orang-orang yang zalim. Dia memohon didekatkan dengan orang-orang yang salih sembari Fadli pula berusaha menjadi orang salih. Dia paham betul perpaduan usaha, doa, dan tawakal akan membuahkan hasil yang nikmat tiada tara.
Fadli juga sering mendengarkan lantunan ayat suci dikala dia mengerjakan tugas rumah, tugas kuliah, atau bahkan saat berolahraga. Seorang teman kampusnya yang baik bernama Falah menelponnya dan mengajaknya bertemu di suatu tempat. Falah ingin memberikan sebuah masukan dan jalan keluar atas segala masalah yang Fadli alami.
Suasana berganti di satu tempat biasa mereka berkumpul. Yakni di dekat sungai yang masih bersih dan dikelilingi pepohonan rimbun. Wilayah itu sepi jika pada hari biasa namun akan dikerumuni oleh papa-papa pecinta mancing di hari libur, apalagi tahun baru kemarin. Fadli berhasil memancing ikan bandeng jumbo yang lepas dari tambak pasca banjir setinggi paha orang dewasa.
“Bro, ingat lagi pesanku. Temen-temen di kelas itu bisanya cuma komen. Mereka banyak komen tapi tidak memberikan solusi. Fad, kamu meski terkadang juga ada salah dan miskom, dengan berani menjadi kosma untuk kedua kalinya itu sudah bagus dibandingkan mereka-mereka yang bisanya cuma komen! Aku salut sama kamu! Serius!” “Sudah mati rasa aku, Falah! Mati rasa dalam menanggapi segala komentar mereka. Aku sudah tak peduli ucapan mereka. Aku hanya bisa berusaha dan menggantungkan semuanya kepada Allah Ash-Shomad, tempatku bergantung.” “Mindset yang bagus, kawan! Ini baru temenku!” “Yang penting aku tidak pernah berhenti melakukan yang terbaik untuk mereka. Mereka pastinya tak tahu sulitnya memimpin kelas. Mereka selalu plonga-plongo tanpa bisa memberikan solusi, Falah!” “Aku juga heran. Apakah karena kuliah kita masih daring ya? Ah, sudahlah! Daripada nganggur, ikut aku yuk ke rumah Mas Ivan si dosen santuy itu. Katanya sekarang dia lagi ngelanjutin disertasinya. Siapa tahu kita bisa dibantu, dapat ide, atau bahkan ilmu baru.” “Yaudah lah, capek juga lama-lama kuliah. Sumpah, aku pengen banget lulus di semester ini. Semoga kita sama-sama bisa, ya!” “Aaamiin…”
Beberapa bulan kemudian, terjadilah sebuah keajaiban yang maha dahsyat dalam kehidupan Fadli. Dia dikabarkan menjadi satu-satunya mahasiswa DKV angkatannya yang lulus di semester 7. Meski tidak Cum Laude atau bahkan menjadi lulusan terbaik, namun dirinya bangga dan bersyukur. Dia seakan-akan sudah berhasil membalas semua bully-an teman-teman sekelasnya. Membungkam dengan prestasi.
Di tahun berikutnya, bisnis desain undangan Fadli yang dirintisnya sejak semester 1 bertambah maju. Dulunya dia hanya bisa menerima dan membuat 10-15 lembar undangan polos, kini dia bisa menerina dan membuat berlusin-lusin undangan dengan beragam model dan desain. Bahkan, hasil jerih payahnya yang selama ini sudah ditabung dapat dimanfaatkan untuk mengontrak sebuah rumah untuk dijadikan rumah usaha. Kawan-kawan yang membully-nya kini bahkan berbondong-bondong meminta lowongan pekerjaan sebagai penjaga toko.
Salah satu teman Fadli yang meminta lowongan padanya adalah Greska. Perempuan itu pada awalnya suka membullynya dikarenakan dia merasa yang paling cantik dan laris di kampusnya lantas memandang rendah Fadli yang dianggapnya burik, culun, dan gak asik. Sifatnya sama seperti Sudewo. Sangat menjengkelkan. Apalagi jika sudah bersatu dengan seorang teman Fadli yang lain bernama Ninin. Dia selalu menjadi pelopor ketika “julid” kepada Fadli.
Kelunakan hati seorang Fadli membuat hati kedua gadis itu luluh dan tersadar akan kesalahan di masa lalunya. Pacar kebanggaan mereka yang dulu, toh kini cuma bisa plonga-plongo karena gak punya kerjaan, serta tidak kuliah. Berbeda dengan Fadli yang sudah memiliki penghasilan cukup meski tanpa harus menjadi budak dari bos perusahaan ternama. Gelar sarjananya juga tidak sia-sia. Fadli kini malah dihampiri tawaran pekerjaan menjadi desainer grafis di sebuah perusahaan terkenal.
Soal lowongan, Fadli mau menerima Greska sebagai karyawati asal dia ikhlas untuk memulai menutup aurotnya. Maklum, kampus Fadli berkuliah adalah kampus umum. Berbeda dengan Ninin yang sudah istikamah menutup aurot karena berlatarbelakang pesantren. Namun sayangnya sifatnya tak mencerminkan akhlak seorang santriwati. Bahkan Fadli meringis ketika mengingat salah satu ucapan Falah yang pedas kepada Ninin saat dia menghina Fadli.
“Apaan kamu itu, Nin? Katanya santriwati, tapi sifatmu gak mencerminkan kepribadiaan seorang santriwati sama sekali!” “Falah apa sih? Kok gak jelas begitu? Tuh adik Fadli temenin sono!” “Ninin, kamu tahu? kamu itu manusia berhati setan! Percuma masuk pondok! Mendingan masuk lokalisasi aja!”
Memori Fadli seketika beralih ke sana, dia ingat totalitas Falah dalam membela Fadli. Bahkan Falah sanggup ditampar Ninin akibat kejadian itu. Lalu suara printer macet membuyarkan memori itu. Fadli lantas berfokus memperbaiki mesin cetak yang macet akibat ujung kertas tertekuk sehingga sulit untuk masuk ke celah-celah.
Dua bulan berlalu, Greska kini menjadi karyawati tetap di tempat Fadli. Gadis itu mulai menunjukkan ketertarikan terhadap Fadli. Terlebih dikala Greska menyaksikan ketabahan seorang Fadli Makarim kala pesanan menumpuk, karyawan pada bolos kerja, diprotes puluhan pelanggan, serta mesin yang mulai usang, terjadi dalam satu hari. Tetapi Fadli sama sekali tidak menunjukkan emosi jiwanya. Greska yakin, Fadli sudah berubah dan dia percaya bahwa Fadli adalah orang yang tepat menjadi pendamping hidupnya.”
“Mas Fadli, lain kali kalau hasilnya seperti ini mendingan digratisin aja deh. Rugi saya kalau bayar mahal tapi hasilnya gini!” “Baik, Bu! Hari ini akan segera saya perbaiki!”
Baru saja seorang ibu muda memprotes Fadli akibat pesanan yang tak sesuai harapan. Jiwanya sebenarnya kacau. Mulut sudah gatal ingin memaki. Kaki sudah tak tahan untuk menghancurkan sesuatu. Namun Fadli malah beralih tempat menuju toilet. Dia sama sekali tidak mengatakan apapun pada Greska yang tengah sibuk mengurusi kesalah-kesalahan agar tidak dikomen pelanggan lagi.
“Gres, coba kamu break dulu. Ambil wudu dan pakai mukenamu!” “Ngapain ya Fad? Bukannya azan masih lama?” “Sudahlah, ambil wudu dulu saja.” “Sudah?” “Sudah, Fad!” “Kamu duduk sana berjarak beberapa meter. Buka Surah Yasin. Kamu hadap barat, aku hadap timur. Lafalkan yang keras biar aku bisa dengar!”
Masya Allah! Fadli ternyata mengajak Greska mengaji dan murajaah bersama. Greska yang sudah jarang membuka kitab lantas menangis sekerasnya akibat dirinya yang lalai dan telah lama melupakan Yang Maha Kuasa. Namun di sisi lain dia makin bahagia dan mantap untuk mengutarakan isi hatinya kepada Fadli.
“Shadaqallahul ‘azhiim…” “Fadli, aku mau bilang sesuatu sama kamu.” “Apa, Gres?” “Aku mau kamu jadi suamiku, aku tidak main-main!” “Masya Allah, Gres! Kamu sadar gak? Kita ini masih umur berapa? Aku masih belum yakin untuk mencukupi kamu dan rumah tangga kita nanti…” “Fad! Aku cuma mau kamu nikah sama aku! Harta, rumah, mobil, kita cari berdua!” “Gres, tolong pukul aku pakai penggaris besi sekeras-kerasnya, supaya aku tahu apa ini nyata atau cuma halusinasi jahatku!” “Serius ya? Oke… maaf banget ya Fad…” “Tungggg…!” “Ah, sakit! Eh ya. Gak ada suara emakku yang ngebangunin. Ini artinya kenyataan! Alhamdulillah!”
Lalu Fadli malah meminta Greska menjaga tokonya sebentar. Fadli hendak pergi ke masjid yang berjarak beberapa meter dari tokonya. Dia kembali mengambil wudu dan melakukan sujud syukur kepada Yang Maha Kuasa di depan mimbar sang imam.
“Ya Allah, Terimakasih Atas Segala Limpahan Rahmat dan Karunia-Mu Di Hari Ini! Terimakasih Karena Engkau Telah Mengabulkan Doa Hamba Yang Ingin Menjauh Dari Dosa Zina. Kini Engkau Telah Mempertemukan Hamba Dengan Apa Yang Engkau Ridhoi. Dengan Seorang Wanita Yang Tak Pernah Terpikirkan Sebelumnya…”
Saat Fadli kembali ke toko, dia melihat Greska sedang sibuk melayani pelanggan baru. Tokonya tiba-tiba ramai. Greska kemudian memanggil Fadli untuk membetulkan sebuah masalah di program komputer. Sekaligus, Greska ingin menyampaikan sebuah pesan yang menjadi pertanda keseriusannya menjadi pasangan hidup Fadli.
“Fadli, tolong segera bilang ke keluargamu. Aku sudah melakukannya.” “Kamu serius? Sangat serius mau denganku? Aku ini burik. Tidak seganteng pacarmu dulu itu lho, siapa sih namanya, Edy atau siapa sih?” “Edy? Dia ganteng tapi hatinya burik. Pria macam apa itu? Dia pria yang tak bertanggungjawab. Sudahlah, aku malas membahas dia. Aku ingin lebih sering membahas tentangmu. Lekas hubungi keluargamu. Eh ya, btw, itu tadi si adek berkacamata mau ngeprint poster disini bisa gak, Fad?” “Hehehe. Bisa dong!”
Keinginan Greska dalam rangka pelaksanaan akad dan resepsi juga perlahan membuat hati Fadli luluh. Dia memohon agar pelaksaan kedua acara itu dibuat sesederhana mungkin, mengundang orang terdekat saja, dan tanpa banyak koar-koar di sosial media. Bagi Fadli, sifat Greska seakan-akan berubah drastis dibandingkan dulu. Dia kini menjadi lebih sederhana, tidak hedon, dan sudah lelah mencari perhatian manusia. Mereka dua sepakat bahwa perhatian dan pertolongan Allah-lah yang lebih utama dan mampu mengubah hidup mereka.
Cerpen Karangan: M. Falih Winardi Blog / Facebook: Falih Winardi
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 23 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com