“Hai, namaku Andika. Salam kenal, ya, Cha.” ucap seorang mahasiswa pada mahasiswi baru di kelasnya sambil menyodorkan tangan kanannya. “Ya, aku Acha.” jawab gadis berkerudung lebar tanpa menerima tangan yang disodorkan padanya. Andika menarik kembali tangannya yang tidak diterima oleh gadis di hadapannya. “Emang aku salah, ya?” “Apa masalahmu?” tanya Acha. “Eum …,” Andika menarik nafas pendek. “Tanganku.” “Ya, mungkin enggak. Aku gak tau apakah kamu sudah tau atau belum bahwa kita sebagai muslim yang berbeda gender itu memiliki batas pergaulan.” jelas Acha. “Berarti kamu gak pernah memegang atau dipegang lelaki?” tanya Andika antusias. “Bapakku, dan mahramku pernah menggenggam tanganku.” “Bukan, maksudku–” “Aku sibuk, aku pamit ke perpustakaan dulu, ya!” ucap gadis itu memotong. “He.. he.. Hei! Aku belum selesai!” teriak Andika, tetapi tidak dihiraukan. Andika menatap gadis itu dengan senyuman di bibirnya. “Gadis misterius itu menyejukkan, membuat penasaran, dan sangat istimewa.” gumamnya.
Acha membaca salah satu buku yang ia ambil dari tumpukan buku yang ia kumpulkan. Kacamata bulatnya ia keluarkan dan gunakan untuk membaca buku tersebut. Seluruh konsentrasi tertuju pada isi buku yang ia baca. Andika duduk di hadapannya tanpa bersuara, ia menatap wajah gadis itu dengan senyuman.
Acha menutup bukunya dan menyimpannya di atas tumpukan buku-buku yang ia pilih. Saat ia melihat kedepan, ia terkejut karena melihat Andika sedang menatapnya dengan tersenyum. “Kamu?” “Maaf, ya … kalo ganggu.” ucap Andika. “Kamu gak ganggu, tapi seorang laki-laki itu harus pandai menjaga pandangannya.” tegas Acha, kemudian pergi. Andika merasa bingung, apapun yang dia lakukan rasanya selalu salah di mata gadis itu. “Pegang gak boleh, lihat doang juga gak boleh. Perempuan macam apa sih dia?” “Wanita mulia yang sedang menjaga dirinya, iffahnya, dan izzahnya.” ucap seorang lelaki di belakangnya. Ia adalah Farhan, lelaki paling alim di kampus tersebut. “Iffah, Izzah?” tanya Andika bingung. “Kamu gak tau?” tanya Farhan. Andika menggeleng kepalanya. “Dia itu menjaga rasa malu dan kehormatan dirinya. Itulah tanda ketaatan seorang wanita.” jelas Farhan, lalu menepuk pundak Andika. “Makannya, ngaji … Kamu itu calon imam yang harus punya bekal yang cukup untuk diamalkan.” lanjutnya. “Wajib?” “Wajib lah … Apalagi kalau kamu mengharapkan gadis itu menjadi istri kamu.” jawabnya. “Kok, Lo nuduh gue suka ke dia, sih?” ucap Andika. Farhan tertawa kecil, “ya … gimana lagi, orang kelihatan.” “Lo juga suka, kan?” tanya Andika, lalu Farhan tersenyum malu. “Ah … Lo. Nuduh gue, taunya Lo sendiri juga sama aja.” tutur Andika.
Ketika pulang, Acha berlari mengejar waktu karena harus mengajar di sebuah tempat les. Kemudian Andika menghalangi langkahnya dengan motor yang ia tunggangi. “Kamu butuh tumpangan? Mau naik motor aku?” ucapnya menawarkan. “Enggak, terimakasih.” jawab gadis itu tegas. “Kamu tau film mariposa, gak? Di sana seorang Acha itu menyenangkan lelaki yang dia sukai.” ucap Andika. “Aku bukan Acha di Mariposa, aku adalah Acha dalam hidupku.” tegasnya. “Ya, Acha di sana sangat mudah, tapi Acha yang ini adalah mariposanya.” ucap Andika.
“Terus ngapain kamu ngajak aku naik ke situ?” tanya Acha tegas. “Kalau Acha bisa mendapatkan mariposanya, mungkin aku juga bisa.” “Untuk apa? Cinta picisan atau cinta monyet?” kesal Acha. “Ya …,” Andika berpikir. “Bukannya kamu lagi buru-buru? Boleh, dong … berduaan dalam keadaan darurat?” “Aku gak lagi darurat, gak ada yang merugi selain aku kalau aku terlambat. Aku bisa naik angkutan umum.” ucap Acha. “Tapi aku mau bantu kamu.” tegas Andika. “Aku butuh bantuan kamu, aku akui, aku butuh. Sangat butuh.” tegas Acha. Andika bersiap, memegang stang motornya. “Kalo gitu, naik aja. Gak perlu sok-sokan–” “Tapi aku gak bisa.” Acha memotong dan membuat Andika terkejut. “Bantuan kamu membantu. Namun, aku gak bisa karena Allah mengatur pergaulan kita, pergaulan antara laki-laki dan perempuan.” “Ini kebaikan, perbuatan baik.” ucap Andika. “Kamu tau? Seorang alim yang terkenal aja pernah jatuh hingga ia mati dalam keadaan kafir. Itu semua berawal dari ia menerima untuk membantu seorang gadis.” ucap Acha. “Hah, masa, sih?” Andika terpelongo. Acha langsung pergi berlari menuju angkutan umum. Andika menatapnya hingga bayangannya hilang.
“Maa syaa Allah, idaman.” ucap Farhan yang tiba-tiba ada di sampingnya. Membuat Andika terkejut. “Sejak kapan Lo di sini?” tanya Andika. “Dah lama, liatin bidadari.” ungkap Farhan. “Heh, Acha bilang laki-laki itu harus bisa menjaga pandangannya.” ucap Andika. “Pinter, ya, Lo, sekarang.” Farhan tertawa. “Dasar, Lo.. liat aja! Nanti dia bakal jadi pacar gue.” Farhan kembali tertawa, “perempuan baik seperti dia, gak mungkin menerima ajakan maksiat Lo!” tegasnya lalu pergi. “Nyenyenye…,” Andika menggerutu.
Keesokan harinya, Andika pergi menemui Acha yang sedang makan dengan membawa cokelat dan sekuntum mawar. Nafasnya terengah-engah setelah berlari cukup jauh. “Acha, aku suka sama kamu,” ungkapan rasa ia lontarkan dengan tulus. Acha menatapnya sebentar, lalu menyantap makanannya dan berkata, “terimakasih.” Andika tidak percaya. Hanya kata sesingkat itu yang ia dengar. “Kamu mau jadi pacar aku, gak?” “Kita gak –” “Plis, jangan bawa-bawa agama.” “Kalo gitu, enggak.” Acha tegas. “Kenapa?” Andika berbinar. “Aku hanya ingin laki-laki yang baik agamanya. Dia yang menjaga dirinya dan baik akhlaknya.” tegas Acha lagi. “Kalo gitu –” Farhan menyela pembicaraan mereka, “saya calon imamnya.” Andika kaget, “sembarangan banget, lo!” tuturnya tertawa. “Dia memang calon suamiku, dia sudah datang ke rumahku dengan niat baik. Farhan sudah melamarku.” Acha menjelaskan, lalu pergi meninggalkan mereka.
Andika menatap Farhan dengan tatapan tajam. “Lo mencoba menikung gue?” “Ini adalah tikungan tajam yang baik.” ucap Farhan. “Baik? Ini baik kata Lo, hah?” Andika mencengkeram kerah baju Farhan. “Cinta yang Allah sukai adalah ikatan cinta yang halal. Sudah sah, dan terikat akad di hadapan para saksi. Menikahlah saat kamu sudah mampu.” jelas Farhan lembut. Andika melepas cengkeraman tangannya. “Ya, perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik.” ia menyadarinya. “Iya, kamu telah menyadarinya. Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah kepadamu, ya.” ucap Farhan sambil tersenyum. “Baik, terimakasih sudah memberiku pengalaman hingga aku mengerti tentang cinta yang tulus. Cinta karena Allah.” ucap Andika menyadari.
Cerpen Karangan: Siti Khodijah Blog / Facebook: S Khodijah Ia adalah Siti Khodijah. Ia lahir di Purwakarta, pada tanggal 12 Februari 2003. Ia merupakan seorang guru TK dan MDA. Semua orang bisa menyapanya dan lebih mengenalinya melalui Instagram @skhdiiijah.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 17 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com