Rana adalah si keras kepala yang handal menyembunyikan kesedihan karena masalah cinta. Jika dia sudah patah hati seperti kemarin, maka Rana akan bersikap seolah tidak ada hal yang terjadi. Hatinya sakit namun senyumannya tetap terbit. Pertama, hatinya hancur gara-gara cemoohan orang-orang di masa lalu yang membuat dia memendam amarah dalam hatinya. Kedua, hatinya hancur semakin lebur ketika Andi memilih mundur karena tak direstui orangtuanya. Demi melampiaskan perasaan marahnya, Rana pergi latihan taekwondo ditemani Dina, sahabatnya.
“Kamu pulang sama siapa, Din?” Rana bertanya disela-sela kegiatannya menyematkan jarum pentul di kerudungnya bagian leher. “Dijemput Abang. Udah nunggu di depan. Kamu nggak papa pulang sendiri Rana?” “Nggak masalah. Udah gede, ngapain dijemput?” Rana mencebik menyindir temannya yang hari ini dijemput kakaknya. “Nyindir.” Balas Dina mendelik. Tawa mereka pecah hingga langkah mereka terhenti di depan gerbang tempat latihan Rana beladiri.
“Aku nunggu kamu naik taxi aja deh. Khawatir aku.” Aku Dina sambil mengeluarkan ponselnya untuk mengirim pesan whatsapp pada Abangnya yang menunggu di mobil tak jauh dari gerbang depan. “Dih udah sana duluan aja. Kasihan tuh abangmu nunggu.” Rana mendorong punggung Dina pelan sampai suara klakson sebuah mobil pajero sport berwarna hitam berhenti di depan mereka. Dan mengalihkan pandangan mereka ke arah jendela hitam legam itu. Itu kan mobil Kak Dimas, ucap Rana dalam hati. Hingga kacanya turun, baru Rana sadar bahwa yang punya mobil dan yang bawa mobil bukan orang yang sama. Kak Gilang tengah melambai ke arah Rana yang masih terperangah.
Karena Rana masih melamun, Gilang berinisiatif untuk turun dan menjelaskan maksud kedatangannya ke tempat ini. “Dimas kebetulan lagi sibuk, dia minta tolong kakak buat jemput kamu.” Baru Rana paham, kemudian Dina yang sama terperangah langsung merasa lega kalau sahabatnya sudah ada yang menjemput.
“Kalau gitu aku duluan ya Rana, Kak Gilang.” Dina pamit setelah mengucapkan salam dan mobilnya melaju meninggalkan Rana dan Gilang yang masih membeku di tempat. “Yuk!” Ajak Gilang sambil memainkan kunci mobilnya. Rana mengangguk kemudian ia duduk di kursi depan di samping Gilang yang mengemudi.
—
“Lagi apa, Dek?” panggilan sayang itu akan muncul manakala mereka sedang berada pada mode baik-baik saja. Tidak seperti kemarin yang dua-duanya selalu meledak. “Lagi kerjain tugas.” Dimas mengangguk. Ada hening di antara mereka. Dimas yang datang ke kamar adiknya bermaksud untuk mengobrol penting, namun ia masih mencari waktu yang tepat. Tadi siang ia didatangi Andi. Lelaki yang sempat dekat dengan adiknya namun menyerah karena tak mendapat restu.
“Hmmm….” “Kenapa?” “Ada yang mau kakak omongin—” “Jangan bilang kakak masih larang aku buat lakuin apa yang aku suka. Aku nggak mau. Mending kakak obrolin yang bermanfaat daripada bikin mood-ku berantakan.” “Bukan! Suudzon aja kamu, Dek?” Dimas menyela ucapan adiknya yang mengernyitkan kening. “Terus apa?” “Ada yang lamar kamu.” “Andi udah nyerah.” “Bukan Andi!” “Terus siapa?” “Rahasia.” “Kok gitu?” “Orangnya bilang kalau kamu mau mengizinkan dia datang maka dia akan datang ke rumah. Kalau kamu udah nolak dia nggak jadi datang.” Rana mengalihkan tatapannya pada buku tugasnya sambil otaknya terus berpikir. Namun apa salahnya jika ia mengizinkan lebih dulu. Tidak masalah, kan?
“Yang pasti bukan Andi.” Rana mengangguk paham, setelah sebelumnya ia menghentikan acara menulisnya ketika nama Andi disebut kakaknya. Berarti Dimas sudah tahu mengenai dirinya dengan Andi yang tidak bisa berlanjut. Secara Dimas memang audah dekat dengan Andi Pradana. “Aku mengizinkan.”
—
“Kak Gilang?” tanya Rana pada kakaknya yang tengah siap beranjak menyambut tamu. “Siapkan minum, Dek!” Rana mengangguk. Kemudian ia membawa nampan berisi minuman juga camilan ke ruang tamu yang disana sudah ada Gilang dan Dimas.
“Silakan diminum, Kak Gilang.” Ucap Rana mempersilakan. “Terimakasih.” “Jadi apa tujuanmu datang kesini, Lang?” tanya Dimas usai Gilang menyeruput minumannya dan meletakkan kembali ke tempat. “Aku ingin melamar Rana untuk kujadikan istri, Dim. Semoga engkau memberi restu.” “Secepat itu?” “Sudah tiga tahun, Dim. Sudah—” “Maksudnya?” tanya Rana memotong. Dilihatnya sang kakak saling berpandangan dengan Gilang. Membuat Rana curiga. Gilang menghela nafas berat. Karena barusan keceplosan lebih baik jujur demi melancarkan acara lamaran ini.
“Tiga tahun kakak menunggumu, Rana. Kakakmu saksinya. Maaf kalau lancang karena diam-diam kakak menyimpan perasaan padamu. Sudah dari lama Kakak ingin melamarmu namun kedekatanmu dengan Andi membuat kakak urung. Tapi, maaf perasaan itu masih ada. kakak nggak bisa hilangkan begitu saja.” Rana mengerjap tak percaya. Selama ini ia menyukai Andi, namun di sisi bumi yang lain ada yang diam-diam mencintainya. Orang terdekat pula.
Gilang adalah lelaki yang baik. Saleh, taat beribadah, hormat orang tua, mapan, berpenghasilan. Tidak akan ada perempuan yang akan menolak. Namun mengingat dirinya yang urakan, Rana menjadi minder alias merasa tidak pantas.
“Maaf, Kak.” Jangan bilang Rana akan menolak, batin Dimas dalam hati. Begitu pula dengan Gilang. Dari tadi ia hanya mampu menunduk tajam mendengarkan setiap penuturan Rana.
“Kakak orangnya baik, soleh. Tapi aku? Kakak tau aku seperti apa. Aku tidak seperti aku yang dulu. Apa tidak menjadi aib jika kelak memiliki istri sepertiku?” Rana menunduk tajam sambil memilin jemarinya.
Di tempatnya, Gilang tersenyum simpul. Sesuai prediksi bahwa Rana akan seperti itu. sedangkan Dimas, sama sekali tak berpikir hingga ke arah sana. Karena Gilang, berjanji akan menerima Rana yang sekarang. Tekadnya membawa Rana menjadi perempuan manis dan lembut sangat besar sekarang. “Kamu itu akan menjadi seorang istri nanti. Tugasku memjadikanmu istri salehah. Dan tekadku untuk menjadikanmu seperti dulu bahkan lebih baik. Asal kamu jangan bandel ya.” Pinta Gilang membuat pipi Rana merona. “Heh, belum halal. Jangan ada rayu-merayu!” peringat Dimas membuat kedua manusia sedang dimabuk asmara itu terkekeh.
“Bagaimana Rana?” tagih Gilang pada Rana yang menoleh pada Dimas. Mendapat sebuah anggukan sambil tersenyum dari kakaknya membuat Rana yakin. Benar kata Gilang, dia akan bisa berubah kalau ada niat dan kemauan yang kuat. Ia tahu bagaimana Gilang, begitu pula Dimas karena ia sahabatnya. Dengan perasaan campur aduk, dan tekad yang tidak kuat sepenuhnya Rana mengiyakan. Semoga ini menjadi jalan terbaik untuk menjadikannya perempuan manis dan salehah kelak.
“Ya aku terima.”
Tamat.
Cerpen Karangan: Latifah Nurul Fauziah ig: @ipeeh.h
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 18 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com