Langit malam cerah tak berawan dengan bertaburkan bintang-bintang. Dengan sang Rembulan sebagai penerang. Seolah mereka turut bahagia dengan suara takbir yang berkumandang. Menandakan suara malam dimana esok kan menuju kemenangan, hari dimana seluruh muslim merayakan hari kemanangan mereka.
Suara takbir yang begitu khas dengan iringan suara bedug dan alat-alat seadanya menjadikan malam itu menjadi sangat ramai. Belum lagi kembang api yang memenuhi langit, silih berganti seolah ikut ambil bagian tuk tunjukkan kebolehan dari keindahan mereka.
Membuat semua orang memandang langit dengan terpana. Begitupun dengan seorang gadis yang menatap langit dari dalam mobil yang sedang dikendarainya. Ia duduk di kursi belakang seorang diri, ia coba turunkan kaca mobil tuk sekedar menatap keindahan langit dengan lebih jelas.
Jilbab warna Biru miliknya bergerak diterpa angin akibat laju mobil yang cukup kencang. Ia tersenyum mendapati beberapa Kembang api silih berganti menghiasi langit. Ia gerakkan kedua tangannya tuk menutupi tubuhnya dengan jaket warna senada dengan jilbabnya, mencoba mengusir rasa dingin yang mulai menyerang.
“Sofin, ditutup Jendela mobilnya. Nanti kamu masuk angin!”. Suara lembut memanggil dari kursi depan disamping supir. Gadis tadi mengalihkan perhantiannya, ia tersenyum kepada wanita paruh baya namun kelihatan anggun dengan Jubah Serta jilbab putih yang menutupi tubuhnya. Raut wajahnya terlihat hawatir. “Sebentar Ummi. Sofin kan jarang melihat kembang api.” Sahut sang gadis yang bernama Sofin. Ia kembali mengalihkan pandangannya memandangi langit malam. “Sudahlah Ummi, biarkan saja dia melihat kembang api. Lagipula, dipesantren dia kan jarang melihat kembang api. Belum lagi ia hanya pulang sekali setahun.” Suara khas lelaki memecah keheningan yang tercipta, lelaki paruh baya dengan tangannya yang memegang setir mobil tetap memandang ke arah jalanan didepannya. Suaranya berwibawa, dengan peci hitam dan baju koko putih serta sebuah sarung berwarna putih membalut tubuhnya. Dengan janggut tipis menambah kesan kewibawaannya. “Iya Abi. Ummi mengerti, Ummi hanya hawatir jika nanti dia masuk angin. Kita kan besok lebaran dirumah Ibu.” “Iya, Abi mengerti kalau Ummi hawatir.”
Mobil itu terus melaju menembus jalanan yang mulai ramai akibat banyak orang yang mudik, berharap agar cepat sampai ke tujuan.
—
“Amin..!” Dua wanita mengucapkan kata itu saat setelah do’a selesai dibacakan. Mereka bertiga kemudian berdiri.
“Sofin. Dulu kakekmu pernah berpesan kepada Ummi.” Wanita paruh baya itu memulai pembicaraan, pakaian mereka kini seolah berseragam. Warna putih, itulah warna yang mereka kenakan pada pakaian mereka. “Memangnya kakek berpesan apa Ummi?” Sofin menatap Ummi-nya dengan penuh tanda tanya. Bagaimanapun ia tahu bahwa apa saja yang pernah kakeknya perbuat adalah kebaikan. Ia masih ingat betul akan keramahan kakeknya dulu. Lelaki yang masih saja memikirkan orang lain disaat dirinya tertimpa musibah. Ia sangat ingin menjadi seperti kakeknya. “Sebenarnya dia berpesan agar Ummi menuruti ketiga permintaannya!.” “Tiga permintaan?” Mencoba memastikan ia tidak salah dengar ia mengulangi perkataan umminya. “Iya. Dua diantaranya telah berhasil Ummi wujudkan. Yang pertama, beliau ingin agar walau kamu nanti hidup dikota masih harus menempuh pendidikan agama di pesantren. Dan kamu sudah menjalaninya kan?.” “Alhamdulillah, Iya Ummi” Sofin hanya mengangguk menangapi perkataan Umminya. “Yang kedua, beliau ingin setidaknya kamu memiliki sedikit prestasi. Tapi kamu sudah melebihi harapan beliau. Bahkan kamu sudah menjadi Santri Teladan dipesantren” “Alhamdulillah. Atas izin allah dan juga do’a restu dari Abi dan Ummi”
Ummi Sofin memandang sang suami, mereka berdua tersenyum saat bertemu pandang. Mereka bangga akan anak mereka yang telah tumbuh menjadi anak Sholehah dan membanggakan orangtua. Mereka merasa berhasil dalam mendidik anak.
“Sofin, untuk permintaan beliau yang ketiga. Sepertinya harus dirundingkan dahulu. Karna ini menyangkut masa depan kamu.” “Iya Abi, Sofin yakin. Apa yang kakek wasiatkan pasti merupakan hal yang menurut beliau hal terbaik buat Sofin.” “Alhamdulillah. Jika itu memang yang kamu fikirkan Sofin. Mari kita pulang ke rumah nenek” “Iya Abi, tapi Sofin masih ingin mampir ke suatu tempat. Tempat dimana Sofin dulu bermain bersama Kakek” “Oh, iya. Hati-hati Sofin, kamu kan sudah lama tidak berkunjung ke desa ini. Nanti kamu lupa jalan pulang” Khawatir sang Ummi Mengingat memang sudah sangat lama putrinya tidak menginjakkan lagi di tanah kelahirannya. “Iya Ummi, lagipula tidak mungkin Sofin lupa dengan kenangan Sofin bersama kakek di desa ini!” “Sudahlah Ummi, lagipula Sofin membawa Handphone-nya. Jika nanti ia terlalu lama kita hubungi saja.” “Iya Abi. Kalau begitu kami pulang lebih dulu Sofin. Assalamualaikum” “Waalaikumsalam Ummi” Kedua orangtua itu pergi meninggalkan putrinya, berjalan menyusuri pemakaman yang agak ramai dikunjungi orang.
Sofin menatap hijaunya rerumputan di depannya. Sejauh mata memandang hanya warna hijau yang menghiasi. Dengan beberapa pohon rimbun yang tumbuh tuk sekedar memberikan keteduhan bagi apapun dibawahnya.
Sofin duduk disatu-satunya bangku yang terdapat di bukit itu, menyandarkan tubuhnya pada pohon yang tepat berada dibelakang kursi itu. Kursi yang tidak berubah sejak terahir kali ia kesini dulu. Ia pejamkan matanya sebentar, ia hirup udara segar khas desa. Pikirannya seolah terbawa 9 tahun yang lalu, saat ia masih kecil.
Ia ingat betul saat dirinya dan kakeknya melihat orang-orang yang sedang asyik bermain layang-layang. Ia duduk dikursi yang sama dengan yang saat ini ia tempati. Melihat layangan dengan berbagai macam warna.
Hingga tiba-tiba salah satu layangan putus saat ada yang saling mengadu layangannya. Terlihat seorang bocah lelaki mengejar layangan tersebut yang memang sepertinya berniat mendapatkan layangan yang putus tersebut. Ia berlari berpacu dengan cepatnya angin membawa layangan tersebut. Layangan itu lewat diatas tempat Sofin duduk, tak lama bocah itu datang dengan berlari. Namun, ia tersandung dan kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh tepat tiga meter didepan Sofin dan kakeknya.
“Astaghfirullahal adzim!” Refleks. Sofin dan kakeknya berdiri dan membantu bocah itu berdiri, cukup kesulitan juga dengan lututnya yang terluka dan mengeluarkan darah. Namun, berhasil didudukkan diatas bangku yang tadinya ditempati Sofin. “Terima kasih kek!” “Hati-hati! Itu kakimu terluka, biar kakek carikan tanaman obat dulu disekitar sini.” “Iya kek.” “Sofin, temani dia dulu selagi kakek pergi” “iya kek!” Selepas berkata seperti itu sang kakek pergi mencari tanaman obat untuk obati luka bocah itu.
“Kaki kamu berdarah. Sakit nggak?” “Emm… Lumayan sih” Bocah itu hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, ia merasa canggung bersama dengan gadis yang duduk disampingnya menemaninya.
“Jangan banyak gerak, tunggu kakek cari tanaman obat ya!” “Emm… Iya… Iya… Kenapa aku tidak pernah lihat kamu disini?” “Oh. Aku datang kesini bersama kedua orangtuaku. Mengunjungi kakek dan nenek.” “Oh… Pantas”
Tak lama setelah itu, kakek Sofin datang membawa beberapa tanaman ditangannya. “Kalau perih dikit, ditahan ya” Bocah itu mengangguk mengiyakan ucapan sang kakek. Meski ia meringis kesakitan begitu kakek itu mengoleskan cairan dari tanaman obat itu pada luka di lututnya.
“Terima kasih kek!” “Iya, iya lain kali kita hati-hati kalau mau mengejar Layangan lagi” “Hehe… Iya kek.”
“Sofin, ayo kita pulang sebentar lagi sore!” “Iya kek, ayo” “Apa kita bisa bertemu lagi?” Tanya bocah tersebut penuh harap kepada lawan bicaranya. “Hmm… Mungkin iya.” Selepas itu mereka berdua pergi meninggalkan sang bocah yang memandangi mereka berdua.
Sofin membuka matanya, ia masih ingat betul kejadian itu. Waktu ia bertemu dengan bocah itu. Meski ia tak berjanji, tapi ia merasa memiliki janji tuk menemui bocah itu.
“Assalamualaikum…. Eh, sangat jarang ada orang yang duduk disini selain saya.” Sapa seseorang dari arah belakang Sofin, ia melihat kebelakang. Seolah familiar dengan wajah lelaki dibelakangnya. “Waalaikumsalam… Emm… Maaf, izinkan saya duduk disini dulu. Sebentar lagi saya akan pergi” Lelaki itu tersenyum ramah, dan berdiri disamping bangku tersebut, ia memandang lurus kedepan. “Ya, silahkan. Setidaknya, tidak sia-sia saya selalu memperbaiki bangku itu.” Sofin menolehkan kepalanya kearah sang lelaki, seolah tak percaya dengan perkataannya.
“Pantas saja bangku ini masih sama seperti dulu.” Gumamnya pelan, namun lelaki itu dapat mendengarnya. Sofin kembali mengalihkan pandangannya kedepan.
Lelaki itu memejamkan matanya, ia kembali mencoba mengingat kenangan-kenangannya dulu. Lelaki itu seolah telah terbawa ke alam bayangannya sendiri dimasa lalu.
Cerpen Karangan: Eident Crawlers Blog / Facebook: Eident Crawlers
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 10 Juni 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com