“Sofin” Tanpa sadar ia mengucapkan nama itu. Sofin kaget. Ia membelalakkan matanya. Satu pertanyaan yang ada dibenaknya. Bagaimana ia tahu namanya? Sedangkan mereka belum berkenalan. “Bagaimana kamu bisa tahu nama saya?” Tegur Sofin membuyarkan lamunan sang lelaki, ia menoleh ke arah Sofin dengan tak percaya. “Maksud kamu?” “Kamu memanggil nama saya tadi, padahal kita belum berkenalan” “jadi? Kamu Sofin?” Senyum terukir dibibir sang lelaki, ia memandangi wajah Sofin dengan tak percaya. Pantas saja tadi ia merasa familiar dengan wajah si gadis didepannya. “Iya, kamu siapa? Sepertinya kamu tidak asing” “Iya, sepertinya kita saling merasa familiar dengan wajah masing-masing. Tapi tidak bisa mengingat dengan jelas.” Jelas lelaki tersebut, membuat Sofin semakin bingung.
“Dulu. Kita tidak sempat berkenalan. Hari dimana kamu dan Almarhum kakekmu menolongku yang terjatuh saat mengejar layangan.” Lanjut lelaki tersebut, Sofin sekarang mengerti. Bahwa lelaki disampingnya adalah bocah yang dulu ditolongnya. Orang yang selama ini mengusik pikirannya telah banyak berubah. “Jadi… Kamu…” “Iya… Aku bocah waktu itu. Aku selalu datang ke tempat ini, berharap dapat bertemu kembali dengan gadis yang menolongku” Sofin hanya mendengarkan apa yang lelaki disampingnya katakan. Berharap menjadi pendengar yang baik meski ucapannya dipotong oleh lelaki disampingnya.
“Jujur saja. Aku selalu mengganti jika bagian bangku itu ada yang rusak. Karna kupikir suatu saat gadis itu akan datang kembali. Dulu, saat aku tau gadis itu akan pulang aku berlari sekuat tenaga menuju ke rumah kakek gadis itu. Berharap untuk sekedar berkenalan dan berterima kasih. Tapi terlambat. Ia sudah pergi. Heh…” Lelaki itu menghentikan ucapannya dan menghela nafas. Ia teringat kembali dengan masa lalunya. “Aku terlambat mendengar kabar bahwa gadis itu akan pulang. Aku hanya menangis didepan rumah kakek gadis itu. Jujur saja, dulu entah perasaan apa. Aku seolah ingin bersama gadis itu. Hingga kini aku sadari. Bahwa gadis itu telah berubah menjadi gadis dewasa yang cantik” Sofin tanpak malu mendengan ucapan sang lelaki disampingnya.
“Jadi, sekarang aku ingin berkenalan dengan gadis itu. Namaku Fiqy.” Ucap sang lelaki, meski ia tak menjulurkan tangan. Karna ia sadar mereka bukanlah muhrim. “Aku Sofin. Maaf, aku dulu tidak sempat menanyakan nama kamu. Kuharap kau tidak ceroboh seperti dulu.” Canda Sofin kepada Fiqy, mengingat lelaki itu dulu masih bocah yang ceroboh.
‘Drrt! Drrt’ Suara Handphone milik Sofin bergetar, ia melihat siapa pimilik yang menghubunginya. “Assalamualaikum Ummi” Sapanya ketika mengangkat telfon dari Umminya, ia tahu kenapa Umminya menelfon. Ia pasti sudah terlalu lama dan ia sadar akan hal itu. “Waalaikumsalam… Cepat pulang Sofin, sudah Sore!” “Iya Ummi, Sofin sudah mau pulang” “Oh, iya. Assalamualaikum” “Waalaikumsalam Ummi” Panggilan ditutup, ia menatap lelaki disampingnya. Ia masih ingin bicara banyak dengan lelaki itu. Fiqy, bahkan ia baru saja tahu namanya setalah sekian lama tidak bertemu dengannya. Tapi, walau bagaimanapun ia harus kembali ke rumah neneknya.
“Maaf, aku pamit dulu. Assalamualaikum!” “Waalaikumsalam” Sofin pergi meninggalkan tempat penuh kenangan itu, ia menuju ke arah rumah neneknya berada. Ia masih ingat betul jalan menuju kesana meski sudah lama ia tidak lagi mengunjungi tanah kelahiran Umminya.
Malam itu, usai makan malam. Semua berkumpul. Sofin, nenek serta kedua orangtuanya. Sofin mengerti hal itu, pasti akan membahas wasiat kakeknya yang ketiga.
“Sofin, begini. Wasiat kakekmu yang ketiga adalah, agar menikahkanmu dengan seorang lelaki yang telah kakekmu pilihkan.” Ucap sang Nenek membuka pembicaraan diantara mereka, Memecah keheningan yang sebelumnya tercipta. “Hm… Jika itu yang terbaik bagi Sofin. Tapi, Abi dan Ummi. Bagaimana dengan pendapat Abi dan Ummi?” Berharap mendapat kepastian dari sang Abi, ia memandang Abinya dengan tanda tanya. “Kalau menurut Abi sendiri, setuju saja. Karna walau bagaimanapun, ayahnya adalah teman Abi. Lagipula, calonmu itu orang yang Baik. Dan tentunya bisa menjadi Imam untuk kamu kelak.” “Ummi sendiri setuju dengan Abi kamu.” Sofin mengangguk mengerti, ia yakin akan keputusan Abinya. Yang pasti akan memilihkan yang terbaik untuk menjadi Imamnya.
“Baiklah. Jika Abi dan Ummi berkata seperti itu. Sofin yakin dia pasti menjadi Imam yang baik bagi Sofin seperti yang Abi Ucapkan” “Alhamdulillah.. Abi bahagia mendengarnya. Karna itu pula alasan Abi mengajak kamu Lebaran disini karna dua hari lagi Akad Nikah akan dilaksanakan disini.” “Iya Abi. Sofin menurut saja. Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk Sofin.” Sofin mengangguk, meski dihatinya masih menyimpan perasaan aneh kepada bocah itu. Tidak, lebih tepatnya kepada lelaki yang tadi sore ia temui.
“Qabiltu nikahaha.. Wa tazwijaha.. Bil mahril madzkur..” Suara seorang pemuda dengan mantap saat melakukan Ijab Qobul. “Bagaimana saksi?” “Syah!” “Syah!” “Alhamdulillah… ”
Seusai do’a dibacakan pemuda itu menuju ke arah Abi Sofin, ia menyalami dan mencium tangannya. “Temuilah istrimu, nak!” Suara lelaki itu tetap berwibawa seperti biasanya. “Baik, Abi”
Pemuda yang kini statusnya adalah Suami dari Sofin menghampiri Sofin yang berada ditempat terpisah, Mereka melakukan Akad di rumah sang nenek. Dan Sofin sendiri berada ditempat yang lain menunggu dengan gelisah.
Ia berada didalam kamar dengan hiasan bunga melati serta mawar yang dikolaborasikan dengan indah, ditambah dengan hiasan di dinding dan diranjang yang kini sedang diduduki oleh Sofin. Ia duduk di ranjang dengan membelakangi pintu, baju pengantin berwarna putih menghiasi dirinya. Serta hiasan dibeberapa bagian baju pengantin serta jilbabnya menambah pesona keanggunan dan kecantikannya. Ia menunggu dengan penuh gelisah. Lelaki yang kini menjadi suaminya.
“Assalamualaikum…” ‘Krieet!’ Setelah ucapkan salam, pintupun dibuka. Lelaki itu memasuki kamar yang sepertinya menjadi kamar pengantin bagi Sofin dan dirinya. Ia mengenakan pakaian khas pengantin Pria namun dengan warna Hitam.
“Sofin… ” Panggil lelaki itu saat telah memasuki kamar sang istri, Sofin yang merasa pernah mendengar suara itu menolehkan kepalanya. Dan apa yang dilihatnya membuatnya tak percaya. Lelaki yang kini menjadi suaminya adalah lelaki yang mengusik pikirannya sejak ia bertemu kembali di Bukit. “Fiqy?” “Kenapa? Kamu tidak mau?” “Bukan begitu… Aku…”
Sofin berlari kearah Fiqy, orang yang kini menjadi suaminya. Ia memeluknya erat. Fiqy hanya tersenyum. Ia balas memeluknya. “Hiks… Hiks… Kenapa? Kenapa bisa?” Sofin menangis, menangis bahagia. Tak tau seberapa bahagianya ia sekarang. “Sebenarnya waktu itu aku belum selesai cerita kepadamu. Tapi, keburu kamu ditelfon sama Ummi. Terpaksa aku sembunyikan saja.”
Fiqy melepas pelukan Sofin dan memegang kedua bahunya serta memandang wajah istrinya. “Jujur. Dulu saat aku terlambat mengejarmu. Saat aku menangis, kakekmu datang dan mengajakku mampir. Ia menanyakan kenapa aku menangis. Aku jawab saja dengan jujur bahwa saat itu aku menyukaimu. Dan kakekmu tidak keberatan akan hal itu. Ia malah menjanjikan akan menjodohkanku denganmu. Asalkan aku bisa menjadi imam yang baik.”
Fiqy menghentikan ucapannya tuk sekedar mengambil nafas. “Sejak saat itu aku mulai belajar dengan rajin dari ayahku yang menjadi Ustad didesa ini. Untuk kelak menjadi bekal bagiku menjadi imammu. Dan kini, semua telah tercapai. Aku yang dulu memang menyukaimu sekarang telah berubah.” Fiqy menghentikan ucapannya tuk sekedar memandang kedua mata Sofin yang berair.
“Tapi sekarang, aku mencintaimu. Aku menyayangimu” Ia mengatakan hal itu dengn tulus, dari hatinya yang terdalam. “Aku… Aku juga mencintaimu” Kembali keduanya berhampur dalam pelukan, pelukan penuh kasih sayang.
Tak ada yang dapat mengubah takdir tuhan saat ia telah berkehendak. Namun, ia takkan membiarkan do’a hambanya tak terkabulkan. Mungkin saat takdir dan do’a telah bertemu akan memberikan takdir yang lebih baik.
Cerpen Karangan: Eident Crawlers Blog / Facebook: Eident Crawlers
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 10 Juni 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com