Cuaca Bandung siang itu benar-benar panas, matahari nampaknya sedang antusias memancarkan kehangatannya ke bumi. Fhira mendengus kesal sambil melihat jam di pergelangan tangan mungilnya. Ia sudah menunggu selama 40 menit di stasiun, tetapi kereta yang akan membawanya pulang tidak kunjung datang.
Jika saja ia tidak menyetujui ajakan temannya untuk hunting foto ditengah desa begini, pasti ia tidak akan kesusahan seperti sekarang. Fhira seorang diri disana. Temannya yang mengajaknya sudah pulang duluan bersama dengan pacarnya. ‘temen kampret’ batinnya.
Fhira memejamkan matanya untuk menghilangkan rasa jenuhnya, lalu ia mulai memperhatikan sekeliling stasiun kecil itu. Sepanjang mata memandang, hanya ada bunga matahari. Benar-benar indah. Rasanya bunga-bunga itulah yang membuat Fhira menahan sabarnya di stasiun itu.
Sesekali Fhira membenahi kerudung miliknya yang bentuknya sudah tidak karuan itu. ‘Harusnya pake kerudung geblus’ pikirnya.
“Assalamualaikum” suara merdu seorang pria terdengar dari belakang. Dengan reflek, Fhira membalas salam itu dan menengok ke sumber suara. “Waalaikumsalam.” “Fhira, kok belum pulang?” tanyanya. “Lagi nunggu kereta. Kamu ngapain disini, Azril?” Fhira menatap anak pondok pesantren dari desa itu. Kopeah dan baju koko yang ia kenakan membuat Fhira betah melihatnya. “Ini, saya mau mengembalikan barangmu yang tertinggal. Untunglah kamu masih disini.” Azril menyerahkan botol taperwer berwarna oranye milik Fhira. “Aduh, makasih ya.” Fhira menepok jidatnya. Ia memang sering kelupaan dengan barangnya. Seringkali barang-barang miliknya tertinggal lalu hilang.
Azril tersenyum melihat tingkah Fhira. Senyuman maut yang menyejukkan! Seketika hawa panas di stasiun itu menjadi lebih adem daripada tadi. Fhira mematung, tersipu karena keteledornnya dan juga tentu saja karena senyuman maut Azril.
“Um.. Zril, ke-” ay yay yay, bapak lo tukang ngepel, ay yay yay, bapak lo tukang ngepet 🙂 Ringtone hp Fhira memotong omongannya. Sebuah nama muncul di layar smartphone nya itu, ‘Luthfi..’
Dengan sigap Fhira bangun dari duduknya dan menjawab panggilan masuk itu. Azril memerhatikan Fhira yang sedang asyik bertelepon diujung stasiun. Tak lama, Fhira kembali menuju bangku stasiun dimana Azril duduk.
“Pacar?” tanya Azril ragu-ragu. “Heh? Bukan! Temen aku dari smk, Luthfia, dia cewek” entah kenapa Fhira menjawab pertanyaan Azril dengan jelas. Ia tak ingin Azril salah paham. “Lagian pacaran itu kan dosa, mendekati zina!” terang Fhira pada pemuda yang duduk agak jauhan dari dirinya. Azril manggut-manggut. “Baiklah, saya anggap itu sebagai pernyataan kalau kamu gak punya pasangan Fhir” Fhira terdiam menatap roknya. ’emang kenapa kalo gak punya pasangan? toh aku lagi ingin menikmati masa muda ini’ gerutu Fhira dalam hati.
“Gimana kalau saya jadi pasanganmu, Fhir? Kita ta’aruf.” tawar Azril mantap. Fhira menatapnya tak percaya dengan ucapan Azril yang begitu tiba-tiba. Perlahan semburat merah memenuhi wajahnya hingga kini jadi semerah saos abc
Kereta yang ditunggu-tunggu telah tiba. Saat pintu keret terbuka, dengan cepat Fhira melesat masuk ke dalamnya. Fhira memegangi pipinya yang terasa panas dan mengatur irama pernapasannya agar kembali normal.
‘Gimana ini? Gegara salting aku jadi kabur gitu aja’ tanyanya dalam hati.
Fhira menatap bunga matahari di sepanjang perjalanannya meninggalkan desa itu.
Cerpen Karangan: Strawberry Facebook: facebook.com/fitriazzahraramadhinie/ Aku suka Strawberry, cerpen, ml. Aku nulis cerpen kalau lagi gabut dan cerpen ini aku persembahkan untuk teman baikku, Fhira.