Aku Amelia Cahya, seorang remaja biasa dari keluarga yang biasa pula. Aku seorang siswi dari sekolah Madrasah Aliyah, kelas XII IPS. Aku lahir dan berasal dari kota Surabaya, tinggal bersama Ibu dan Adik laki-lakiku.
Menjadi anak pertama perempuan bukanlah hal mudah untuk aku lakukan. Selain harus membantu ibu aku juga turut bertanggung jawab dengan adikku Radit. Hal itulah yang menjadikan aku harus mandiri dan terbiasa menjadi tulang punggung untuk membantu ibuku.
Hingga aku bertemu dengan seorang Pria bernama Jovanka. Dia laki-laki yang baik, kulitnya yang putih dengan tinggi semampai. Dia masih ada keturunan Jawa meski ayahnya berasal dari Jerman.
Kami berteman baik, dia sering membantuku ketika mengalami kesusahan. Lambat laun, hubungan kami lebih serius menjadi sepasang kekasih.
Semua baik-baik saja, sampai aku beranikan diri mengenalkannya pada ibu. Mengingat aku sudah berada di kelas akhir. Tidak masalah jika aku berani membawa pacar bukan, pikirku kalah itu.
“Bu, ini Jovan pacar Amel” ucapku malu-malu sambil menaruh teh dan makanan toplesan di meja. Kulihat ibu biasa saja, ia tampak tersenyum lembut pada Jovan. “Oh ya!, sejak kapan?” “Sejak setahun lalu, tante” Jovan menjawab dengan sopan dan tenang, meski aku lihat ia sedang menahan gugup. “Oh, Jovan tinggal dimana?” “Di Kampung permai” “Jauh ya, kok bisa sih kenal anak tante” “Kita sering ketemu, kebetulan saya sekolah di SMAN 7. Sebelahnya sekolah Amel” “Hmm, begitu” “…,” Aku biarkan ibu mengobrol berdua dengan Jovan, sedangkan aku di kamar sedang menunaikan ibadah dzuhur dulu, sebelum kehabisan waktu.
Kulihat wajah ibu berubah, menjadi datar tidak lagi nampak senyum ramah seperti tadi selama berbincang. Apa ibu tidak suka dengan Jovan, tapi kenapa?, dia berpenampilan rapi jauh dari urakan. Dia juga tau tata krama dan orangnya sopan.
Jovan juga sudah pulang, dia bahkan tidak pamitan padaku. Setidaknya menunggu dulu, padahal dia tau aku sedang menunaikan kewajiban.
“Sudah makan?” Ibu melewatiku begitu saja, sambil bertanya. “Belum bu, Jovan sudah pulang?, kenapa tidak diajak makan sekalian” ucapku sambil mengekor ibu ke belakang. Tapi ibu hanya diam, sambil membuka tudung saji.
Aku makan berdua dengan ibu, sedangkan Radit sedang bermain bersama teman-temannya. Kami makan dalam hening, hingga air dalam gelasku tandas ibu baru bicara.
“Putuskan dia mel!” Perintah ibu bagaikan petir menyambar kependengaranku, badanku membatu. “Tapi kenapa, Bu” “Ibu nggak suka kamu pacaran, dan kamu tau itu tidak benar bukan” Kata-itu yang ibu maksud jelas aku tau apa, tapi kenapa. Bahkan itu di luar sana sudah lumrah dan hal yang biasa untuk di lakukan.
“Tapi kami bisa menjaga diri dengan baik Bu-” “Apapun alasannya itu tidak di benarkan, ibu masukin kamu ke sekolah Madrasah biar kamu ngerti” “Tapi temem-temen Amel yang bukan santri di sana, juga banyak yang seperti itu” “Kamu ngelawan sama ibu!” Ibu menatap tajam ke arahku, lekas aku tundukkan kepala. Meski bukan anak yang penurut, aku tidak mungkin pernah berdebat dengannya apalagi melawan. Tapi ini, tidak bisakah ibu mengerti.
“Belajar dulu yang bener baru main cinta-cintaan, dan yang pasti dengan orang yang sejalur dan seiman”
Aku tertohok dengan ucapan ibu, jadi itu masalahnya. Se-Iman, yah aku akui. Aku dan Jovan berbeda, tapi masalahnya aku nyaman dengannya aku mencintainya.
“Tapi… bisa saja dia nanti berubah” “Iya kalau berubah kalau tidak?”
Aku terdiam di meja makan, merenung dalam lamunan selepas kepergian ibu. Memangnya kenapa jika aku dan dia berbeda, kami saling mencintai. Jadi aku pikir ibu hanya perlu waktu untuk mengerti saja.
—
Seperti biasa sepulang sekolah aku pasti menunggu Jovan dulu, baru setelahnya pulang ke rumah dengan mengendarai motor matic peninggalan bapak. Atau sebaliknya, kadang Jovan yang menunggu. Tapi kali ini aku tidak bawa motor, karena tadi pagi di jemput Jovan ke sekolah.
Beruntungnya ibu tidak ada di rumah, selesai aku mandi tadi ibu pamit ke pasar.
“Jovan maafin ibuku ya, untuk kemarin” ucapku dengan lirih, bahkan tidak berani menatap dirinya. Jujur aku tidak bisa jika harus melepaskan Jovan, jadi tidak mungkin aku menuruti keinginan ibu. Aku lebih memilih untuk berjuang mempertahankan cinta kami. “Nggak apa, aku ngerti kok. Ini bukan sesuatu yang mudah. Tapi aku bakal berjuang buat dapat restu ibu kamu” ucap Jovan lembut sambil memegang tanganku, menatapku dengan tulus sambil tersenyum.
Lega rasanya, Jovan begitu pengertian dan mau berjuang untuk hubungan kami. Aku pulang boncengan bersama Jovan, seperti yang aku bilang tadi aku tidak bawa motor hari ini. Tidak lama aku sampai di rumah, begitu membuka pintu. Aku kaget karena ada ibu yang sedang bersedekap dada, menatap nyalang padaku.
“Kamu masih sama dia” Aku melengos pergi ke kamar malas jika harus meladeni ibu. “Amel!” Ibu menarik tanganku, hingga aku berbalik padanya. “Apa sih, Bu” “Apa sih… apa sih!, kamu ini diajak ngomong malah melongos” “Bu” ucapku memohon padanya, aku ingin ibu tau. Aku lelah baru pulang sekolah, tidak ada tenaga untuk berdebat. “Ya sudah, kita bicarakan nanti”
—
Aku terduduk lemas di atas kasur, merasa lelah dan frustasi dengan kelanjutan hubunganku dan Jovan. Pembicaraanku dengan ibu barusan setelah makan malam benar-benar membuatku terpukul.
“Dia bukan laki-laki yang baik dan tepat untuk kamu. Perempuan itu butuh imam, gimana dia bisa membawa kamu ke surga kalau membimbing kamu taat sama agama anutanmu aja gak bisa” “Bisa aja nanti kami Se-iman Bu” “Nanti… nanti kapan?, pas mau nikah?, iyah!, dia yang ikut kamu… atau malah kamu yang ikut dia” “Sekalipun suatu hari nanti dia muallaf, tetap aja gak bisa merubah hukum pacaran jadi halal untuk dilakukan” Aku hanya mampu terdiam, lidah terasa keluh rasanya untuk digerakkan. Sebisa mungkin aku tahan air mata untuk tidak terjatuh, menahan sesak di dada.
“Bukan ibu yang tidak merestui, tapi tuhan yang tidak mengizinkan dengan hubungan kalian” Ibu pergi begitu saja meninggalkanku ke kamarnya, aku terlungkupkan kepala di atas meja makan menumpahkan semuanya.
Aku tau yang aku lakukan salah di mata tuhan, pacaran dan mencintai makhluknya yang tidak setuhan. Tapi jika orang lain di luar sana bisa melewatinya kenapa aku tidak.
Kembali aku menangis di atas kasur membaringkan tubuh yang letih karena hati yang perih. Lelah terus bersedih memikirkan semua ini, aku memilih membuka media sosial memeriksanya satu persatu, mengulir setiap beranda yang ada untuk mengalihkan kesedihan.
Hingga aku bertemu dengan postingan tentang masalah hati.
Allah akan menguji masa mudamu dengan mengirimkan seseorang yang membuatmu jatuh hati padanya seolah-olah ia membawa hakikatnya cinta. Namun, nyatanya hanya maksiat belaka.
Semakin aku scroll ke bawah sama saja, seakan HP-ku tau bahwa aku sedang membutuhkannya, atau mungkin memang tuhan sengaja menguatkan hatiku yang terluka untuk mendapatkan obat dari pesakitannya.
“Isshh!, kenapa seperti ini semua sih!”
Mungkinkah ini jawaban?
Hatiku gamang, lama aku terdiam menatap langit-langit kamarku. Sekali lagi aku yakinkan hati jika dia bukan orang yang harus aku perjuangkan.
Lekas aku tutup aplikasi medsos yang masih menyala, lalu mendial nomor seseorang yang sedang aku pikirkan sedari tadi. “Halo, Jovan. Aku nggak bisa lanjut, kita putus” “…” “Maaf” “…”
Dengan buru-buru menggeser tombol merah, dan lagi aku menangis, akan aku gunakan malam ini hanya untuk menangis. Menangisi dia yang hati inginkan dan cintai.
—
“Eh, itu Amel ‘kan. Tadi aku liat dia lagi bicara sama anak SMAN 7, itu pacarnya yah?” “Iya, tau gak sih. Pacarnya itu Protestan.” “HAH!” “Susstt!, jadi dia pacaran beda agama gitu” “Tapi aku denger tadi, kayaknya mereka ngomongin putus” “Mungkin cuma Mantan”
Jadi mereka melihat aku dan Jovan tadi, di depan gerbang. Pantas saja mereka melirik padaku sambil berbisik.
Memang ini yang terbaik, jika mereka tau aku masih berhubungan dengannya. Sudah dipastikan aku akan menjadi tranding topic nantinya.
Pacaran memang hal yang dipandang buruk oleh siswa yang menetap sebagai santri, tapi itu lumrah bagi siswa luaran yang lain karena sebagian dari mereka sama sepertiku. Namun, jika pacaran beda agama bisa-bisa aku menjadi momok pembicaraan para penghuni sekolah termasuk para guru jika ada yang tau.
Terus berjalan menyusuri koridor, tapi pikiran entah pergi kemana. Semua hanya tentang Jovan, kenangan bersamanya tidak bisa aku lepas begitu saja.
“Jangan mencintai seseorang, melebihi kamu mencintai sang pencipta, Amel!” Ucapan ibu tiba-tiba terkelebat di pikiran, membuatku tersadar bahwa aku harus bisa melupakan.
“Ya, aku pasti bisa!”
Semangatku dalam hati, dan aku yakin semua hanya butuh waktu. Cinta datang dan pergi silih berganti, ketika dia bukanlah pasangan yang sejati.
Selesai
Cerpen Karangan: Sy_OrangeSky Blog / Facebook: Siti maisaroh