Matanya berkaca-kaca, sedangkan kedua tangannya saling meremas untuk menghilangkan kegugupan yang mendera.
Di bawah pohon kersen yang rindang, tepat di teras depan kelas XII A, mereka duduk berdua terpisah jarak 100 meter. Adrian Daniel, ditemani temannya yang sedang main game. Dan Dina Kahfi, ditemani temannya yang tengah bersenandung lirih.
Adrian Daniel dan Dina Kahfi, adalah sepasang kekasih fenomenal di lingkungan sekolah SMA Bina Bangsa. Selain kecerdasan keduanya, sama-sama aktif di OSIS, saling bergilir tempat menduduki peringkat juara umum. Namun hubungan antara Adrian dan Dina sangat disayangkan karena keduanya berbeda paham.
Perasaan cinta tumbuh tanpa tahu tempat dan waktu, tanpa bisa memilih kepada siapa cinta berlabuh, tanpa bisa dicegah sebesar apa rasa itu mengalir. Yang penting dua tahun backstreet, dan di tahun ke tiga orangtua Dina, pula orangtua Adrian mengetahui jalinan kasih mereka.
Adrian, keluarganya menentang keras, bahkan setiap hari perasaan itu dipaksa untuk diputus begitu saja demi menghindari kemungkinan besar suatu hal buruk terjadi.
Dina Kahfi, orangtuanya melarang karena dalam ajarannya tidak ada yang namanya pacaran apalagi parahnya berbeda agama.
Sangat disayangkan, dimana kedua hati dipaksa untuk saling terluka satu sama lain. Mereka dituntut untuk menyudahi semua ini khawatir perasaan cinta benar-benar mendarah daging. Mumpung masih SMA, masih panjang waktu untuk mengobati hati mereka masing-masing.
Sebesar apa pun cinta di antara mereka, pada akhirnya jika mereka bersatu, maka salah satu di antara mereka dengan terpaksa harus meninggalkan kepercayaan mereka.
“Kita nggak bisa lanjutin ini.” Dina memecah keheningan di antara mereka. Adrian mengangguk meskipun hatinya teramat perih. “Aku mengerti, Dina. Meskipun hati tak bisa bohong, aku nggak bisa lepasin kamu.” Ungkap Adrian penuh penyesalan. Dina meneteskan air matanya lagi, lebih deras. Dina juga ikut mengangguk karena apa yang Adrian bilang memang benar adanya.
Dina masih berat, menghapus cinta yang setiap hari tak pernah padam. Namun sayang, keyakinan yang berbeda harus membuat mereka harus terpisah.
“Maafkan aku, tidak bisa memperjuangkan cinta kita. Tak peduli jika aku lebay, tapi perasaan ini nyata, Adrian. Kamu duniaku. Tapi sayang kita berbeda, orangtua kita menentang.”
Ada perasaan bahagia dalam benak Adrian ketika Dina bilang bahwa dialah dunia perempuan itu. Tapi sayang mereka tak bisa bersatu.
“Aku yang seharusnya berjuang, Dina. Hanya saja perjuanganku benar-benar dihadang dua batu besar. Keluargaku, dan keluargamu. Tapi kamu harus tahu cintaku tak bisa dihapus begitu saja. Sudah dalam dan tak bisa dikubur. Maafkan aku jika setelah hari ini aku masih selalu melihatmu dari kejauhan, memperhatikanmu dari luar jangkauan, merindukanmu meski nanti kamu sudah milik orang lain.” Adrian menatap Dina yang menunduk. Jujur, ingin rasanya dia merengkuh Dina ke dalam pelukan namun tetap ia tak berani.
Dina mengangguk membuat air matanya berjatuhan.
“Aku mengerti. Kita sama-sama dalam kondisi sulit. Maafkan aku jika setelah ini aku masih terus menangis karena harus melepaskan dengan paksa. Bagiku move on sulit kalau orangnya seperti kamu. Kita harus berjanji bisa bahagia di jalan masing-masing, Adrian. Kita harus bisa meskipun awalnya sulit.”
Meskipun pedih, Adrian tetap mengangguk dengan matanya berkaca-kaca.
“Terima kasih untuk 3 tahun ini, Dina Kahfi. Perempuan teristimewa yang pernah aku temui.” Katanya tulus. Namun tersirat penyesalan disana. “Terima kasih, Adrian. Tiga tahun bersama, kamu benar-benar duniaku.”
Sehari setelah sepakat menyudahi hubungan, mereka tersiksa luar biasa awalnya. Adrian selalu mencuri pandang, menatap sendu pada mantan pacarnya.
Begitu pula, Dina, tak mengelak kalau ia rindu kebersamaan mereka. Tanpa Adrian tahu, diam-diam Dina mencari kabar pada teman sekelas Adrian, Arya, namun tanpa diketahui mantan pacarnya.
Hari-hari mereka jelas, sepi. Terbiasa bersama di sekolah, terbiasa bertukar kabar di sms, terbiasa bertukar suara di telepon kini sudah tidak ada lagi. Keluarga masing-masing memperingati mereka dengan keras. Mereka dipantau ketat, takut jika diam-diam mereka menjalin hubungan kembali.
Perpisahan tinggal menghitung hari. Jauh-jauh hari mereka dipasangkan untuk menjadi sepasang pengantin di acara perpisahan sekolah namun dua-duanya dengan berat hati menolak. Biarlah perpisahan ini menjadi perpisahan penuh air mata dalam sejarah hidupnya di masa SMA.
Adrian akan pergi jauh dari Jakarta, begitu pula Dina akan pergi ke Jogjakarta untuk melanjutkan pendidikan S1-nya. Sedih sudah pasti, hanya kenangan yang bisa mereka putar kembali jika keduanya merasakan kerinduan.
Tahun-tahun berikutnya semua berjalan dengan baik. Sampai lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan masing-masing. Jika rindu itu hadir di antara mereka, maka otomatis otaknya memutar kembali memori beberapa tahun lalu hingga berhenti pada masa SMA. Dina akan tersenyum jika mengingatnya, tak mengelak, Dina mengakui kalau cinta itu masih ada.
Di tempat kerja, bukan tidak ada pria yang mendekat, hanya Nanda menutup pintu hati, beralasan bahwa dia sedang dalam masa ta’aruf, otomatis mereka mundur.
Entahlah sampai kapan sikap ini akan dia ambil. Antara menunggu dia kembali, atau menunggu cintanya benar-benar pudar baru Dina akan membuka hati untuk orang lain. Tapi sampai kapan pun bukankah mereka tak akan bisa bersatu karena lagi-lagi berbeda keyakinan menjadi penyebabnya.
Brukkk!! Nanda memekik ketika tubuhnya ditubruk dari belakang ketika dia tengah berdiri berpegangan pada besi pagar pembatas taman. Seorang anak laki-laki meringis menahan sakit karena tubuh mungilnya ambruk ke paving blok dengan bibirnya mencebik. Sepertinya dia mau menangis. Otomatis Dina menarik anak laki-laki itu untuk ia dekap supaya tenang. Dengan sayang, Dina membelai surai rambut anak kecil itu hingga perasaannya mereda. Dan beruntungnya, anak laki-laki yang memakai setelan kemeja dan jeans itu mulai tenang.
“Aduh, maafin Kakak ya, sayang. Ada yang sakit nggak?” tanya Dina seraya meneliti tubuh anak itu. Yang ditanya malah menggeleng. “Maaf ya Kakak nggak sengaja, sayang.” Meskipun anak kecil itu yang salah karena berlarian, tidak pantaslah Dina menyalahkannya, malah dia mencoba untuk membuatnya lebih nyaman. Nanda memeluk lagi.
“Nama kamu siapa?” “Livano.” Dina terkekeh karena tingkah lucu anak kecil itu menyebutkan nama Rivano tapi menggunakan huruf L di awal namanya. “Rivano?” Dan anak laki-laki itu mengangguk malu-malu. “Ihh lucu banget, sih, kamu. Mamanya mana?” Tanya Nanda lagi, namun si anak malah menggeleng. Meskipun aneh, namun Nanda tak bertanya lagi.
Sedangkan, laki-laki berjas rapi tengah kebingungan karena anak laki-lakinya berlari jauh dan hilang dari pandangan matanya. Di tengah jalan ia menemukan permen terbungkus tergeletak di atas paving blok. Hingga ia terus berjalan dan menemukan anaknya tengah dipangku seorang wanita dengan gamis panjang dan kerudung lebar.
“Rivano! Sini, Nak. Tantenya kasihan berat.” Panggil Adrian dengan lembut. Namun detik berikutnya ia membeku ketika wanita itu menoleh. Sama tertegunnya, Dina memelotot ketika menyadari laki-laki yang ia cintai kini berdiri di hadapannya dengan sebungkus permen di tangan kirinya.
Adrian? Rivano? Nak? Adrian memanggil Nak pada anak kecil ini, mungkinkah ini anaknya?
Seketika hati Nanda mencelos, semudah itu kah Adrian berpaling dan menikah kemudian mempunyai anak, sementara Dina, terus menyendiri untuk meyakinkan cinta itu telah hilang.
Dina berdiri sambil menggendong Rivano, kemudian menoleh untuk menatap anak kecil itu yang benar-benar jiplakan Adrian versi junior. Tampan. Dina menguatkan hati.
“Itu papanya, Rivano?” Tanya Dina memastikan. Anak laki-laki itu mengangguk, membuat Dina berkaca-kaca.
Benar, Adrian telah menikah.
Menunjukkan senyuman terbaiknya, Dina mencoba kuat. Mungkin sudah saatnya dia membuka hati juga kan? Adrian bisa, kenapa Dina nggak bisa?
“Papa nyariin Rivano, sana samperin dulu!” Dina menurunkan anak laki-laki itu kemudian dia melangkah meskipun malas. “Dia ngambek karena nggak dibelikan es krim.” Adrian menceritakan penyebab anaknya kabur.
Nanda membeku di tempatnya, masih mendengarkan dengan baik apa yang Adrian lontarkan. “Lagi flu, makanya aku larang.” Dina mengangguk saja, kemudian ia bergegas untuk pamit, namun Adrian menahannya. “Bisa kita bicara?” Tanyanya. Karena sudah ditahan, makanya Dina menyetujui ajakan Adrian untuk mengobrol.
Setelah mendapat anggukan, Adrian bernafas lega. Kemudian mengajak Dina untuk mengikutinya mencari tempat yang nyaman. Sebelum itu, Adrian menyuruh anaknya untuk menyapa Dina meskipun mereka sudah bertegur sapa tadi.
“Salam dulu sama Ante!” Perintahnya yang diangguki cepat oleh Rivano. “Assalaamu’alaykum Ante!”
Nanda tertegun. Hah? Rivano mengucapkan salam? Salam yang itu? Salam yang tidak pernah ada dalam hidup Adrian selama ini. Banyak sekali kejutan setelah beberapa menit Adrian di depan matanya.
Anak laki-laki dan ucapan salam. Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan dia selama beberapa tahun ini? Jujur, Dina bingung, dan otaknya dipenuhi pertanyaan sudah macam benang kusut.
Sebuah panggilan dari Adrian membuat lamunan Dina buyar, Dina baru mengikuti laki-laki itu setelah pikirannya seratus persen sadar.
Bersambung..
Cerpen Karangan: Latifah Nurul Fauziah ipeeh.h (instagram)