Surat. Masih adakah di zaman sekarang, seseorang menyatakan isi hatinya melalui surat? Itu kuno. Ah, tidak juga.
Ahmad Nur Hidayah, seorang pemuda yang baru saja lulus mengkhatam Al-Qur’an di sebuah pesantren tahfidz itu tengah dilanda virus merah jambu pada pandangan pertama. Ia ingin menyatakan niatnya untuk mengkhitbah perempuan berhijab biru. Yang pandangannya berjibaku dengan mushaf coklat. Yang sama sekali belum Ahmad kenal. Dan yang berhasil membuatnya gundah selama sepekan ini.
Tapi, ia bukanlah pemuda yang mudah terjangkit virus itu. Kepasrahan pada-Nya setelah mengadu di malam yang panjang mampu menguatkannya. Iya, melalui surat.
“Surat ini akan menjadi saksi dan sebuah sejarah. Bila diterima, maka biarlah menjadi sebuah keberkahan yang bisa kuceritakan pada anak-cucuku kelak. Bila ditolak, yaa sudah … Mungkin bisa menjadi koleksi cerita perempuan itu. Dan belum jodoh,” desah Ahmad. “Mas, jangan pakai surat dong! Langsung saja datang ke rumahnya,” ucap Layla. “Mas belum tahu rumahnya, Dek,” jawabnya. “Ya Allah, Mas … Lha, kemarin itu kenapa ndak tanya rumahnya?” “Mas kan harus fokus sima’an, Dek. Mas malu, Dek. Kemarin aja beberapa kali Mas lupa ayat yang lagi dibaca. Karena grogi melihatnya, lagipula bukan mahrom.” Wajah Ahmad mulai menerawangi langit-langit atap rumahnya. “Astaghfirullah, hati-hati, lhoo, Mas.” Layla mengingatkan. “Mas tahu. Pandangan pertama adalah anugerah. Setelahnya harus diwaspadai. Karena itu, besok Mas mau bertemu Ustadz Abdul dulu. Dan menitipkan surat ini untuk perempuan itu bila diizinkan Allah,” ucapnya mantap. “Hmm, baiklah. Layla mendukung Mas Ahmad,” ucap Layla semangat.
Keesokan harinya, Ahmad menemui Ustadz Abdul di rumah. “Assalamu’alaikum …,” salam Ahmad sambil mengetuk pintu. “Wa’alaikumsalam. Ehh, ada Mas Ahmad. Mau bagi-bagi cokelat, ya, Mas?” jawab Fitri penuh riang-putri bungsu Ustadz Abdul yang masih berusia empat tahun. “Hmm cokelatnya besok, ya, Manis. Mas Ahmad lupa tidak membawanya hari ini,” ucap Ahmad lembut. Wajah Fitri pun berubah cemberut. “Ehh, Ahmad. Ayo masuk, masuk. Fitri, bilang umi minta teh untuk Mas Ahmad, ya,” pinta Ustadz Abdul seraya mempersilahkan Ahmad duduk. “Iya, Ustadz. Mmm begini, Ustadz ….”
Tak terasa, sudah satu jam lebih Ahmad mengobrol dan mengutarakan unek-uneknya pada Ustadz Abdul. Ketika hendak berpamitan, terdengarlah salam dan ketukan dari arah pintu. Ada tamu. Suara itu tidak asing, pikir Ahmad. Saat yang bersamaan, handphonenya berdering tanda panggilan masuk dari Layla. Ahmad harus segera pulang.
“Wa’alaikumussalam. Sebentar, ya, Abi, Ahmad,” ucap Ustadzah Nisa yang kemudian membuka pintu. Betapa terkejutnya Ahmad yang mengetahui sosok tamu tersebut. Perempuan itu. “Mbak Salwaaa …,” teriak Fitri yang langsung menghambur ke pelukan perempuan itu. Dia hanya tersenyum, sangat manis. “Ustadzah, ana mau mengambil mushaf yang kemarin tertinggal waktu sima’an. Karena ada hal yang mendadak, jadinya ana ndak bisa kembali lagi di Majelis,” terang Salwa, yang baru Ahmad tahu nama perempuan itu. “Ayo Mbak, temenin Fitri main, yaa,” ajak Fitri. Salwa hanya tersenyum penuh kasih.
Ustadzah Nisa, Salwa dan Fitri pun bergegas menuju ke ruang samping yang biasa digunakan untuk anak-anak mengaji dan menyimpan Al-Qur’an. Salwa yang melihat ke arah Ustadz Abdul dan Ahmad pun hanya tersenyum ramah.
“Itu perempuan yang ana ceritakan tadi, Ustadz,” ucap Ahmad kepada Ustadz Abdul. “Subhanallah. Ahmad, benarkah itu? Namanya Mey Salwa Putri, dia baru saja menyelesaikan kuliahnya di Malang. Tapi …,” Ustadz Abdul berhenti sejenak, seakan memikirkan sesuatu yang serius.
“Nak Ahmad benar berniat mengkhitbah Salwa?” tanya Ustadz Abdul. “Iya, Ustadz,” jawabnya tegas. “Baiklah. Nanti saya tanyakan kepada orangtua Salwa. Dan tunggulah kabarnya.” Ada seberkas cahaya mendamaikan perasaannya saat itu. Kemudian, Ahmad teringat telephone Layla. “Astaghfirullah, ana harus pulang dulu, Ustadz. Di rumah sedang ada tamu yang menunggu,” pamitnya.
Belum jauh melangkah, Ahmad teringat akan surat yang dibawanya. “Oya, Ustadz. Ana minta tolong untuk memberikan surat ini kepada perempuan itu,” sembari menunjuk tempat Salwa, “tadinya ana mau meminta tolong kepada Ustadz untuk menyimpannya terlebih dulu, karena mungkin membutuhkan waktu lama untuk bisa bertemu dengannya. Sungguh … Allah Maha Rohman, ternyata sekarang ana dipertemukannya lagi,” ucap Ahmad. Karena tak bisa berlama-lama, ia pun segera pamit pulang.
Hati Ahmad pun berbunga-bunga ketika ia bisa bertemu perempuan itu lagi di rumah Ustadz Abdul. Ehh, Salwa namanya.
“Mas yakin dia benar-benar jodoh Mas, Layla,” ucapnya optimis. “Insya Allah, Mas. Oya, Mas jangan lupa, ya, temani Layla ke Jakarta. Layla sudah siap-siap dari jauh hari untuk launching buku pertama Lay,” ucap Layla semangat. “Iya, Lay. Besok kita berangkat,” ucap Ahmad penuh bangga pada adiknya. “Tapi, Mbak Salwa gimana, Mas?” tanya Layla ragu. “Nggak apa-apa. Mas tinggal menunggu kabar dari Ustadz Abdul,” ucapnya berusaha tenang. Meski perasaannya khawatir juga. “Insya Allah Mbak Salwa jodohnya Mas Ahmad, kok,” ucap Lay menyemangati ala cheerleaders.
Bahagia sekali bisa melihat Salwa tersenyum penuh syukur, meski pandangannya tertunduk. Antara suka atau merasa bersalah. Entahlah!
“Barakallahu laka wa baraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fi khoir, Akhi Hafidz,” ucap Ahmad pada sahabatnya yang juga rival selama di pesantren. “Syukron. Terima kasih untuk kedatangannya, Yaa Akhi,” ucap Hafidz sembari berpeluk gembira. “Barakallahu …,” ucap Ahmad pada Salwa. Ah, ada apa denganku? Harus kuat. Batinnya. “Syukron,” ucap Salwa dengan menelangkupkan kedua tangannya.
Ahmad terlambat! Ternyata Salwa telah mengikrar janji tersembunyi dalam hatinya. Salwa dan Hafidz. Memantaskan diri masing-masing.
Yaa, itu baru diketahui Ahmad seminggu setelah bertemu Ustadz Abdul, lagi. Ahmad pulang membawa harapan yang retak sebelum mekar dan sepucuk surat. Surat yang kembali kepada tuannya, tanpa tersentuh pada yang ditujukan.
“Masih ada hari esok. Salwa, kau kabut yang mampir di hidupku. Ya, sementara. Yakinku pada-Nya, mentari sebentar lagi kan menerangi jalan ceritaku, yang baru.”
Ahmad mencoba ikhlas akan takdir Rabbnya. Allahu Akbar!
-End-
Cerpen Karangan: Shahibah Kusuma Blog / Facebook: Shahibah Kusuma