“Kak, minta waktunya sebentar!” Sambil mendongakan kepala, aku mencoba melihat wajah pemuda itu sekilas. Namun, sedetik kemudian aku menunduk. Jarak kami pun hanya terpaut satu langkah, aku mundur perlahan, merasa berdebar.
Lalu tanpa berfikir panjang ia langsung mengutarakan apa yang hendak ia katakan. “Kak, untuk kepanitiaannya kenapa gak langsung ditunjuk? Kalo nunggu ada yang mau kan jadi lama?”. Pemuda itu bertanya dengan mimik muka yang keheranan. Aku pun menjawab “Kami kan masih belum tahu karakter kalian dan kemampuan menonjolnya di bidang apa. Jadi, sisanya kami serahin ke kalian”. Pemuda itu pun membalas “Gini kak, khawatir kelamaan, mending langsung asal tunjuk aja, pasti mereka mau kok kalo di tunjuk”. Aku menjawab “Yaudah nanti langsung ditentuin aja anggota-anggotanya”. Selepas ia mengutarakan maksudnya, kemudian ia pamit dan mengucapkan terimakasih. Flash back off
Aku merupakan seorang wanita yang tumbuh menuju dewasa. Aku tak pernah dekat dengan laki-laki manapun. Kecuali alm. ayah dan kakak laki-lakiku. Terlebih lagi mengenai pasal pacaran. Ini merupakan perkara sensitif bagiku. Banyak dari sanak keluarga atau teman-teman dekatku mengatakan “Kamu pernah suka sama orang gak sih?”. Pertanyaan yang sering dilontarkan, batinku berkata. Aku menjawab serangkaian kalimat yang sangat sering diungkapkan oleh orang-orang di sekitarku “Ya iyalah pernah suka. Emangnya aku ini apa? aku juga manusia yang punya hati”. Mereka menjawab “Masa, kok gak keliatan sih kamu pernah suka sama cowok?,” “Aku kan pintar menyembunyikan perasaan”. Jawabku mengasal.
Benar. Aku memang pernah menyukai seseorang. teramat banyak. Namun, tak ada satupun yang dapat membuatku berdebar hebat. Merasakan gejolak yang menggelitik raga. Tersipu malu dan tegang hanya sekadar mendengar namanya saja. Orang-orang sering menyebutnya “Jatuh Cinta”. Benar, aku belum pernah merasakannya. Namun, kali ini sepertinya aku menemukannya. Kisah perjuangan cintaku yang pertama dan sangat tragis endingnya.
Sejak lahir hingga sekarang sudah masuk usia dua puluh tahunan, aku selalu tak pernah dekat dengan banyak laki-laki. di Sekolah Menengah Pertama, aku masuk kelas bilingual, yaitu kelas orang-orang yang nilai rata-ratanya diatas 8 dan notabene isinya adalah anak-anak perempuan.
Di Sekolah Menengah Atas pun tak ada harapan.. Sekolah plus asrama yang isinya adalah kaum hawa, yang sama berjilbab sepertiku. Tak ada harapan bertemu dengan laki-laki atau mengobrol sambil berbincang hangat. Itu hanyalah mimpi bagiku. Dan nyatanya, akupun tak seberani itu melakukan hal yang tabu bagi diriku sendiri.
Lalu, takdir itu datang juga kepadaku. Kisah cinta pertama, di usia yang terlampau jauh dari masanya, aku baru merasakannya. Hari itu, aku dan teman-temanku sedang melaksanakan pengabdian kepada masyarakat. Untuk 30 hari lamanya. Dan dalam skenarioNya aku dipertemukan dengannya.
Seorang pemuda datang menghampiriku dan mencoba mengajakku berbicara. Aku merasa ada perasaan aneh yang menghinggapi diriku. Kaget dengan sikapnya dan penampilannya yang agak berantakan membuatku segan. Namun, ada daya tarik tersendiri yang membuatku merasa berdebar pada kali pertama bertemu.
Pandanganku terkadang lepas darinya, namun aku mendengar perkataan dia dengan saksama. Karna prinsipku, siapapun yang berbicara denganku maka secara otomatis aku pasti akan sesekali menatap ke dalam manik matanya.
Ia berbicara untuk menanyakan terkait kepanitiaan kegiatan yang diadakan oleh kami di bulan Ramadhan, yaitu “Takjil on the Road”. Dan akhirnya dia pergi dengan mengucapkan terimakasih.
Sekali berbincang dengannya, aku tahu beberapa hal. Dia merupakan seorang pemuda yang cuek, yang berbicara irit. Namun, cukup sulit bagiku menebak suasana hatinya. Karena ekspresi yang datar terkesan marah, membuat kami takut-takut salah atau sekadar menyinggungnya. Intinya harus berhati-hati terhadapnya. Dan ini menjadi poin plus dariku untuknya. Aku menyukai sikapnya yang seperti itu.
Setelah hari itu, tak hentinya aku mencoba mendekati remaja berusia 17 tahun itu. Sedangkan, diriku ini sudah mencapai kepala dua. Dan dengan tak tahu diri, mencoba mendekatinya semauku. Aku pun tak tahu kenapa aku begini, aku hanya merasa suka juga sambil mengagumi dirinya dari jauh.
Dengan berbagai alasan, aku mencoba memburu moment agar semakin membuatku dekat dengannya. Ia memang tak menolak ataupun merasa rishi, namun ia pun tak menunjukkan sikap yang merasa nyaman dengan keberadaanku di sekitarnya. Perasaanku mengatakan begitu.
Hari berganti hari. Cepat sekali waktu berlalu. Kesibukanku semakin padat sehingga membuatku semakin susah menghubungi pemuda itu. Namun, Ketika ada sedikit waktu kosong, terkadang aku mencoba untuk mengambil kesempatan itu. Dan alangkah buruknya, seringnya waktu kosong itu terdapat di malam hari. Sehingga membuatku semakin kalut merindukannya, padahal dia bukan siapa-siapanya diriku.
Hampir tiap malam selalu ada topik menarik yang kami bincangkan. Sebenarnya tak ada perasaan dalam obrolan online kami, hanya sekadar pertanyaan atau sapa-sapaan. Namun terkadang, aku merasa iri dengan pemikirannya yang terkesan mengedepankan logika. Aku masih belum bisa seperti itu.
Sampai akhirnya, ketika terlalu larut malam. dia menyetop obrolan kami, dengan berkata “Udah dulu yah kak, ini udah kemaleman. Takutnya zina”. Aku melongo, merasa bersalah. Dia mengetik tanpa emosi. Namun berujung aku yang emosi. Aku merasa digampar online. Malu. Sebagai perempuan harusnya bisa menjaga sikap, namun kenapa kelakuanku bagaikan kuda liar.
Dan untuk selanjutnya, setelah mengetahui dia yang seperti itu, selalu aku yang inisiatif mengakhiri obrolan online diantara kami. Namun, sekali lagi. Itu menambah poin plus rasa kagum dan sukaku kepadanya. Entahlah, rasanya aku sudah menjadi bodoh.
Setelah beberapa hari lamanya, rasa kagumku semakin bertumpuk. Aku mengetahui banyak informasi tentang dirinya. Kalut kehidupannya dan berbagai macam hal lainnya. Namun sampai akhir pun memang tak ada apa-apa diantara kami. Ternyata hanya aku yang merasa berdebar. Hanya aku yang mekar di siram kasmaran. Terbelenggu oleh ketidakpastian.
Aku mencoba menjauh dan mencoba melupakannya. Namun, mengapa susah sekali? Berondong ini telah menjerat hatiku. Berdebar karena dirinya.
Pada akhir kegiatan masa pengabdian, ada momentum yang membuatku seolah-olah dekat kembali dengannya. Aku tahu, rasanya sakit jikalau aku mencoba untuk mendekatinya kembali. Namun apalah daya, hawa nafsu dan tipuan syaithan benar-benar telah membuatku terjebur dalam lembah kemaksiatan. Aku pun terbujuk untuk mendekatinya kembali.
Aku terus menatapnya dalam diam, tak berani menyapanya. Aku ingin mencoba menelusuri apa sebenarnya yang difikirkan olehnya, namun terlalu sulit bagiku menyelaminya.
Sejak terjadi salah faham diantara peserta pengabdian dan para pemuda, menyebabkan hubungan kami kian longgar. Tak bersua dengannya dalam obrolan online pun cukup membuatku kalut dan frustasi. Aku merasa ini sudah tidak baik-baik saja. Sulit sekali mengejar cinta ini? Usia yang terpaut jauh dan sungguh mustahil untuk di raih, kenapa harus aku yang merasakannya?
5 hari menjelang kepulangan, tak ada kata-kata diantara kami. Lebih tepatnya dia tak membalas obrolan onlineku. Entahlah, mungkin dia tahu kalau aku mengaguminya atau terlampau berekspektasi tinggi terhadapnya. Aku tak tahu pasti.
Batinku mengatakan bahwa sehari sebelum kepulangan dia akan mengirimi pesan, untuk sekadar menyapa hai dan ucapan terima kasih. Dan ternyata benar. Dia kembali hanya untuk mengucapkan terimakasih dan berbagai ungkapan petuah lainnya. Aku merasa dia sangat cepat mengetik kata-kata, bahkan sepertinya dia tidak mengecek ulang pesan yang telah dikiriminya kepadaku. “Lihai sekali,”, Batinku mengatakan.
Lalu, aku pun membalas ucapan terima kasihnya. dan tanpa canggung, aku menanyakan masalah pribadinya. “Kamu pernah pacaran?” Tanyaku dengan ragu, dia menjawab “Enggak pernah”. Aku meleleh dibuatnya. Ternyata masih ada lelaki di zaman milenial ini, yang tidak berpacaran. Bagaimana ini? Aku semakin memupuk rasa kagum terhadapnya. Lalu untuk kemudian panjang lebar dia menjawab pertanyaanku, kenapa, bagaimana dll. Disusul pertanyaan, “pernahkah merok*k?, dan lain sebagainya. Dan semua jawabannya membuatku puas dan membuatku semakin kagum.
Di balik ke”cuek”annya ada pemikiran-pemikiran yang disembunyikannya. Pemikiran yang membuatnya ingin mengubah peradaban, terebih terhadap moral pada remaja, yang semakin hari semakil gila dan tak tak terkendali. Dia adalah sosok tertutup dan tak mudah didekati. Bahkan, aku tak pernah melihat satupun pemudi berkeliaran di sekelilingnya. Sungguh, cuek yang mendebarkan.
Setelah berada di rumah pun, aku masih saja mengobrol dengannya di aplikasi obrolan online. Bahkan semakin gencar dilakukan. Pagi, siang, sore bahkan malam. Memang, tak ada obrolan yang spesial. Hanya berdiskusi tentang masa kini yang semakin carut marut. Dan masalah agama yang berkaitan dengan aktifitas remaja. Namun, itu menambah ilmu pengetahuanku dari ideologi seorang pemuda yang kusebut “Sang Pendamba Perubahan”. Begitu banyak keilmuan dari dirinya yang katanya masih sulit disebarkan kepada orang di sekitarnya.
Suatu hari, dengan tegas aku mengatakan bahwa aku kagum padanya. Dia tak langsung merespon. Mungkin kebingungan hendak menjawab apa. Lalu beberapa menit kemudian dia membalas pesanku apa adanya. Selalu seperti itu, apa adanya. Intinya dia menolak. Dia tak memiliki perasaan khusus seperti itu pada kakak ini. Dan dia lebih memprioritaskan kehidupan yang sedang dijalaninya, yaitu sebagai seorang pelajar.
Seketika aku lunglai, rasanya duniaku runtuh, imageku hancur. Aaahhh, aku malu sekali. Semuanya sudah berakhir. Cukup. Sudah selesai. Aku tahu memang tak bisa. Bahkan dari awal, aku sudah tahu akan jadi seperti ini. Dan untuk terakhir kalinya, dia mengakhiri semua ini. Namun masih sepat mengatakan, terimakasih sudah mau berteman dengannya. Dia pamit tanpa menengok kembali.
Lalu, bagaimana dengan aku?. Aku masih di tempat ini, masih menunggu kemungkinan baik darinya. Kemungkinan yang bahkan bisa mengancam diriku kedua kalinya. Ketika merutuki diri, tak sadar, air mataku lolos begitu saja. Sakit yang amat terdalam aku rasakan sekarang. Kisah cinta pertamaku tak sebaik harapanku.
Untuk kesekian kalinya, aku bersimpuh dan meminta ampun kepadaNya. Tuhan semesta alam atas kesalaham yang telah kuperbuat. Dosa yang telah kuperbuat. Kesalahan yang berbalut keindahan.
Kini, aku tahu. Aku dapat mengambil kehidupan dari kisah tentangku, bahwa berharap selain kepadaNya adalah menyiapkan sakit hati untuk bahkan mengundang bencanaNya. Takdir ini akan kujadikan pelajaran bagi hidupku. Cuek yang mendebarkan telah pergi disambut dengan semburat senyum yang memilukan. Allah, aku tak akan mengulang kembali kisah yang terjalin bukan karena Mu. Dan aku berdoa semoga aku segera dipertemukan dengan lelaki impianku yang akan menjagaku dan membawaku ke syurga Mu bersamanya.
Cerpen Karangan: Euis Lusyana Blog: Euisslusya.blogspot.com