“Mbak, tolong tanggung jawab atas kelalaiannya! Saya mau bertemu dengan owner toko ini secepatnya,” ucap laki-laki dengan kaos hitam santainya yang berbanding terbalik dengan ketidaksantaiannya berbicara dengan karyawan dari toko Kue bahagia. “Maaf Kak, tapi saya membuatnya berdasarkan format pemesanan melalui WhatsApp yang sudah Kakak kirim. Dan itu Kakak kirim setelah panggilan suara, yang kami kira memang berubah,” ucap perempuan bernama Lara Rizky di kartu pengenalnya.
Belum sempat laki-laki itu memastikan ulang format pemesanannya, perempuan bertunik abu-abu yang sama dengan hijabnya dan ditambah rok hitam menghampirinya. “Selamat pagi Kak. Maaf, anda bisa berbicara dengan saya selaku owner. Silahkan duduk di sana Kak,” ucapnya dengan tenang dan perlahan, sembari menunjuk mejanya yang terletak di sudut belakang toko. Ia menghirup oksigen guna mengendalikan emosi. Menyusul laki-laki itu dan membawa format pemesanan yang diberikan oleh Lara. Laki-laki itu langsung meminum air putih yang baru diletakkan di atas meja.
“Ini rekaman suaranya sambil didengarkan Kak, dan—” ucapannya terpotong. “Maaf saya memotong. Asad, panggil saja Asad.” ucap laki-laki bernama Asad. “Baik, Asad. Pada rekaman kamu bilang ‘Donat jumbo matcha mix kacang, lima’. Lalu, di format pemesanannya silahkan perhatikan,” ucapnya sambil menunjukkan layar handphonenya. “Di sini tertulis ‘Donat jumbo matcha dan kacang, lima’. Kita sama-sama manusia ya. Jadi mohon maaf untuk kesalahan karyawan saya yang tidak menanyakan ulang. Tapi mohon untuk bersikap tenang, dan tidak membentak,” sambungnya lagi.
“Maaf kak Sofya, ini kuenya udah dibungkus baru. Mix matca dan kacang, lima kan, Kak?” ucap Lara. “Iya. Saya minta maaf sedalam-dalamnya, Lara. Karena tadi terlalu emosi. Jadi bagaimana dengan kue yang tadi?” ucap Asad dengan tulus. Sofya terkesan dan berpikir sikap Asad tadi pasti mempunyai alasan. “Tidak apa Kak. Kak Sofya menyuruh kami meletakkan sisianya di lemari. Donat Jumbo yang matcha tadi sudah kami beri kacang. Terima kasih, saya kembali kerja, ya.” Lara pamit menyisakan mereka bedua. “Saya mohon maaf sekali lagi. Terima kasih banyak. Saya pamit …” ucap Asad sedikit terjeda. “Sofya.” sambungnya. Setelah Sofya mengangguk sembari tersenyum tipis, ia keluar menuju mobil hitamnya.
—
“Assalamu’alaikum,” ucap Asad. Membuka pintu rumahnya dan mencari keberadaan sang ibu. “Wa’alaikumusssalam. Kok lama, mana kuenya?” Sang ibu yang tengah duduk di meja makan bertanya pada anak tunggalnya itu. “Ada sedikit problem tadi, Bu. Bisa-bisanya Asad salah ketik format pemesanannya. Padahal udah cek sebelum kirim.” ucap Asad. Sang ibu tersenyum penuh arti mendengar itu.
—
Berdiri tanpa sandaran yang nyata. Sendiri, berkhayal akan ditemani. Berbagi kata, sudah sesak mengerumuni. Cepatlah semesta, lelah dengan sepi.
Setelah selesai menulis pada buku berjudul Perjalanan Sofya pada sampulnya, Sofya membuka pesan masuk yang membunyikan notifikasi handphonenya.
2 pesan belum dibaca Assalamualaikum, Sofya. Apa kabar? Sudah lama nggak ketemu, besok Ibu tunggu di Fiv Cafe, ya. Jam 2 bisa? Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah baik, Bu. Insyaa Allah Sofya bisa.
Sofya tersenyum bersemangat. Kehangatan seorang ibu yang ia rindukan kembali terasa, walau tak sepenuhnya sama. Ia segera menyelesaikan rutinitas sebelum tidur, sebelum pergi ke alam mimpi.
—
“Oke semua, semangat!!!” ucap Sofya dengan lantang pada tiga karyawan tokonya. Outfit-nya hari ini didominasi oleh warna biru muda. “Siap, kak.” ucap ketiga karyawan bersamaan.
Masih di mejanya. Sofya mengamati laki-laki yang sedang memilih roti di rak penuh kue itu. Yap! Dugaannya benar, itu Asad. Pagi-pagi seperti ini ia sudah datang kemari? Sofya yang berpikir dengan serius baru menyadari kepergian Asad dari tokonya.
“Lara! Cowo tadi, Asad, sering ke sini?” ucapnya sedikit berteriak memanggil Lara. Lalu bertanya dengan berbisik-bisik. “Ekhem! Baru dua pekan terakhir kak, emang kenapa? Ciee…” ucap Lara menggoda bosnya itu. “Apaan sih. Lagian pagi-pagi udah ke sini. Jadi saya nebak aja dia langganan toko kita.” Sofya hanya penasaran. Baru dua hari ini ia rutin datang ke toko setiap pagi. Setelah dua pekan sibuk dengan pengiriman kue keringnya ke berbagai daerah.
—
Sesampainya di meja nomor 8, ia langsung mendapat pelukan hangat dari wanita paruh baya itu. Tapi, ia bingung dengan laki-laki yang duduk di samping ibu Har.
“Duduk, Sofya. Ibu kangen banget sama kamu,” ucapnya penuh antusias. “Iya, Bu. Sofya dua pekan ini agak sibuk. Baru dua hari rutin ke toko kue lagi.” ucap Sofya dengan senyum manisnya. “Asad! Kenalin ini pemilik toko kue yang sering kamu datangi,” ucap ibu Har memanggil anaknya yang menunduk, fokus dengan handphonenya. “Sofya? Iya Bu, Asad udah tau.” ucap Asad sedikit terkejut mendengar keakraban Sofya dengan ibunya.
Sofya dan ibu Har berbincang banyak. Sedangkan Asad banyak menyimak ketimbang berbicara. Ibu Har mengatakan bahwa Asad baru pulang dari Yogyakarta tiga pekan yang lalu. Ibu Har juga bercerita tentang sosok Asad, pun sebaliknya ia menceritakan tentang Sofya. Anak dari Alm. Iren, yang merupakan teman seperjuangan ibu Har selama 10 tahun lebih sejak SMP.
—
Jiwa baik, bertemu lagi. Walau buruknya pertemuan awal. Religius, singkat, pekerja keras, hangat.
Sofya menghentikan tulisannya. Kenapa harus ditulis, Sofya? Ia membatin. Tampaknya Sofya terkesan dengan sosok Asad. Mengakhiri pikirannya tentang laki-laki itu, ia membuka Al-Qur’an. Membacanya dengan mukena yang masih ia kenakan selepas shalat Isya tadi.
—
Tiga hari sejak pertemuannya dengan ibu Har di cafe, Sofya tidak melihat sosok Asad. Dan, sekarang ia melihat sosok Asad di meja makan rumahnya. Sejak sore tadi, ibu Har bersama suami dan anaknya itu berada di rumah Sofya.
“Maaf merepotkan ya, Sofya. Sampai mengajak kami semua makan malam di sini.” ucap suami ibu Har. “Nggak, om. Hanya makan malam sederhana di sini. Sering-sering ke sini, Bu.” ucap Sofya. “Iya, sayang. Ibu pamit dulu, Assalamualaikum.” Setelah melepas pelukannya, ibu Har pamit. Tanpa sadar, Asad tersenyum tipis melihat ibunya memeluk perempuan cantik itu. Astaghfirullah, batinnya. Ia mengatupkan tangan di depan dada, memberi salam kepada Sofya.
—
“Kenapa perempuan itu hinggap di kepalaku,” ucap Asad yang tengah merebahkan diri di kasur. “Semua perempuan cantik. Ya, dia mandiri. Hidup sendirian dan berkeja keras. Argh, sudahlah.” Asad berusaha memejamkan mata sembari beristighfar. Agar sosok perempuan itu menghilang dari pikirannya.
Tok! Tok! Rasa nyaman akan terlelap itu lenyap oleh ketukan pintu kamarnya. Asad langsung beranjak dari kasur dan membuka pintu. “Ayah?” Sedikit tersentak karena awalnya mengira sang ibu yang akan terlihat di balik pintu.
“Ayah mau ngomong sama kamu,” ucap sang ayah langsung melangkahkan kaki masuk ke kamarnya. Menghampiri single sofa yang menghadap ke dinding impian di kamar Asad.
“Ayah punya teman. Sebenarnya bukan tentang balas budi, atau hubungan pekerjaan. Ayah hanya menyampaikan keinginan teman ayah menjodohkan anak perempuannya denganmu. Hanya menyampaikan,” Dengan raut wajah santai. Asad tidak melihat keinginan perjodohan itu dari sang ayah. Apalagi dirinya yang tidak mengenal siapa perempuan itu. “Tidak berminat, yah.” ucapnya sambil merentangkan tubuhnya di kasur. “Oke. Tapi kamu tetap datang temuin anak teman ayah, besok. Alamatnya nanti ayah kirim.” Tanpa menunggu persetujuan Asad, sang ayah keluar dari kamarnya dan menutup pintu. “Lah, harus ketemuan juga.” Asad kembali mencari kenyamanan dengan memejamkan mata. Sampai ia terlelap dengan alam mimpinya.
Cerpen Karangan: Nasywa Nur Azizah Nasywa Nur Azizah. Anak pertama dari pasangan Widagdo, S.E. dan Anisyah. Tahun 2022 semester ganjil ini, sedang menempuh pendidikan di SMA UT Darul Fikri Arga Makmur, Bengkulu Utara yang menjadi rumah ternyamannya. Interaksi dapat melalui akun Instagram @nasy_a_31