“Aku juga ga tau kalau papa bakal ngenalin ke kamu,” ucap perempuan berambut panjang yang duduk di hadapan Asad. Ia ditemani temannya yang ternyata Asad kenal. “Fisya. Kamu tau niat ayah kamu menjodohkan, kita?” ucap Asad dengan hati-hati. Haruskah Sofya ada di sini. Lebih baik pembicaraannya hanya empat mata dengan Kafisya. “Tau kok. Dan sebenarnya nggak ada niatan untuk nerima …” ucap Fisya. “Dulu kamu buat aku kagum, Fisya. Empat tahun yang lalu.” Batin Asad. “Dan setelah tau ternyata dijodohin sama kamu yang aku kenal. Gimana baiknya aja, deh.” sambung Fisya. “Jadi nyamuk, nih. Astaghfirullah. Asad sama Fisya … Ya, mungkin cocok.” Sofya berucap dalam hati. Ia hanya menyimak perbincangan dua manusia itu sambil meminum boba rasa tiramisu, favoritnya. Fisya adalah teman SMA-nya yang merupakan langganan toko kuenya.
—
Ba’da Isya keluarga inti Asad duduk bersantai di sofa ruang keluarga. Sibuk dengan aktivitas masing-masing. Sampai akhirnya sang ratu di keluarga itu membuka pembicaraan.
“Ayah gimana, sih. Kok Asad dijodohin sama anak teman ayah. Ga ngasi tau Ibu dulu,” Ayah Asad tidak menyangka akan membuat kesal sang istri. “Asad juga udah bilang, tidak berminat. Ayah baru ngasi tau ketemuannya itu tadi malam. Maaf ya, sayang.” Ayah Asad tersenyum setelah kekesalan sang istri mereda. Sedangkan Asad geli sendiri mendengar panggilan sang ayah untuk ibunya.
“Kapan kamu mau menikah, Asad? Ibu udah tua, pengen juga gendong cucu,” ucap ibu Har. Asad menatap sang ibu, mengalihkan fokusnya dari laptop. “Belum ada calonnya, Bu.” Asad terpikirkan pertemuannya tadi siang. “Bu, lebih milih orang yang dulu ibu suka atau yang baru ibu suka?” tanya Asad. “Waktu Ibu main Facebook, ada kalimat yang lewat. Intinya, kita mungkin belum benar-benar menyukai orang yang pertama kita suka jika ada orang yang kedua kita suka. Artinya kamu lebih mencintai orang yang baru itu, sampai bisa mengalihkan dari yang pertama,” Penjelasan sang ibu membuatnya tersenyum tipis.
“Emang siapa sih orang yang baru kamu suka?” ucap sang ayah menggoda. “Insyaa Allah Asad mau shalat istikharah nanti malam. Kalau memang semua persiapan sudah siap, Asad ajak Ibu sama Ayah melamar ke rumahnya.” ucap Asad tanpa menjawab secara langsung pertanyaan sang ayah. Ibu Har tampak terkejut mendengar pernyataan Asad, namun kemudian ia tersenyum bangga dengan anak tunggalnya itu.
—
Bayangan tentang mimpinya tiga hari yang lalu masih terekam dengan jelas di pikiran. Apa maksud dari semua itu? Hanya ada langit biru yang bertuliskan nama Sofya dalam mimpinya. Kesibukannya membantu perusahaan sang Ayah sudah mereda. Ia berniat menemui Sofya sore nanti.
Tok! Tok! “Assalamualaikum,” ucap Asad sambil mengetuk pintu rumah itu. “Wa’alaikumussalam,” jawab Sofya berjalan menuju pintu sembari menggunakan jilbabnya. “Asad, ada apa? Duduk dulu sebentar ya aku ke dalam,” ucap Sofya. Setelah menggunakan kaos kakinya, ia bergegas keluar dengan air putih dan kue yang ia bawa. “Terima kasih maaf merepotkan,” Asad meminum air putih itu setelah dipersilakan oleh tuan rumah.
“Umur kamu udah 21 tahun, kan?” Tampak raut bertanya di wajah perempuan itu. Ia hanya mengangguk. “Kenapa?” Kalimat pembuka dari Asad membuatnya bertanya. “Bismillah,” ucap Asad terdengar lirih “Aku berniat melamar kamu. Mungkin ini terlalu cepat, tapi aku sudah berkali-kali menyakinkan diri sendiri,” ucapan Asad berhasil membuat Sofya terdiam. Ia ingin berpikir dengan baik. Tetap dengan pandangan lurus ke halaman rumahnya, Sofya menjawab pernyataan Asad.
“Menikah itu kenaikan level kehidupan. Aku pernah baca kalau setelah menikah, kita bukan lagi bertengkar dengan diri sendiri tapi dengan pasangan kita nanti. Juga perlu kesiapan mental, fisik, ilmu untuk menikah,” ucap Sofya berhenti sejenak. Sambil memainkan jarinya untuk mengurangi rasa gugup.
“Setelah Bunda aku pergi ke surga, Ayah kerja jauh dan ninggalin aku sama Nenek berdua di rumah ini. Nenek juga akhirnya pergi nyusul Bunda ketika aku kelas 12. Saat itu baru Ayah pulang lagi ke rumah setelah 3 tahun membawa keluarga barunya,” Sofya menarik nafas untuk tidak membiarkan air matanya jatuh. Dada Asad terasa sesak mendengar itu, tapi mengurungkan niatnya untuk berbicara.
“Mereka baik. Tapi aku lebih memilih sendiri di sini, tersenyum kuat menyakinkan Ayah bahwa aku baik-baik aja. Sebulan sekali atau pun saat lebaran tiba, Ayah mengunjungi rumah ini. Dua tahun bertahan, tahun ketiga hanya lewat panggilan suara,” Akhirnya air mata itu menetes. Dengan cepat Sofya menghapus itu. Asad beristighfar saat pikirannya ingin memeluk perempuan di sampingnya itu.
“Dan dua pekan waktu aku sibuk itu untuk mengumpulkan uang. Aku akan pergi meninggalkan rumah nyaman ini untuk sementara. Menjenguk ayah di Makassar dua hari lagi. Jakarta pasti akan sangat aku rindukan,” ucap Sofya dengan senyum tipisnya. “Hanya sebentar, kan?” tanya Asad mengharapkan pembenaran dari Sofya. “Tidak, Asad. Istri ayah meminta aku tinggal dalam waktu lama. Paling tidak sampai diabetes ayah membaik. Tiket sudah aku pesan. Toko sudah ada yang akan menjaga. Rencananya besok aku ingin bertemu Ibu,” ucap Sofya menghapus lagi air matanya. “Aku bisa menunggumu,” ucap Asad dengan tegas. Membuat senyuman tipis terbit di bibir perempuan itu. Ibu Har, tolong anaknya bawa pulang. Bikin baper, batin Sofya.
“Menunggu hal yang tidak pasti. Kembali sepeti biasa kamu menjalani hari, Asad. Bekerja, memanah, mengantar ibu, dan lainnya. Jika ada yang memikat hatimu, lamarlah dia. Aku akan mereda rasa ini,” Dahi Asad berkerut. Lalu menerbitkan senyuman. “Baiklah. Kita akan menjalani hari seperti biasa. Tapi aku harap do’a kita saling bertautan. Aku sangat senang menjadi pendengar ketika kamu bercerita. Dan terima kasih telah memiliki rasa yang sama.” Asad tertawa ringan di akhir ucapannya.
Sofya tersenyum bahagia sambil menatap mobil Asad yang kemudian menghilang. Namun ia merutuki perkataannya di akhir obrolan tadi, yang secara tersirat mengatakan tentang perasaannya.
—
Takdir hanya membuatnya mendapat titipan salam dari Sofya. Perempuan itu mendatangi rumahnya saat jam kerja.
“Asad, kapan jadinya mau ngelamar?” ucap sang ibu membuat hatinya sedikit sesak. “Kapan-kapan, Bu. Orangnya pergi jauh.” ucap Asad sambil berjalan menuju kamarnya. “Alhamdulillah. Semoga Sofya beneran jadi menantu Ibu.” ucap ibu Har berteriak. Membuat sang anak tersenyum sambil mengaminkan do’anya dalam hati.
Sofya Aleia. Tulisan itu tampak indah dengan warna tinta biru pada dinding impian di kamar Asad.
Cerpen Karangan: Nasywa Nur Azizah Nasywa Nur Azizah. Anak pertama dari pasangan Widagdo, S.E. dan Anisyah. Tahun 2022 semester ganjil ini, sedang menempuh pendidikan di SMA UT Darul Fikri Arga Makmur, Bengkulu Utara yang menjadi rumah ternyamannya. Interaksi dapat melalui akun Instagram @nasy_a_31