Sore itu, dengan penuh pertimbangan dan keteguhan hatinya—Windy—gadis yang kini tengah berkutat di semester lima perkuliahan itu kembali mengulang kalimat itu sebagai bukti bahwa niatnya sudah kuat dan dan tekadnya sudah bulat.
“Kakak mau lupain dia, Dek …” lirih Windy seusai salat ashar-nya. Salsa yang tidak mengerti apa-apa pun mengernyitkan dahi, “Maksudnya, Kak?”
Windy menarik napas dan menghembuskannya pelan, “Kakak … Kakak mau coba ikhlas se-ikhlas ikhlasnya mulai hari ini, Sal. Kakak akan belajar untuk nggak penasaran dan menunggu lagi,” tiba-tiba setetes buliran bening pun menetes ke atas mukena biru langit gadis itu.
“Orang yang dulu itu, Kak?” “Iya.”
“Hm … Syukurlah kalau kakak sudah mulai untuk mengikhlaskannya. Karna nggak baik juga kalau lama-lama kakak simpan, ntar jadi penyakit, Kak.”
Salsa yang sedari tadi duduk di ruang keluarga pun memilih untuk menghampiri kakaknya itu. Ia tahu betul bagaimana perasaan kakaknya saat ini. Bagaimana ia berjuang melawan hati dan akal sehatnya. Berjuang selama kurang lebih tujuh tahun lamanya mencintai seseorang yang bahkan belum pernah ia temui.
“Kak? Kalau boleh tau, kenapa kakak bisa sesayang itu, sih sama dia? Padahal, kan kakak belum pernah ketemu dia sekalipun,” tanya Salsa polos. Memaksa Windy untuk kembali mengupas lukanya. “Singkat saja, karna dia adalah rumah di saat kakak membutuhkan tempat pulang,” gadis itu mulai menerawang kembali sisa-sisa ingatan tentang sosok ‘rumah’ yang ia maksud. “Apa bisa sampai senyaman itu?” tanya Salsa malah semakin kepo. Windy tersenyum, “Nyatanya iya, waktu itu.”
—
Keesokan harinya … Windy yang akhir-akhir ini sedang aktif di media sosial berwarna birunya, selalu menyempatkan waktu untuk mengecek notifikasi permintaan pertemanan untuk dirinya. Namun, ternyata pagi ini ada sebuah notifikasi yang membuatnya bergeming seketika.
“Dia … Kembali,” seru Windy dalam batinnya.
Tubuhnya menegang, tangannya mengepal, dan tetes demi tetes air mata pun tidak terelakkan lagi. Kini gadis malang itu tengah menangis di dalam diam seperti yang sering ia lakukan sejak dulu. Ya! Tentunya ia sangat ahli di bidang itu dari beberapa tahun lalu.
Sebuah notifikasi permintaan pertemanan dengan username yang begitu familiar—nama yang sudah lama tidak lagi ter-eja oleh matanya—Deris Prayoga, itulah nama yang kini tertera di layar ponsel gadis itu. Hari itu, hanya ada satu notifikasi permintaan pertemanan, dan itulah orangnya.
Windy menggerakkan jarinya untuk membuka akun pemuda itu. Berharap, itu hanya halusinasinya dan itu adalah orang lain. Namun, sialnya itu adalah orang yang sama. Ya! Dia adalah pria yang sama yang selama tujuh tahun ini merajai hati Windy. Walau tidak memiliki foto profil, tapi semua yang tertera di akun milik pemuda itu sudah cukup meyakinkannya bahwa ‘dia’ telah kembali.
Tiga hari lamanya Windy mengabaikan permintaan pertemanan itu. Hati dan logikanya sedang berperang secara sengit hingga akhirnya ia memutuskan untuk membawa perkara itu ke hadapan hakim yang paling adil.
Di sana ia tumpahkan segala rasa yang telah membuncah sejak kembali hadirnya tokoh lama itu. Dan, setelah itu … Sebuah keputusan pun ia peroleh. Segera saja Windy meraih ponselnya, dan mengetikkan sebuah postingan pesan kalbu—yang semoga saja tersampaikan pada seseorang yang ditujunya.
Kamis, 18 Agustus 2022. Saat nama yang telah lama tak ter-eja kembali kubaca tanpa sengaja. Nama, yang dengannya jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Nama, yang karenanya kembali mengingatkanku pada luka yang sehari lalu akan benar-benar kuikhlaskan. Nama, yang kembali berusaha menarikku dalam gelapnya lautan nestapa cinta.
Ia pernah menjadi tawaku. Ia juga pernah menjadi tangisku. Sampai kemarin, aku masih berpikir bahwa ‘kamu’ adalah sebuah ‘kisah yang belum usai’. Namun, aku ingin segera menutup buku biru itu tanpa ingin membukanya lagi. Karena itu aku segera menulis kata ‘selesai’ di dalamnya.
Kamu tau? Aku bukan lagi gadis yang sama saat dulu aku memberikan seluruh hatiku padamu. Kini hati itu telah mati, dan tak tersisa lagi untuk siapapun bahkan diriku sendiri.
Kamu tau? Bagaimana prosesku agar tetap bernapas dan berpijak di bumi sampai saat ini? Bagaimana air mataku mengering dengan sendirinya? Siapa yang tetap ada disaat jiwa dan ragaku ingin berpisah? Ah! Sungguh ironis, bukan?
Tuhan, terima kasih karena tetap tinggal disaat semuanya beranjak pergi. Cinta yang Engkau berikan padaku, membuatku sadar betapa miskinnya makhluk-Mu terhadap rasa yang suci itu.
Tuhan, terima kasih karena sudah menggenggam erat tanganku. Bahkan disaat tersulit dalam hidupku, Engkau tetap meyakinkanku dengan, “fa inna ma’al-‘usri yusroo, inna ma’al-‘usri yusroo”-Mu. Itulah janji nyata yang kuterima disaat seseorang pernah menebar janji dalam kemunafikan.
Untuk seorang manusia ciptaan Tuhan yang di sana …. Jangan kembali jika hanya ingin menabur luka. Jangan kembali jika hanya berperan sebagai embun. Jangan kembali jika kebenarannya tak kamu miliki. Jangan kembali jika hanya untuk berpaling. Jangan kembali jika hanya sekedar ingin menyambung drama lama yang belum usai.
Aku lelah …. Sebaiknya carilah pemeran utama yang baru untuk naskah ini.
Akhirnya selesai sudah ungkapan kalbu itu, dan kini telah bertengger di beranda media sosial milik gadis itu. Hancur? Tentu! Itulah yang kini dirasakan oleh Windy. Namun, semua itu ia tahan demi janji yang telah ia buat dengan Rabb-nya.
—
Hari berikutnya … Rasa penasaran itu masih ada, membuat jari-jemari milik Windy kembali membuka bar notifikasi pada aplikasi biru itu, dan … Hilang. Nama yang selama tiga hari ini menetap di sana tiba-tiba saja lenyap tak berjejak. Sakit, sangat sakit. Air mata itu kembali menetes tanpa permisi sedikitpun. Namun, nalarnya tetap berjalan. Merasa pesan itu sudah tersampaikan, Windy pun menghapus postingannya itu.
Ting! Sebuah pesan singkat masuk, dan ternyata itu dari sahabatnya, Lala.
“Win, kamu udah tau belum? Masa lalu kamu balik lagi lho!” “Maaf, masa lalu yang mana, ya, La?” “Heh?! Seriusan kamu lupa? Perlu aku sebutin namanya, Win?!” “Udahlah, La. Semua itu udah berlalu. Namanya juga masa lalu, kan? Berarti cukup kita simpen di memori. Sekarang itu, harusnya kita fokus sama hidup kita kedepannya.” “Kamu yakin, Win? Ntar nyesel, lho!” “Udah, ah, La. Males aku chatting-an sama kamu jadinya.”
Seketika ponsel itu pun ia letakkan asal di kasurnya. Ia tahu, ia telah berbohong pada sahabatnya itu. Lebih dari itu, ia juga tahu bahwa dirinya pun sudah ia bohongi. Kejam memang. Tapi jika itu lebih baik, maka akan ia lakukan.
Malam pun tiba, dan perasaan Windy masih belum juga tenang. Seperti ada yang mengganjal di hatinya yang ingin segera ia salurkan, namun tidak bisa. Perlahan ia raih ponselnya dan kembali mencari nama seseorang pada aplikasi biru itu lagi—nama seseorang yang menghilang pada bar notifikasi tadi pagi—Deris Prayoga.
Deg! Butiran-butiran air mata pun kembali jatuh tanpa permisi dari kedua pelupuk mata gadis itu. Pemandangan yang sudah lama tak ia lihat kembali ia saksikan ‘lagi’ sekarang. Ya! Tiba-tiba saja akun yang sedang ia pandang itu menampilkan foto profil dari sosok yang beberapa tahun ini masih ia pandangi fotonya—sosok yang sangat familiar.
“Ternyata ini beneran kamu, ya, Ris?” lirih Windy berurai air mata.
“Kamu masih sama, ya? Sehat-sehat terus, Ris. Maaf, karna rasa ini telah kutitipkan pada Yang Maha Pemilik Hati. Jujur, aku masih sangat menyanyangi kamu, tapi … Aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu lagi.”
“Terima kasih sudah menepati janji untuk kembali, sekarang aku hanya ingin ikhlas dan menyerahkan segalanya pada Tuhan. Biarlah Dia yang mengatur segalanya. Jika kamu memang untukku, maka sejauh apapun jarak membentang, Tuhan akan menyatukannya.” lirih Windy mengakhiri monolognya.
Cerpen Karangan: Secret Someone Blog / Facebook: Author Dee Aku menulis agar aku bisa menyampaikan apa yang tidak bisa kuucapkan. Semoga tersampaikan. ~do