Part 6 Surat Pertama Akhirnyaaa…. Ospek kami selesai juga hari ini, kami semua juga sudah menyelesaikan rangkuman yang kemarin di tugaskan sebagai bentuk serta bukti kami telah mengikuti ospek. Hari ini aku hanya bersama Dara ke kampus untuk menyerahkan tugas rangkuman itu, sebab Aisyah sedang sakit kelihatannya sih dia sedikit kelelahan karena ospek kemarin. Aku dan Dara cepat-cepat mengumpulkan tugas dan bergegas kembali ke asrama, kami khawatir dengan keadaan Aisyah yang sendirian di asrama, teman kami yang di sebelah kamar juga lagi ke kampus. Setelah aku dan Dara sampai di asrama dan melihat keadaan Aisyah ternyata Aisyah sudah terlihat baik-baik saja tapi masih sedikit lemas sih. Aku teringat bahwa persediaan makanan kami bertiga hampir habis, aku berniat untuk membeli lagi di minimarket, sedangkan Dara aku minta untuk menjaga Aisyah. Saat di minimarket lumayan ramai sih pembelinya sampai-sampai mbak Salma kelihatan kwalahan sekali. “Assalamualaikum mbak, Wardah bantu boleh?” aku menawarkan diri untuk membantunya, “MasyaAllah, Wardah kebetulan mbak lagi butuh bantuan nih, Maysitah (karyawan mbak Salma) lagi gak masuk hari ini, Mas Harun (Suaminya) juga lagi di panggil ustad Farhan.” jawab mbak Salma. Aku pun dengan senang hati membantu mbak Salma. Sampai akhirnya pembeli berhasil kami layani semuanya. “Wardah tumben belanja sendirian, Dara sama Aisyah mana?” Tanya mbak Salma. Kemuadian aku menjawab “Aisyah lagi sakit mbak, Dara aku minta buat jagain Aisyah”. “oo gitu semoga Aisyah cepet sembuh ya,salam nanti buat Dara dan Aisyah” Ucap mbak Salma.
Tak lama kemudian, mas Harun suami dari mbak Salma datang “Assalamualaikum”. “Waalaikumussalam” jawabku dan mbak Salma bersamaan. “ooo jadi ini wanita bercadar yang di maksud ikhwan tadi” ucap mas Harun sambil melihatku. “hah? saya mas? ikhwan? memangnya ada apa mas?” jawabku dengan penuh penasaran. “Iya bi, abi bikin Wardah penasaran tuh,aku juga sih, ada apa sih bi?” tambah mbak Salma yang juga penasaran. Kemudian mas Harun menjawab sambil menyodorkan sebuah surat padaku, “Ini buat kamu katanya, tadi di depan mas Harun ketemu seorang ikhwan sepertinya juga mahasiswa baru soalnya mas gak pernah kelihatan, dia menitipkan surat ini untuk wanita yang katanya bercadar maroon di dalam minimarket ini. Mas pikir wanita bercadar itu istri kesayangan mas ini, untung aja lagi pake cadar item” ucap mas Harun pamer kemesraan dengan mbak Salma. “mulai deh mesra-mesraan di depan anak kecil” ucapku jengkel. Aku pun membaca isi suratnya. Saat aku mau membuka isi suratnya, tiba-tiba Dara datang, “Assalamualaikum, Wardah di tungguin lama banget si Aisyah nungguin titipannya tuh” ucap Dara ngomel-ngomel. “Waalaikumussalam” jawab ku bersamaan dengan mas Harun & mbak Salma. “Astagfirullah, maaf Dar tadi aku bantuin mbak Salma dulu hehe, yaudah yuk pulang” tambahku. “Kita pamit ya mbak mas Assalamualaikum” aku dan Dara berpamitan. “Waalaikumussalam” jawab mas Harun dan mbak Salma bersamaan sambil menggelengkan kepala melihat tingkah kami.
Sesampainya di asrama, sesuai dugaanku Aisyah pasti ngomel-ngomel. “Wardah kamu lama banget sih, aku udah laper tau, aku lagi sakit kamu malah gatau kemana ih” ocehnya. “Maaf Aisyah kuuuu, tadi di minimarket rame banget dan mbak Salma lagi sendirian, jadi aku bantuin deh” jawabku. Sedikit demi sedikit omelannya mereda juga. Yah begitulah tuan putri dari Blitar ini.
Part 7 Biar Takdir yang Membawaku Menemuimu Keesokan harinya, kami di beri waktu istirahat setelah ospek selama 2 hari. Kemudian aku, Dara dan Aisyah ingin memanfaatkan libur kuliah ini untuk menghafal Al-Qur’an di pesantren. Kami duduk di taman pesantren sambil menghafal Al-Qur’an kami masing-masing. Tidak terasa hari sudah sore dan kami putuskan untuk kembali ke asrama. Setelah sampai asrama kami pun membersihkan diri dan bersiap ke masjid untuk sholat magrib berjama’ah. Aku dan Dara masih menunggu Aisyah yang sedang mandi, ya kami mandi harus bergantian, sebab kamar mandinya hanya satu. Saat aku mengambil sajadah di dalam lemari, ada sebuah kertas jatuh. Ternyata kertas itu adalah surat yang kemarin belum sempat aku baca. Aku pun segera membukanya. Aku sedikit terkejut dengan isi suratnya.
Assalamualaikum gadis baik. Tak sengaja aku mendengar namamu, Wardah kan? Maafkan aku, aku tidak berniat apa-apa di dalam surat ini. Aku juga tidak sengaja melihatmu di minimarket kemarin, ntah mataku tertuju pada wanita bercadar maroon yang tengah sibuk membantu kasir minimarket. Aku tau kau ini bukan karyawan di sana kan? Pasti kau akan sedikit terkejut melihat surat ini. Maaf jika secara tiba-tiba kedatanganku lewat surat yang kau pegang sekarang. Sungguh aku tak berniat apa-apa. Aku hanya ingin mengenalmu. Namun, Biarkan takdir yang membawaku menemuimu. ~ A
A? Siapa dia? Astagfirullah aku jadi memikirkannya. Tidak, ini tidak benar. Kata-katanya mampu membuat hati dan pikiranku beradu keinginan. Hati ingin rapat-rapat tertutup. Namun pikiran terus-menerus bertanya siapa dirinya. Ya Tuhan tolong tetap jaga hatiku dan imanku. “Woyy” suara Dara mengagetkan ku. “Ya Allah, Dara ngagetin aja sih kamu” kesalku. “Lagian bengong sendirian, ayokk ke masjid Aisyah udah di luar tuh” jawab Dara. Aku segera beranjak dari tempat lamunanku tadi dan segera menyusul langkah Dara.
Sepulang dari masjid, pikiran ku coba untuk tenang, aku berusaha untuk tidak sama sekali memikirkan surat itu. Aku hanya takut itu semua muslihat setan yang ingin meruntuhkan imanku, kemudian menggagalkan hijrahku lagi. Bahkan mungkin akan mendatangkan masalah besar di kehidupanku. Jujur saja kata-kata “Biarkan takdir yang membawaku menemuimu” terus terngiang-ngiang dalam telingaku. Tapi sekuat mungkin aku tepis agar tak mengganggu kehidupanku kedepannya.
Part 8 Terimakasih Ustadzah Maryam Seminggu terlewati setelah aku mendapat surat itu, anehnya aku tetap merasa terganggu dengan perasaan ku sendiri. Setelah berfikir semalaman, esok paginya aku berniat untuk berkunjung ke rumah ustadzah Maryam. Ustadzah Maryam ini adalah salah satu orang yang sangat aku percaya selama di pesantren. Aku memang belum lama disini, tapi ntah kenapa aku sudah banyak mengenal orang bahkan sangat aku percaya.
Hari yang aku tunggu semalam akhirnya tiba, selesai dari kampus aku segera mengunjungi rumah ustadzah Maryam. “Assalamualaikum” ucapku melihat pintu rumah ustadzah terbuka. “Waalaikumussalam” jawab seseorang yang berada di dalam rumah ustadzah, dan ternyata itu adalah mbok Isa. Mbok Isa ini adalah pembantu rumah tangganya ustadzah Maryam yang sudah bertahun-tahun bekerja. Bahkan mbok Isa ini sudah seperti keluarga sendiri disini. “eh neng Wardah, sendirian aja?” tanya mbok Isa padaku. “Iya mbok Wardah sendirian, yang lain lagi di asrama” jawabku, “Yasudah ayo masuk,mau bertemu ustadzah ya? sebentar mbok panggilkan” tebakan mbok Isa memang selalu benar. Tak lama kemudian, Ustadzah Maryam keluar.
“Eh ada Wardah” sapa ustadzah padaku. “emm iya ustadzah, Assalamualaikum” jawabku. “Waalaikumussalam,ada apa nih?” balas ustadzah. Aku masih terdiam sejenak bersiap untuk mengatakan niatku. “Wardah,kenapa?” ustadzah menyadarkan lamunanku. Aku pun sedikit kaget, “ee ustadzah sebelumnya Wardah minta maaf sudah menggangu ustadzah” ucapku. “hmm kamu ini kayak sama siapa aja, ada apa ? coba ceritakan pelan-pelan,siapa tau ustadzah bisa bantu” balas ustadzah dengan ramah. Pelan-pelan aku mulai menceritakan maksud dari kedatanganku. “Ustadzah, sebenarnya seminggu yang lalu Wardah mendapat sebuah surat dari seorang ikhwan, Wardah juga tidak tau dia siapa, wajahnya pun Wardah tidak tau sebab surat itu di titipkan pada mas Harun” begitu kira-kira penjelasan pertamaku. “Harun suaminya Salma?” tanya ustadzah. “iya ustadzah suaminya mbak Salma, lalu dengan adanya surat ini sebenernya Wardah takut ustadzah” ucapku. “takut kenapa Wardah?apa isi suratnya mengancam?” balas ustadzah. Kemudian aku ambil surat itu dari dalam buku yang aku bawa, “ini ustadzah baca sendiri” ucapku sambil menyerahkan surat itu. Ustadzah pun membaca surat itu pelan-pelan, setelah selesai membacanya ustadzah sedikit kaget “Astagfirullah,terus kamu maunya gimana sekarang Wardah?” tanya ustadzah padaku. “Ustadzah kedatangan Wardah kesini ituuuuu… jika ustadzah tidak keberatan, Wardah ingin surat itu ustadzah saja yang pegang, Wardah takut jika memegangnya akan timbul masalah-masalah yang tidak Wardah inginkan atau bahkan mengganggu Wardah” ucapku. “eemm begitu, baiklah ustadzah akan membantumu menyimpan surat ini, tapi sebelumnya ustadzah boleh beri tau ustad Farhan juga perihal ini?” tanya ustadzah. “na’am ustadzah tafadholly. Wardah juga senang jika ustad Farhan ikut membantu Wardah” jawabku. Setelah itu aku pamit pulang pada ustadzah. Lega rasanya aku sudah tidak memegang surat itu lagi. Setidaknya surat itu sudah berada di tempat yang aman dan aku percaya.
Part 9 Pertemuan Pertama Ternyata hidup di lingkungan pesantren seperti ini tak seberat yang aku bayangkan. Jika di jalani karena Allah, memang terasa mudah menghadapinya. Bahkan sampai tidak terasa sudah 2 bulan aku menetap di lingkungan ini. Hari ini aku ada kelas Bahasa Arab, aku ke kampus bersama dengan Aisyah dan Dara seperti biasa. Saat kami berjalan menuju kelas, tiba-tiba “gubraaaakkk” ada yang menabrakku dari belakang, kebetulan posisiku saat itu berjalan di sebelah kanan Aisyah dan Dara. “aduhh maaf ukhty, ana buru-buru sampai tidak melihat kalau ada orang” ucap seorang ikhwan yang menabrakku dan sejenak ia menatapku sangat aneh,seperti melihat sesuatu yang selama ini dia cari. Aku mengalihkan pandanganku, bahkan tak ingin sedetik saja melihat wajahnya dan menarik Aisyah serta Dara pergi meninggalkan ikhwan itu “oh ya tidak apa-apa” jawabku lalu pergi.
Sesampainya di kelas “wahh cowok tadi itu siapa yaa, ngeliatin Wardah ampe segitunya” ucap Aisyah. “Dia itu salah satu vokalis grup hadrah yang terkenal di kota ini, namanya …” ucap Dara belum sempat selesai, terpotong olehku “sudah, ngapain bahas orang yang bukan mahram kita” ucapku. Tak lama kemudian dosen pengajar Bahasa Arab kami datang. Kami semua lanjut mengikuti kelas Bahasa Arab seperti biasa, selang beberapa jam akhirnya kelas kami selesai. Aku, Aisyah dan Dara biasa pergi ke kantin kampus untuk makan setelah ada kelas. Di tengah kami berjalan ke kantin, ada yang memanggilku “Wardah” setelah aku menoleh ternyata itu ustad Farhan (suami ustadzah Maryam). Aku segera menghampirinya, kemudian menyuruh Aisyah dan Dara duluan ke kantin. “Assalamualaikum ustad, ada apa memanggil Wardah?” tanyaku. “Waalaikumussalam, itu ustadzah Maryam khawatir kamu masih di ganggu sama surat-surat seperti 2 bulan yang lalu itu, gimana? masih ada surat yang datang?” balas ustad Farhan. “Alhamdulillah ustad, sudah tidak ada lagi. Ustadzah Maryam terlalu mengkhawatirkan Wardah. Ya sudah kalau nanti ada waktu Wardah sempatkan menemui ustadzah Maryam ustad” jawabku. “Iya sebaiknya temui saja ustadzahmu itu” balas ustad Farhan. “Yasudah ustad, kalau tidak ada hal lain lagi, Wardah pamit” pamitku pada ustad Farhan. “Oh iya sudah, Ustad juga masih ada urusan” jawabnya. “Assalamualaikum ustad” ucapku. “waalaikumussalam” jawab ustad Farhan.
Aku pun segera menyusul Aisyah dan Dara. Sesampainya disana aku langsung mengambil makanan dan duduk bersama Aisyah dan Dara. Tiba-tiba Aisyah memunculkan gerak-gerik dan kata-kata puitisnya. “Aduhh meleleh rasanya ditatap begitu dalam, sejak pertemuan pertama laluuu ah aku tidak sanggup meneruskan bait-bait indahnya” ucap Aisyah. Aku hanya menatap Aisyah dengan aneh, sementara Dara tetap melanjutkan makannya. “Dia kenapa Dar?” tanyaku pada Dara. “Dia lagi menggambarkan sesuatu War” jawab Dara. “Menggambarkan apa?” balasku. “Kamu ga nyadar tadi pas ambil makan di samping mu ada santri yang tadi pagi nabrak kamu, dia ngeliatin kamu war” jawab Dara. “oh gitu” balasku. “What??? oh gitu doang???” Ucap Aisyah dengan nada sedikit tinggi. “Kamu mah kayak ga tau si Wardah aja Syah., Dia mah emang dingin banget kalau lagi bahas ikhwan” tambah Dara. “Aku sudah selesai makan, aku mau muroja’ah dulu di masjid dan setelah itu aku mau menemui ustadzah Maryam. Kalian mau disini?” balasku cuek. “Hadeeeeehhhh” keluh Aisyah sambil memutar bola matanya.
Sebenarnya aku juga suka penasaran kalau sahabat-sahabatku ini bicara soal ikhwan. Tapi sesuai niatku datang ke pesantren ini, aku tidak ingin merusak imanku lagi hanya karena mengikuti ajakan setan. Perasaan wanita itu sangat rawan, sangat mudah terbawa perasaan. Ah Naudzubillah.
Cerpen Karangan: Widiya Ratnasari Blog / Facebook: wdyrtnsr.blogspot.com / Widiya R Nama saya Widiya Ratnasari, salah satu mahasiswi kesehatan di salah satu universitas di Jawa Timur. Saat menulis cerpen ini saya masih berusia 17 Tahun, dan saat ini saya sudah berusia 19 tahun. Saya terlahir di kota Bondowoso tepatnya pada tanggal 19 Juni 2003. Saya suka menulis cerita, apalagi waktu perasaan saya lagi galau, pasti muncul ide-ide untuk menulis apa saja, mulai dari quote, puisi, cerpen dsb.