Part 10 Ilal Liqo’ 1 Tahun Kemudian. Hari ini aku baru saja menyelesaikan praktik kerja merawat pasien diabetes. Melelahkan sekali, kemudian aku putuskan untuk membeli minum di kantin kampus. Setelah aku membeli minum, aku berniat kembali ke laboratorium untuk melanjutkan praktik pemeriksaan darah. Setengah berjalan, “Wardah” ada yang memanggilku seperti suara ustadzah Maryam, ketika aku menoleh ternyata benar itu ustadzah Maryam. Dia tidak sendirian, ia bersama seorang laki-laki muda yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
“Assalamualaikum ustadzah” ucapku. “Waalaikumussalam, sini duduk sebentar” jawab ustadzah. Aku putuskan untuk duduk sejenak disana. “o ya perkenalkan ini Adam, keponakan ustadzah baru lulus kuliah Bahasa Arab di Kairo” ucap ustadzah. “Wardah” Aku menundukkan wajah sebagai tanda aku memperkenalkan diri. “saya Adam” balasnya. Tanpa berlama-lama, aku segera pamit pada ustadzah dan Kak Adam, soalnya masih ada praktik pemeriksaan darah sebentar lagi.
MasyaAllah, wajahnya yang cukup tampan,berwibawa, lulusan Universitas Al-Azhar lagi. Universitas idamanku banget. Sejak saat pertama aku bertemu Kak Adam, rasanya aku sangat mengagumi sosok dirinya yang tegas, cerdas, bertanggung jawab, berwibawa hm lengkap deh. Astagfirullah Wardah apa-apaan aku ini. Begitu saja sudah baper. Ini alasanku tidak ingin mengenal laki-laki selain guru/dosen disini, aku terlalu mudah terbawa perasaan.
Keesokan harinya aku hendak pergi ke toilet pesantren untuk mengambil barang yang tertinggal kemarin saat aku ambil wudhu, tapi ternyata barangku sudah hilang. Untung saja bukan barang yang sangat penting sih, cuma buku kosong yang baru aku beli untuk menulis daftar hafalanku.
Sepulang dari toilet aku bertemu Kak Adam, ia seperti orang sedang kebingungan sendiri. Aku berusaha untuk pura-pura tidak melihatnya, agar aku tidak sempat berkomunikasi dengannya yang hanya bisa membuatku kembali merasakan hal aneh seperti kemarin. Tapi usahaku gagal, Kak Adam melihatku bahkan memanggilku. “ee Wardah tunggu sebentar” panggilnya, “eemm iya kak ada apa?” jawabku. “begini aku disuruh bibi untuk mencari paman Farhan di gedung 3, tapi aku tidak tau gedung 3 itu yang mana. kalo kamu gak keberatan bisa antar Kak Adam kesana?” ucapnya. Aku tertegun mendengar permintaannya, itu artinya aku harus mengantarnya ke gedung 3 yang jaraknya lumayan jauh jika jalan kaki, tapi aku tidak tau harus beralasan apa untuk menolaknya, melihat wajahnya kebingungan saja aku tidak tega. “Baiklah, mari Wardah antar Kak” jawabku dengan terpaksa. Aku pun mengantar Kak Adam ke gedung 3. Tak lama kemudian kami sampai di gedung 3, “sudah sampai kak, biasanya ustad Farhan di ruangan itu kak” ucapku sambil menunjuk ruang dosen. “oh iya, terimakasih banyak ya Wardah, Afwan Kak Adam merepotkanmu” jawabnya. Aku hanya membalas dengan mengangguk saja, lalu segera pergi dari hadapannya “Wardah pamit kak, Assalamualaikum” ucapku. “Waalaikumussalam” jawab Kak Adam. Saat aku melangkah pergi tiba-tiba Kak Adam menghentikan langkahku dengan kata-katanya “Wardah” akupun menoleh “ilal liqo’ (sampai jumpa)” kata kak Adam. Aku hanya terdiam lalu cepat-cepat pergi dari tempat itu. “ilal liqo’ ” selalu terngiang-ngiang di telingaku sepanjang perjalananku kembali ke asrama. Apa maksudnya Kak Adam berucap seperti itu, Ampunnnn lagi-lagi Kak Adam ini membuatku frustasi.
Part 11 Maaf, Aku Menjauh Sejak saat itu, aku dan Kak Adam seperti lebih dekat. Segala hal hampir selalu di lakukan bersama. Sebab dia masih baru dipesantren, aku banyak membantunya dalam melakukan berbagai urusan miliknya. Sampai pada hari dimana sudah 1 bulan aku menemaninya, aku tersadar bahwa ini sudah tidak benar. Karena sikapnya yang begitu menyerupai pria idamanku, aku jadi hampir lupa pada prinsipku bahkan janji ku untuk tidak berhubungan dekat dengan seorang laki-laki walaupun hanya sebatas kakak dan adik. Saat itu aku sadar, sebaiknya perlahan aku harus benar-benar menjauhinya. Lagi pula dalam waktu 1 bulan, kukira ia sudah cukup mengenal pesantren ini, dan aku yakin ia sudah tidak memerlukan bantuanku.
Hari itu aku dan Dara sedang berjalan di koridor kampus hendak pulang ke asrama. Tiba-tiba ada yang menghentikan langkahku dan Dara. “ee Wardah, Dara” ucapnya, ternyata ia adalah Kak Adam. Aku menarik tangan Dara, namun dihentikan olehnya. “ee Wardah kak Adam ingin bertanya sesuatu” ucap kak Adam. Aku terdiam sejenak dan segera mengalihkan pembicaraan “Maaf kak Adam, Wardah dan Dara sedang buru-buru, Assalamualaikum” balasku kemudian langsung pergi dari hadapannya. “Wardah,kamu kenapa? biasanya semangat banget kalo di panggil kak Adam” tanya Dara padaku di jalan. “Udahlah Dar, aku sudah memikirkannya dengan matang-matang” ucapku. “memikirkannya? apa maksudmu?” tanya Dara kembali. “Ya, aku rasa kak Adam dan aku sudah terlalu dekat, aku fikir itu terlalu bahaya bagi perasaanku, lagi pula aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak dekat dengan lelaki manapun sebelum akhirnya nanti aku menikah” balasku.
Keesokan harinya, aku tinggal di asrama sendirian. Aisyah dan Dara sedang ke toko buku membeli sedikit kebutuhan kampus. Tak lama kemudian, Aisyah dan Dara kembali. “Assalamualaikum Wardahhhhh” ucapnya bersamaan dengan heboh sekali. “Waalaikumsalam sahabat surgakuuu” jawabku dengan sayu. Setelah itu mereka meletakkan barang-barang yang sudah mereka beli,selang beberapa menit Dara memberikan sebuah undangan pernikahan padaku. “nih war buat kamu” katanya. Aku dengan pelan mengambil dari tangan Dara, “Dari siapa nih? siapa yang nikah?” tanyaku penasaran. “liat aja sendiri” jawab Dara. Saat aku melihat nama di undangan itu, yang tertera adalah Adam & Dinda. Aku benar-benar kaget membacanya, aku hanya bisa terdiam dan melihat pada Aisyah juga Dara. Kemudian Dara mulai membuka suara, “Jadi, kemarin kak Adam itu manggil kamu buat ngasih undangan itu war, tapi kamunya malah pergi gitu aja kan” ucapnya. Aku senang kemarin bisa menghindari kak Adam, setidaknya aku tidak menerima undangannya secara langsung, agar kak Adam tak melihat ekspresiku pertama kalinya menerima undangan pernikahan dari seseorang yang jujur aku kagumi. Aku juga senang, aku belum terlalu masuk dalam mengikuti perasaanku terhadap kak Adam, alhasil rasanya tidak terlalu kecewa melihatnya saat ini sudah dimiliki orang lain.
Aku juga tersadar bahwa Menjauhinya Memanglah Keputusan yang Paling Tepat. Dan aku telah berhasil menyelamatkan hatiku. Kak Adam sudah menemukan pendamping hidupnya, dan aku akan meneruskan kisahku di pesantren ini.
Part 12 Berhati-hatilah dengan Hati Hari ini adalah hari pernikahan kak Adam. Aku, Aisyah dan Dara juga di undang. Kami di undang karena kami cukup dekat dengan keluarga ustadzah Maryam. Sampai di tempat resepsinya, aku menghembuskan nafas pelan sembari mempersiapkan diriku. Setelah itu kami masuk dan bertemu ustadzah Maryam, “eh Wardah dan kawan-kawan nih, terimakasih ya sudah datang” sambut ustadzah Maryam. “iya ustadzah kami juga berterimakasih sudah di undang di pernikahan kak Adam” balasku. Tak lama kemudian kami menikmati hidangan yang ada disana dan memberikan ucapan selamat pada pengantinnya alias kak Adam dan istrinya. “Kak Adam selamat ya” ucap Aisyah. “Kak Adam selamat ya semoga bahagia” ucap Dara dan yang terakhir giliranku “Selamat ya kak, semoga jadi keluarga yang sakinah,mawaddah dan warohmah” ucapku. “terimakasih yaa kalian sudah datang” balas kak Adam. Setelah itu kami lanjut menikmati hidangan disana.
Rasanya melihat kak Adam menikah itu senang dan sedikit sedih. Senang sebab aku tidak perlu mencemaskannya lagi yang sering memanggilku untuk suatu urusan yang membuat kami selalu dekat. Sedih juga sebab pria idaman yang kukagumi sudah dimiliki orang lain. Tapi aku bersyukur rasa sedih itu bisa tertimbun dengan rasa bahagiaku. Itu lah pentingnya tidak berharap pada manusia, Saat kita di hadapkan oleh sesuatu yang akan membawa kecewa, kita tidak akan merasakan kecewa tersebut terlalu dalam. Ya ini pesanku untuk kalian “jangan berharap pada manusia jika tidak ingin merasakan kekecewaan yang amat mendalam”.
Setelah kejadian ini, aku cukup bahagia menjalani kehidupanku di pesantren. Tidak lagi melangkah salah seperti dulu saat bersama kak Adam. Memang sih, aku dan Kak Adam tidak ada hubungan apa-apa. Hanya saja, jika saat itu aku tidak sadar dan tetap dekat dengan kak Adam walaupun hanya sebatas Kakak dan adik, Mungkin aku akan menangis menikmati rasa kecewa. Jadi, berhati-hatilah dengan hati. Agar kita dijauhi dari segala hal yang dapat menghancurkan diri sendiri.
Part 13 Berjuang dengan Hal yang Menyenangkan 3 Tahun Kemudian. Hari-hari ku di pesantren ini begitu menakjubkan. Mulai suka hingga duka aku lewati dengan penuh keikhlasan. Bahagia rasanya bisa melewati ini semua. 2 Tahun lagi aku akan lulus kuliah dan pergi meninggalkan pesantren ini untuk kehidupanku yang selanjutnya. Akhir-akhir ini aku sibuk sekali dengan praktik, yang aku persiapkan untuk kegiatan 1 tahun terakhirku nanti. Saking sibuknya aku, Aisyah, Dara dan teman-teman yang lainnya suka lembur di kampus. Ini melelahkan sekali, tapi aku senang melakukannya. Itu tandanya perjuanganku berada di titik yang tepat bukan?.
2 minggu setelah banyak kesibukan aku jalani, aku, Aisyah, Dara dan beberapa yang lainnya ditugaskan untuk membuat sebuah acara. Acara ini di adakan selain untuk kegiatan pesantren juga sebagai hiburan untuk para mahasiswa yang sudah berjuang dalam perkuliahannya. Aku dan teman-teman yang di pilih menjadi panitia acara ini sepakat untuk membuat acara shalawat bersama dan mengundang majelis shalawat yang cukup terkenal di kota ini. Di acara ini aku bertugas sebagai wakil ketua pelaksana, ketua pelaksananya sendiri adalah Kak Zidan dari Fakultas Agama Islam. Aisyah sebagai sekretaris dan Dara sebagai humas. Teman-teman lainnya juga ada yang menjadi bendahara, keamanan, sarana dan prasarana dsb. Kami mempersiapkan acara ini sekitar 3 minggu sebelum acara dimulai.
Singkat cerita, acara ini akan dimulai besok pagi hingga malam hari. Sebenarnya puncaknya adalah di malam hari. Pagi hingga sore kami anggap acara sudah mulai karena kami ingin acaranya berjalan dengan lancar. Panitia semuanya sudah menyiapkan semaksimal mungkin. Aku cukup bahagia dengan acara ini, sebab majelis shalawat yang diundang adalah majelis shalawat yang aku suka, yaa paling suka sih vocalisnya hehehe. Aku ini memang sedikit plin plan ya. Ah mengagumi vocalisnya tidak apa lah, toh juga tidak akan menjadi dekat seperti aku dan kak Adam dulu kan.
Akhirnya hari yang ditunggu tiba juga. Hari itu memang sedikit sibuk, mondar-mandir kesana kemari memastikan semuanya sudah siap dan acara di pastikan akan lancar. Tidak ada bedanya dengan kesibukanku saat mempersiapkan praktik kerja, sama-sama melelahkan dan sama-sama menyenangkan. Aku jadi sedikit rindu pada kesibukanku di masa SMA dulu sebagai anggota Pramuka. Dari pagi hingga acara benar-benar di mulai dan majelis shalawat mulai bershalawat semuanya berjalan dengan lancar sesuai harapan, aku pun sangat senang melihat seseorang yang aku kagumi di majelis itu walaupun dari jarak jauh. Tapiiii… ada suatu hal yang membuatku terganggu saat itu.
Part 14 Hal yang Menggangguku Hal yang membuatku terganggu saat itu adalah Kak Zidan (Ketua pelaksana dari acara ini). Mengapa? di tengah-tengah kami semua menikmati acara, ia mengatakan sesuatu padaku. Yang aku fikir itu sangat mengganggu. Saat itu kami para panitia stand by di tempat masing-masing. Kebetulan memang aku dan Kak Zidan di satu tempat bersama dengan Fitri teman seangkatanku dari Fakultas Hukum. Kak Zidan mengatakan “eem Wardah ada sesuatu yang ingin aku sampaikan” ucapnya. “ya ada apa kak?” balasku. “Sebelumnya apa kamu sudah punya pacar atau teman dekat laki-laki?” ucapnya kembali. Dari kalimat ini aku sudah merasa sedkit terganggu, aku hanya menggelengkan kepala saat itu. Kemudian Kak Zidan meneruskan pembicaraannya “Alhamdulillah jika tidak, begini sejak kita bekerja sama selama 3 minggu ini, aku pikir aku sudah menyukaimu” ucapnya. Aku sangat kaget dengan kata-katanya itu, membuatku sedikit menjauh selangkah dari keberadaannya. Lalu Kak Zidan ini meneruskan pembicaraannya yang menurutku tak sopan itu, “emm Wardah, apakah kamu mau menjadi pacarku?” ucapnya. Aku sudah benar-benar muak dengan kata-katanya dan aku hanya menjawab “Maaf, Kak Zidan dari Fakultas Agama Islam yang terhormat, tentunya sudah tau larangan dari pacaran di dalam Islam bukan?” ucapku lalu aku pergi begitu saja darinya. Hal ini benar-benar membuatku kesal. Mood ku yang sangat bagus saat menonton shalawat seperti dia hancurkan seketika.
Beberapa menit kemudian, saat semuanya sedang istirahat termasuk para undangan juga, Kak Zidan menghampiriku lagi saat aku sedang membagikan makanan pada tamu undangan. “Wardah tunggu, kamu belum jawab pertanyaanku tadi” ucapnya. Hah aku semakin kesal disana, sudah jelas dalam Islam di larang pacaran mengapa ia masih memaksa, apalagi di sini ia dari Fakultas Agama Islam. “Maaf saya sedang sibuk” begitu jawabanku saat itu. Karena melihatku menjawab sambil berjalan terburu-buru, ia malah menghentikanku dengan memegang lenganku. Aku segera berteriak meminta lepaskan genggamannya yang kuat itu, sampai-sampai rasa sakitnya itu bertahan lama. Ia cukup pintar menghentikanku di tempat yang jarang dilihat orang banyak. Aku berteriak meminta lepaskan dan Kak Zidan tetap tidak melepaskanku. Aku menarik tanganku pun tak bisa,sebab kekuatannya sangat besar.
Hingga dari aku yang berteriak, ada seorang laki-laki seumuran denganku datang menyelamatkanku. “Lepaskan dia” ucapnya membentak Kak Zidan, Akhirnya Kak Zidan melepasku dan aku menjauhinya, karena takut aku berlindung di belakang laki-laki itu dan tak lama kemudian Aisyah dan Dara datang melindungiku. “Siapa kamu?” tanya Kak Zidan pada laki-laki itu. “Tidak penting aku siapa, Jangan ganggu dia lagi, aku tidak peduli denganmu walaupun kamu kakak tingkatku disini, tapi tolong dimana sikapmu sebagai laki-laki muslim? tidak bisa melindungi perempuan, malah menyakitinya, lebih baik kamu pergi dari sini dan jangan mengganggunya lagi” Ucap laki-laki itu dengan nada tingginya. Sebab keramaian itu, banyak menarik perhatian orang, termasuk ustadzah Maryam,Mbak Salma dan Mas Harun.
Cerpen Karangan: Widiya Ratnasari Blog / Facebook: wdyrtnsr.blogspot.com / Widiya R Nama saya Widiya Ratnasari, salah satu mahasiswi kesehatan di salah satu universitas di Jawa Timur. Saat menulis cerpen ini saya masih berusia 17 Tahun, dan saat ini saya sudah berusia 19 tahun. Saya terlahir di kota Bondowoso tepatnya pada tanggal 19 Juni 2003. Saya suka menulis cerita, apalagi waktu perasaan saya lagi galau, pasti muncul ide-ide untuk menulis apa saja, mulai dari quote, puisi, cerpen dsb.