Ferlita Nur Akbar gadis cantik yang tinggal hanya dengan ayah dan pengasuhnya, sejak sang ibu meninggal dunia, akibat kecelakaan kerja. Sejak itu Ferlin yang kini berusia 20 tahun, enggan untuk melanjutkan pendidikannya. Hingga Akbar yang kehabisan akal dalam membujuk Ferlin agar mau melanjutkan pendidikanya, memutuskan untuk menitipkan Ferlin di pondok milik adik iparnya.
“Ferlita Sayang. Ada yang ingin papih sampaikan, Nak.” Ucapnya sembari membelai rambut panjang putrinya. “Apah Pih? Katakan saja.” Ucap Ferlita sambil mengunyah popcorn favoritnya. “Papih, akan menitipkanmu pada Tante Zanah, Nak. Papih harap kamu betah di sana.” “Apa… .. Kenapa harus Tante Zanah, Pih. Bukankah adik mamih bukan hanya Tante Zanah?” “Iya, Nak. Papih tahu, tapi papih ingin kamu juga bisa menimba ilmu di sana, Sayang” “Maksud, Papih. Di pondok begitu?” “Ya, Sayang. Papih rasa ini jalan yang terbaik untukmu, papih yakin almarhumah mamih pasti senang, jika tahu anaknya mondok di sana” “Tapi aku tak mau, Pih. Apa tak ada jalan lain, selain mondok di sana!” “Loh, memang apa salahnya, Nak? Di sana kan tempatnya orang yang ingin dekat dengan Allah. Apa kamu tak ingin dekat dengannya, Nak? Firman Allah menyebutkan. “Hendaklah takut kepada Allah orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (An-Nisa ayat 9). “Hmm, tapi Pih. Sepertinya aku punya cara deh, supaya tetep bisa belajar agama, walau hanya di rumah. Bagaimana kalau papih panggil ustaz saja. Dengan begitu kan aku bisa sekalian temani papih.” Ucapnya antusias. “Tapi, Nak. Papih ingin kamu juga menimba ilmu di sana, kamu kan tahu sendiri, papih harus kerja. Sementara kamu di rumah bersama Mbak Sherli.” “Memangnya kenapa, Pih. Mbak kan udah lama ikut kita, jadi tak ada salahnya kan jika aku di rumah sama mbak. Lagian mbak baik kok, apalagi sejak mamih tak ada. Aku merasa mbak udah kaya ibuku sendiri. Jam kerja papih kan hanya kerja empat jam, jadi apa salahnya, Pih.” Ucapnya. “Ya sudah. Jika itu mau kamu, tapi papih minta kamu jangan macam-macam, ya. Ingat, Mbak Sherli hanya orang luar.” “Siap, Bos!” Tegasnya.
Akhirnya atas kesepakatan yang dibuat. Pak Akbar mencarikan guru mengaji untuk Ferlita. Dalam waktu dua minggu Pak Akbar berhasil mendapatkan guru ngaji. Pria berkulit putih, berperawakan tinggi dan berkaca mata. Ferli biasa menyebutnya Ustaz Lukman. Hari yang dilalui Ferlita bersama Ustaz Lukman begitu menyenangkan, banyak perubahan yang terjadi dalam diri Ferlita, apalagi saat ini dia benar-benar mantap berhijab, sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 59 yang berbunyi “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” Tak heran Pak Akbar semakin bangga pada putri semata wayangnya.
Bahkan Pak Akbar membelikan rumah mewah untuk Ustadz Lukman. Dia mengatakan ini sebagai ucapan terima kasih karena berkatanyalah Ferlita menjadi lebih islami seperti keinginannya dan mendiang istrinya. Meski awalnya ada penolakan, namun pada akhirnya Ustadz Lukman menerima pemberitaan itu.
“Ustadz, kemarilah. Ada yang ingin saya sampaikan.” “Apa itu, Tuan. Apa saya berbuat salah dalam mengajar Non Ferlin.” “Tidak, Ustadz. Justru saya bangga padamu dan saya sangat berterima kasih, karnamu Ferlita jauh lebih baik, sekarang. Sesuai harapan saya dan mendiang istri. Jadi saya ingin memberikan ini padamu.” Ucapnya sembari menyerahkan sebuah kunci. “Kunci apa ini, Tuan?” Lukman terheran “Pergilah ke jln Dukuh nomor 10. Di sana ada sebuah rumah yang saya berikan untukmu, Ustadz.” “Tapi, Tuan. Apa ini tidak berlebihan. Sebagai sesama muslim kan kita memang dianjurkan untuk saling tolong-menolong. Jadi menurut saya sebaiknya.” Ucapnya terhenti, disela oleh Akbar. “Ya, saya tahu. Tapi saya harap ustadz terima pemberian saya ini.” “Baik, Tuan. Terima kasih.”
Hari ini dua bulan sudah Ustadz Lukman menempati rumah pemberian Pak Akbar, tak ada lagi keraguan dalam dirinya. Meski dia hanya tinggal seorang diri, namun dia bahagia dan dia bertekad akan menempati rumah itu bersama Ferlin, bidadari yang diharapkan dapat menemani hari-harinya.
Kedekatan Ustadz Lukman dan Ferlin tak bisa dipisahkan, hingga dia memberanikan diri untuk meminang Ferlin sesuai surat Al-Baqarah 235. Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa idahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun.
“Fer, ada yang ingin kukatakan padamu” Apa, Ustadz. Katakan saja.” Ucapnya “Begini, Fer. Kita kan sudah cukup dekat. Aku tak ingin orang-orang berpikir buruk mengenai kita. ” “Maksudnya, Ustadz. Kita menikah gitu?” “Iya, Fer. Kamu mau kan?” “Aa…Aku… A… .. Ku, bolehkah aku pikiran dulu, Ustadz.” “Hamz, sudah kuduga. Apa kau meragukanku, Fer?” “Bukan, begitu Ustadz. Aku hanya perlu meyakinkan diri saja, apa kau keberatan dengan permintaanku.” Ucapnya. “Tidak, Fer. Saya tidak keberatan, saya mengerti ini bukanlah hal mudah. Saya akan menunggu.” “Terima kasih, Ustadz. Akan kupikirkan niatmu tolong beri waktu setidaknya dua bulan, akan kujawab di depan papih dan Mbak Sherli, pengasuhku sejak kecil.” “Ya, Fer. Akan saya tunggu.” Ucapnya mantap.
Dua bulan telah berlalu. Kini Ferlita sudah berhias. Ya, Ferlita tengah menunggu kedatangan Ustaz Lukman, yang saat ini tak datang untuk mengajar, tapi dia menunggu jawaban atas lamaran yang sudah diajukan tempo lalu.
Tok! Tok! Tok! “Mbak, bisa tolong buka pintunya!” Ucapnya sembari memakai hena di lengan kirinya. “Baik, Non” Ucapnya.
Kini Ustaz Lukman telah selesai berbincang Pak Akbar dan Mbak Sherli pun telah berkumpul di ruang tengah bersama Ferlin dan Ustaz Lukman. Ferlin begitu cantik mengenakan jilbab putih dibalut gamis putih serta hena yang melekat menghiasi kedua lengannya. Dengan kemantapan hatinya, Ferlin menerima lamaran Ustaz Lukman.
“Bismillahirohmanirohim. Terima kasih pada Ustaz Lukman yang sudah sabar menunggu saya untuk menjawab lamaranmu tempo lalu. Dan dikesempatan kali ini saya akan menjawab di hadapan papih dan Mbak Sherli.” Ucapnya sambil memandang papih dan mbak nya bergantian. “Ayo, Sayang ungkapkan sekarang, jangan biarkan Ustaz Lukman menunggu lebih lama.” Ucap Pak Akbar tersenyum seraya mengelus punggung putrinya. “Iya, Pih.” “Ustaz” “Iya, Fer” “Aku… aku, mau menjadi pendampingmu.” Ucapnya tersenyum seraya mengalihkan pandangan. “Alhamdulillah, serius Fer?’ “Iya, Ustaz. Masa aku bohong.” Ucapnya yakin. “Masya Allah, terima kasih, ya Fer. Kalau begitu hari ini Ferlin ikut aku menemui orangtuaku, ya. Bolehkan, Pak” Ucapnya seraya meminta izin pada Akbar. “Silakan, Ustaz.”
Kini Ferlin dan Lukman tengah berdiri di depan rumah sederhana berhiaskan bunga mawar dan melati di sisi kanan dan kirinya. Lukman pun membuka pintu seraya mengucap salam diikuti Ferlin di belakangnya. Hingga tak lama terdengar suara yang tak asing bagi Lukman.
“Asalamualaikum, Umi.” Ucapnya sembari mencium tangan ibunya. “Waalaikumsalam, siapa ini Lukman?” “Ini Ferlin, Umi.” “Tunggu, Ferlin anaknya Akbar dan Rachel, kan?” “Iya, Umi. Syukurlah ternyata umi sudah kenal.” Ucapnya tersenyum. “Mau apa kau kemari. Jangan bilang kau akan jadi mantuku. Aku tak sudi punya mantu sepertimu!” Ucapnya tegas. “Maksud Umi, apa?” Lukman meminta penjelasan. “Ibunya dia itu Lukman adalah wanita simpanan almarhum abi, untungnya mereka tak memiliki keturunan, dan almarhum abimu lebih memilih umi yang saat itu sedang mengandung”. Ucapnya ketus disertai tatapan kebencian pada Ferlin. Ferlin yang berdiri dekat Lukman tak menyangka jika ternyata selama ini dugaannya benar. Dia pun mempercepat langkah tanpa pamit. Hingga Lukman mengejarnya.
“Ferlin tunggu… . .!” “Ada apa lagi, Ustaz. Kau sudah tahu kan alasannya, maka dari itu aku meminta waktu untuk menjawab semuanya sampai saat ini. Karna aku menduga kau adalah anak dari lelaki yang pernah dekat dengan mamiku. Pantas saja kau begitu mirip dengan lelaki itu.” Ucapnya sembari menghapus air mata dengan punggung tangan. “Oh, jadi itu alasannya Fer. Tapi mengapa kau tak berterus terang padaku. Tapi apapun alasannya, aku akan tetap meminangmu, Fer. Karna bagiku yang lalu biarlah berlalu.” “Tapi itu bagimu, bagaimana dengan Tante Arin! Bukankah kau pernah mengatakan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi. Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” Jika seorang anak yang durhaka kepada ibu atau ayahnya tidak akan mendapatkan ridho dari Allah SWT. Hadits tentang ridho kepada orangtua diriwayatkan oleh HR. Tirmidzi yang berbunyi: “Ridho Allah itu tergantung ridho kedua orang tua dan murka Allah juga tergantung kepada murka kedua orangtua.” Apa kau melupakannya, Ustaz.” Ucapnya setengah berteriak menahan tangis. “Tidak, Ferlin. Saya tidak melupakannya. Tapi tunggu. Darimana kau tahu mengenai perselingkuhan itu. Apa tuan yang menceritakannya?” Tanyanya menyelidik. “Tidak Ustaz, bukan papih yang memberi tahuku. Tapi aku sendiri yang mengetahuinya.” Ucapnya tegas. “Maksudmu, bagaimana Ferlin. Bisa kau jelaskan pada saya.” Ucap Lukman ingin tahu.
“Ya, dua hari setelah mamih meninggal. Saat aku memasukkan pakaian ke koper mamih aku menemukan sebuah kotak yang tersimpan di tumpukkan bajunya saat kubuka kotak itu di dalamnya berisikan foto mamih sedang bersama seorang lelaki, yang setelah kuingat kembali wajah lelaki itu mirip sekali denganmu, lalu di dibalik foto itu tertulis nama tante Arin. Om Zaky minta maaf pada mamih karna om Zaky lebih memilih tante Arin”. “Baiklah Ferlin. Terima kasih atas penjelasannya. Jujur saya tak mengetahuinya. Tolong maafkan umi. Kalau saja Abi tak berselingkuh, mungkin kejadiannya tak akan seperti ini. Lebih baik saya antarkan kamu pulang sekarang. Nanti akan saya cari tahu lagi mengapa abi tega berbuat seperti itu.” Ucap Lukman sembari mengeluarkan kunci mobil dari jaket yang dikenakannya. “Saya rasa tak perlu Ustaz, saya sudah memesan taksi online, sepertinya sebentar lagi tiba. Oh, ya. Saya minta jangan pernah temui saya lagi. Mulai besok saya akan menimba ilmu di pondok milik tante saya. Terima kasih untuk semuanya. Saya permisi. Asalamualaikum!” Ucapnya berlalu meninggalkan Lukman yang berdiri dekat mobilnya. “Ferlin tunggu, izinkan saya untuk mengantarkanmu pulang, kembalilah Ferlin.” Ucapnya setengah berlari.
Sayangnya mobil itu terus melaju. Tapi hal itu tak membuat Lukman putus asa. Dia terus mengejar mobil yang ditumpangi Ferlin sambil mengetuk kaca mobilnya. Sampai pada akhirnya Lukman terjatuh seiring mobil yang melaju cepat. Sayangnya Ferlin tak peduli akan hal itu, sampai pada akhirnya Ferlin tiba di rumahnya dengan deraian air mata, Ferlin pun mempercepat langkah menuju kamarnya. Tak heran hal itu membuat Pak Akbar yang sedang menonton televisi bergegas mengikuti langkah gadisnya dan menerobos masuk ke kamar gadisnya, seraya bertanya.
“Fer, maaf papih lancang. Tapi papih khawatir padamu. Kenapa sepulang dari rumah Ustaz Lukman kau menangis? lantas ke mana Ustaz Lukman? Mengapa dia tak mengantarmu pulang, apa yang terjadi, Nak?” Tanyanya bertubi-tubi. “Ustadz Lukman ada kepentingan, Pih. Jadi dia terburu-buru dan tak sempat mengantarku pulang dan soal ini. Aku bukan menangis kok, ini hanya kelilipan saja.” Ucapnya berbohong. Dia tak ingin ayahnya mengungkit masa lalu almarhumah ibunya. “Ya sudah, kalau begitu. Lalu bagaimana pertemuanmu dengan orangtua Lukman, Nak. Apa beliau setuju. Kapan mereka akan menemui papih, Nak?” Ucapnya antusias. “Hamms, sepertinya kalau soal itu tunggu aku cukup bekalnya dulu deh, tak apa kan Pih?” Ucapnya dengan mata sembam. “Cukup bekal, maksudnya bagaimana. Bisa kamu jelaskan, Sayang.” Ucapnya dengan menautkan alisnya. “Aku bersedia Pih, mondok di pesantren milik Tante Zanah. Bolehkan Pih, tawarannya masih berlaku, kan?” “Oh, itu. Masih dong, Sayang. Tapi bagaimana dengan Lukman?” “Aku yakin ustadz Lukman pasti setuju, dia kan menginginkan istri yang sholehah. Insya Allah di sana aku bisa mempelajari ilmunya.” Ucapnya berbohong. “Ya sudah, besok Papih bicarakan dulu sama tantemu, ya, Nak.” “Oke, Pih. Makasih ya. Tapi jangan bilang dulu pada Tante Zanah, kalau aku akan dipinang Ustadz Lukman. Aku mau kasih kejutan.” “Ya, Sayang. Papih setuju, lagiankan Lukman belum memberi kepastian kapan dia akan datang bersama orangtuanya.” Ucapnya sambil tersenyum
Tiga tahun kemudian Ferlin begitu bahagia dengan kehidupannya kini bagaimana tidak dia memiliki sahabat yang sangat menyayangi dan mempedulikan dirinya, sepertinya dia juga sudah berhasil move on dari Lukman.
Pagi ini seperti biasa dia melakukan kegiatan rutin menghafal surat-surat pendek yang dilakukannya bersama Veronica serta santri lainnya. Saat mereka sedang asyik menghafal tiba-tiba Ustazah Feni datang mengabarkan jika tiga hari lagi pondok ini akan kedatangan seorang Ustaz, hal itu sontak membuat para santri berbisik-bisik “Waah, siapa namanya Ustazah?” Ucap Monica yang cempreng dan super heboh. “Tampan tidak, Ustazah?” Ucap Nila si centil “Bujangan atau sudah berkeluarga, Ustazah?” Ucap Rani yang ceplas-ceplos. “Sudah-sudah, jangan pada ribut, yang jelas beliau ustaz muda. Saya harap kalian hormati beliau ya.” Jelasnya. “Iya, Ustazah… .. ” Ucap mereka kompak.
Hari ini pondok tempat Ferlin menimba ilmu akan kedatangan seorang ustaz. Segalanya telah dipersiapkan. Ferlin para santri serta penghuni pondok menggunakan pakaian yang senada. Hingga tepat pukul 10.00 tamu istimewa itu datang. Mbak Viola sebagai asisten pondok bergegas membukakan pintu.
“Asalamualaikum, Ustaz. Mari, silakan masuk. Ustazah Zanah dan yang lainnya telah menunggu di aula.” Ucapnya sembari menanggupkan kedua tangan di dada dan tersenyum. “Waalaikumsalam, Kak. Terima kasih.” Ucapnya sambil menangkupkan tangan di dada seraya membalas senyum. Hingga tak lama Ustazah Zanah selaku pemilik pondok datang menghampiri turut menyambut kedatangan ustaz yang ternyata ustaz itu adalah Lukman. “Asalamualaikum, Ustaz. Mari ikut saya, para santri sudah menunggu. Mereka bahkan sangat antusias begitu tahu pondok ini akan kedatangan seorang ustadz, yang insya Allah akan ikut mengajar di sini. Mudah-mudahan Ustaz betah, ya.” Ucapnya berjalan beriringan menuju aula. “Amin, Ustazah. Terima kasih atas kesempatan ini.” Ucap Lukman membalas senyum.
Hingga saat tiba di aula Ferlin yang duduk di kursi paling depan terkejut akan hadirnya Ustaz Lukman. “Asalamualaikum semuanya.” Ucapnya. “Waalaikumsalam, ustaz. Jadi kamu yang akan mengajar di sini?” Ucap Ferlin “Ya, Ferlin. Apa kamu keberatan dengan kehadiran saya?” Ucapnya “Ti… tidak ustaz. Aku hanya tak menyangka jika kau yang, ah sudahlah.” Ucapnya sambil mengalikan pandangan. “Ferlin, apa kamu sudah mengenal Ustaz Lukman. Kok, keliatannya kalian akrab banget?” Ustazah Zanah menghampiri sembari menyentuh pundak Ferlin. “Iya, Ustazah. Ustaz Lukman ini adalah ustaz yang mengajariku saat mengaji di rumah.” Tuturnya. “Oh, begitu, syukurlah. Kalau begitu kau bisa dong bantu saya dalam memberi pengarahan pada Ustaz Lukman.” “Insya Allah, saya bisa Ustazah.” Jawabnya mantap.
Usai perkenalkan dengan para santri. Tiba-tiba Ustaz Lukman menghampiri Ferlin yang sedang membereskan Zuz Amma. Lukman hendak mengajaknya untuk bicara. “Ferlin, ada yang ingin saya katakan.” Ucapnya. “Katakan saja Ustaz. Saya mendengarkan.” Ucapnya sembari merapikan Zuz Amma yang berserakan di lantai. “Saya mau melanjutkan niat baik saya, insya Allah selesai masa pengabdian saya di sini. Saya akan mengajak umi ke rumahmu, Fer.” “Maaf, Ustaz, sebaiknya kita lupakan saja semuanya.” Ucap Ferlin mempercepat langkah.
“Tunggu, Ferlin. Maksudnya bagaimana. Apa kamu ragu sama saya. Bukankah saat itu kamu sudah menerima pinangan saya.” Ucapnya meminta penjelasan. “Bukan, itu Ustaz.” Ucapnya memalingkan wajah. “Lantas, apa, umi saya. Jika itu masalahnya kau tak usah khawatir. Saya sudah berhasil meyakinkan umi dan alhamdulillah umi setuju dengan keinginan saya.” Ucapnya menjelaskan. “Maksudmu, Ustaz?” Kata Ferlin yang kini berhadapan dengan rak buku. “Ya, pada akhirnya umi setuju dengan niat baik saya tuk meminangmu. Karna menurut umi perselingkuhan itu tak akan terjadi jika dia bisa membagi waktu untuk abi dan pekerjaannya. Umi yang saat itu mempunyai karir cemerlang di tempat kerjanya, jarang punya waktu untuk abi. Menurut umi mungkin abi kesepian, hingga terjadilah perselingkuhan itu.” Terangnya di dekat meja. “Subhanallah, saya senang mendengarnya, Ustaz. Kalau begitu saya telepon papih ya, saya mau mengabarkan tentang ini.” Kata Ferlin dengan mata berbinar. “Silakan, Ferlin.” Ucapnya tersenyum.
Tujuh tahun kemudian Hari ini pernikahan Ferlin dan Ustaz Lukman resmi dilaksanakan di pondok pesantren tempat Ferlin menimba ilmu. Rona bahagia terpancar di wajah mereka. Terlihat dari pakaian yang dikenakan gamis hijau daun dan hijab putih yang dikenakan Ferlin dan gamis warna senada serta peci putih yang dikenakan Ustaz Lukman. Kebahagiaan itu tak hanya dirasakan oleh kedua mempelai dan orangtua, para santri bahkan pengasuh Ferlin sejak kecil pun sangat bahagia bisa menyaksikan pernikahan anak asuhnya.
Cerpen Karangan: Dinbel Pertiwi Facebook: facebook.com/Dinbellap7165