Kira-kira jam 4 sore, setelah semua kegiatan hari itu selesai, Alvan bersantai menikmati senja di taman belakang hotel tempat dia menginap. Sambil mengaduk kopi yang baru diseduhnya dia kembali teringat karyawati baru di kantornya yang dua tahun ini menarik perhatianya. Dia ingat bahwa Fitri, karyawati baru itu berasal dari kota yang sama tempat kegiatannya sekarang berlangsung, Cirebon. Dua hari lalu Fitri ambil cuti dan pulang kampung ke Cirebon untuk menengok ayahnya yang sedang sakit.
Sambil duduk menunggu kopinya yang masih panas berkali kali Alvan tampak membuka kontak hp nya. Dia berniat menghubungi Fitri, tapi lagi-lagi dia ragu. Walaupun sudah kenal, tapi Alvan yang memang sedikit pendiam itu belum berani akrab dengan Fitri selama di kantor, jadi dia merasa masih canggung kalau tiba-tiba menelpon.
Sebetulnya Alvan ingin sekali menghubungi Fitri yang sedang sama-sama di Cirebon, siapa tau bisa menyempatkan main dan silaturahmi ke rumahnya. Sambil kembali merenung Alvan mulai menyeruput kopi, mengumpulkan keberanian untuk menelepon Fitri, gadis manis karyawan baru yang mulai menarik hatinya. Sudah tiga kali dia meneguk kopinya yang mulai hangat, tapi masih belum juga dia berani menelepon Fitri atau sekedar kirim pesan.
Hari makin sore, matahari mulai merendah di ufuk barat. Senja yang cerah seolah memberi semangat untuk Alvan,. Sambil menghela napas seolah melepas semua rasa ragunya Alvan pun mengambil handpone dan mulai mengetik pesan, mengirim salam membuka pembicaraan dengan Fitri di kontak WA.
“Assalamu’alaikum fitri,.” tulisnya di WA
Alvan kembali menyeruput kopi sambil menatap layar hp, jantungnya terasa berdetak lebih kencang, berharap-harap cemas menunggu balasan. Tak lama kemudian tampak di kontak WA Fitri sedang menulis balasan, Alvan tampak sumringah, senyumnya melebar, sekali lagi dia menyeruput kopi sambil matanya tak bisa lepas dari layar hp.
“wa’alaikum salam, ada apa mas Alvan.” Tampak jawaban fitri di layar hp. segera Alvan meraih hp nya sambil memikirkan kelanjutan pembicaraan, bagaimana bahasa yang enak untuk menyampaikan maksudnya main ke rumah fitri. “Maaf ganggu, lagi santai ga. Boleh aku nelp?” Tanya alvan memberanikan diri ijin menelepon fitri. “Boleh mas, lagi santai kok!”
Dengan tetap degdegan Alvan ahirnya menelepon fitri untuk pertama kalinya. Selama ini dia hanya berani bertegur sapa seperlunya saat di kantor. “Hallo. Assalamualaikum fit” “Wa’alaikum salam, maaf ada apa ya mas, apa ada masalah di kantor?” Fitri tampak sedikit tegang dan kaget ditelepon Alvan yang memang seniornya di kantor. Sebagai seorang manager Alvan memang bisa dibilang memiliki karir yang cukup bagus di kalangan karyawan seusianya, hingga fitri pun terkesan agak segan. Selain terkenal kreatif dan ulet Alvan juga alim, karena dia memang alumni pesantren terkenal di kota asalnya, Purworejo. “Ga ada, cuma pengin nelpon aja. Kebetulan saya lagi di Cirebon sampai besok, ada kegiatan dari kantor. Fitri masih di Cirebon?” “Oh, mas Alvan lagi di Cirebon. Saya juga masih di Cirebon, mungkin lusa baru berangkat lagi ke Bandung. Mampir ke rumah mas, mumpung lagi di sini” Fitri menawari Alvan mampir ke rumah. Alvan senang dengan tawaran itu, tapi lagi-lagi dia terkesan ragu untuk menerima. “Eeuhhm, kira-kira ganggu ga sih, kalau aku main ke rumah?” “Ga lah mas, saya senang kok!”
Sebenarnya tanpa sepengetahuan Alvan, selama ini Fitri pun diam-diam mulai mengagumi sosok Alvan yang nyaris sempurna sebagai seorang pria lajang. Karir yang bagus sebagai manajer perusahaan ternama di Bandung, tampilannya menarik, kalem dan yang pasti rajin beribadah.
Karena jarak dari hotel tempat Alvan menginap ke rumah Fitri tidak terlalu jauh, selepas magrib Alvan sudah sampai di rumah Fitri. Sebuah rumah di tepi kampung yang tidak terlalu besar tapi asri dengan halaman yang cukup luas, menyatu dengan samping mushola. Begitu turun dari mobil, sesaat Alvan tertegun, matanya menatap sekitar, telinganya menangkap riuh suara anak-anak sedang mengaji di mushola. Terasa ada suasana indah yang sudah lama ada tertanam di memorinya, sekarang terngiang kembali. Suasana kampung halaman yang dia nikmati di masa kecil dulu, saat dia dan teman sebayanya masih mengisi waktu bersama. Mengaji bersama, bermain bersama, menghiasi suasana temaram senja di mushola kakeknya dengan canda dan mengaji penuh ceria.
Ada rasa yang sulit terucap, Alvan begitu menikmati suasana, terlena dengan apa yang dia lihat, dengan apa yang dia dengar. Alvan merasa kembali ke masa lalu yang indah, dan sepertinya dia mulai jatuh cinta dengan tempat ini.
“Mari masuk mas Alvan,.” Terdengar suara Fitri dari teras rumah di arah belakang Alvan, memecah lamunan alvan yang sudah begitu jauh melintas waktu ke masa kecilnya. Alvan tersentak dan segera berbalik. “Oh,. Iya fit, maaf keasikan melamun.” “Iya, aku lihat mas Alvan malah berdiri aja, anteng banget.” Lanjut fitri sambil melempar senyum manisnya ke Alvan. Entah kenapa rasa bahagia tiba-tiba bergejolak di hati Alvan, seakan ada sesuatu yang sangat berharga baru saja dia temukan. Alvan pun melangkah perlahan menuju teras rumah.
“Silahkan duduk mas.” Fitri mempersilahkan alvan duduk di kursi teras rumah sambil berlanjut masuk ke rumah, sepertinya dia ingin menyiapkan minum untuk tamu istimewanya. “Iya, terima kasih” Alvan duduk di kursi klasik yang sepertinya jadi tempat bersantai ayahnya fitri. Sekali lagi lamunannya melayang jauh kembali ke kampungnya di Purworejo sana. Dia ingat almarhum ayahnya yang juga sering menghabiskan waktu di teras rumah sambil berbincang santai dengan teman atau kerabatnya. Sebuah Suasana tenang khas kampung yang lama terpatri di memorinya yang selalu ia rindukan, sekarang ia rasakan lagi di sini.
Tak lama kemudian datang seorang lelaki paruh baya jalan perlahan dari arah halaman dengan masih memakai sarung dan songkok putih, sepertinya baru pulang solat magrib di mushola. Sosoknya tenang dan berwibawa, menyapa Alvan sambil menyodorkan tangan mengajak bersalaman. “Eh. Ada tamu rupanya, sudah lama?” “Iya pak. Assalamualaikum,” Jawab alvan sambil berdiri dan menyambut tangan sang bapak. Ini pasti ayah Fitri. Gumam Alvan dalam hati.
“Temannya Fitri?” “Iya pak, saya teman kerjanya fitri.” “Oh, teman kerja, ini sengaja ke sini dari Bandung?” “Ga pak. Kebetulan saya lagi ada tugas di sini 2 hari, jadi sekalian mampir kemari. ” “Oh. Saya kira sengaja dari Bandung kesini.”
Fitri datang membawa nampan yang penuh dengan makanan dan minuman hangat, tak ketinggalan bonus senyuman manis yang membuat Alvan semakin bergetar hatinya. “Silahkan dilanjut dulu ngobrolnya sambil disambi minumnya mas.” Lanjut ayah Fitri mempersilahkan Alvan menikmati hidangan, sambil berlalu ke dalam rumah.
Kira-kira setengah jam mengobrol terdengarlah suara adzan isya dari mushola. Sebagai pemuda yang memang sudah terbiasa solat berjamaah, Alvan pun bergegas ijin pamit untuk menunaikan solat dulu di mushola. Lima belas menit Berselang, datang adik laki-laki Fitri yang kelas 5 SD pulang mengaji, Alvan masih belum kembali. Di ruang tengah tampak berkumpul Fitri dan Ayah Ibunya, membicarakan tentang Alvan yang banyak dipuji oleh Fitri. Ibunya Fitri tampak antusias dan banyak bertanya tentang Alvan, berbeda dengan ayahnya yang lebih tenang dan sedikit cuek menanggapi cerita Fitri. Adik fitri bertanya ada tamu siapa, karena nampak ada mobil dan hidangan di beranda rumahnya.
“Tadi yang jadi Imam sholat Isya siapa ya pak, Hasan ga kenal, suaranya bagus.” Hasan, adik Fitri menambahkan ceritanya tentang Alvan yang rupanya jadi imam solat karena pakde nya fitri lagi keluar kota, dan ayah fitri yang biasa gantian jadi imam juga tidak berangkat ke mushola. “Oh, mungkin itu temen kaka” Fitri menjawab pertanyaan Hasan adiknya dengan penuh semangat.
Pertemuan Alvan dengan keluarga Fitri sudah sebulan berlalu, setelah peristiwa itu hubungan keduanya sekarang makin akrab. Mereka tambah lebih sering bertemu dan ngobrol berdua. Tidak jarang mereka nampak makan siang bersama saat jam istirahat. Bahkan di akhir pekan mereka juga kadang menyempatkan jalan bareng.
Cerpen Karangan: Adzka Rijal Blog / Facebook: Adzka Rijal