Suatu siang di hari jum’at, nampak seperti biasa Alvan sedang berbincang di pos satpam depan kantor dengan beberapa karyawan dan pak satpam sambil beristirahat setelah selesai sholat jum’at dan makan siang. Fitri tiba tiba mengintip sekilas dari luar jendela, Alvan dan yang lain pun seperti sudah paham bahwa Fitri kesitu untuk mencari Alvan, seperti ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Alvan segera keluar menemui Fitri yang sudah duduk di kursi santai di samping pos di bawah rindang pohon cemara.
“Cari saya Fit, ada apa, kaya ada yang penting, mukanya tegang gitu?” “Ini mas, bapak barusan telpon,” jawab Fitri yang tampak ragu untuk melanjutkan bicara, “Oh ya, terus gimana?” tanya Alvan penasaran. “Bapak sakit lagi, terus kata bapak mau ngomong ke mas Alvan, ga tau ada apa. Sebentar mau nelpon lagi katanya, tunggu sebentar ya mas saya telpon aja bapaknya.” Fitri segera menelepon bapaknya lalu menyodorkan hp nya ke Alvan.
“Assalamu’alaikum pa.” Alvan membuka obrolan di telepon. “Wa’alaikum salam, ini sama Nak Alvan?” Tanya ayah Fitri dengan suara yang sudah lemah dan dalam. “Iya betul pak, gimana kabar bapak, kata Fitri bapak lagi sakit?” “Biasa, sudah tua ya begini lah nak, sakit-sakitan. Nak Alvan sehat?” “Alhamdulillah saya sehat pak,. Mudah mudahan bapak juga lekas sehat lagi ya,” “Amiin, terima kasih do’a nya, Maaf nak Alvan bapak ada perlu sebentar sama nak Alvan, ada yang mau bapak tanyakan, boleh kan?” “Boleh pak, silahkan ga apa-apa. Kebetulan saya lagi istirahat, maaf mau tanya apa ya pak?” “Sebelumnya maaf ya kalau pertanyaanya agak pribadi. takut buat nak Alvan ga nyaman.” “Iya pak, ga apa-apa,. pake ga enak segala, silahkan aja pa.”
“Sebetulnya banyak yang ingin bapak tanyakan dan obrolkan, tapi sebelumnya ada satu pertanyaan yang harus nak Alvan jawab dengan jujur. Bapak ingin tau apa nak Alvan kenal, atau punya hubungan dengan yang bernama Kiyai Marzuki?” “Maaf maksud bapak Marzuki yang mana ya. Kalau maksudnya Marzuki kakek saya ya saya tentu kenal, itu nama kakek saya Pak.” “Apa kakek nak Alvan dulu mesantren di Tebu Ireng Jombang?” “Iya betul pak, kok bapak tau? Bapak kenal kakek saya?” “Subhanalloh, ya sudah, itu saja pertanyaan bapak!” “Maksudnya pak, saya masih belum faham nih.” “Sudah, ga apa-apa. Selanjutnya nanti bapak ceritain, pokoknya besok bapak minta tolong nak Alvan anter Fitri ke Cirebon. Jangan sampai ga bisa. Bapak tunggu kalian berdua besok di rumah, kita lanjut ngobrolnya besok ya, bapak udah mulai capek dan pusing, mau istirahat dulu.” Ayah Fitri segera mengakhiri obrolan dengan suara yang nampak tenang dan lembut. Alvan pun tidak berani lagi banyak bertanya, dia hanya mengiakan permintaan ayah Fitri. “Oh, iya pa, Insyaallah besok pagi saya ke Cirebon sama Fitri.”
Kira-kira jam 7 sabtu pagi Alvan bergegas berangkat ke Cirebon untuk mengantar Fitri menengok Ayahnya. Sepanjang jalan mereka benbincang penasaran dengan apa yang hendak disampaikan oleh ayah Fitri. Walaupun keduanya menduga duga tetap tidak ada yang bisa menebak. Semua yang mereka bahas berujung tanda tanya.
Sebelum tengah hari mereka sampai di rumah Fitri, yang tampak sudah banyak keluarga datang menjenguk. Mobil Alvan pun parkir di halaman, mereka berdua bergegas masuk, Alvan menunggu di teras depan dengan beberapa bapak-bapak kerabat Fitri yang datang menjenguk.
Lima belas menit berselang, Fitri keluar dan mengajak Alvan masuk menemui ayahnya. “Mas, disuruh masuk sama bapak.” kata Fitri menyampaikan pesan Ayahnya ke Alvan.
Alvan beranjak dari tempat duduknya mengikuti Fitri masuk ke kamar ayahnya. Hati Alvan berdegup kencang, perasaan tegang bercampur penasaran memenuhi pikirannya. Di dalam kamar tampak ayah Fitri sedang duduk setengah berbaring di atas tempat tidurnya. Setelah bersalaman Alvan dipersilahkan duduk di samping ayahnya Fitri.
“Terima kasih sudah nganter Fitri ya, maaf merepotkan nak Alvan.” ayah fitri membuka pembicaraan. “Ga repot kok pa, kan lagi libur juga, sekalian jalan-jalan dan silaturahmi juga ke bapak. Bapak gimana kondisinya, apa sudah mulai membaik pa?” “Alhamdulillah sekarang lebih enakan. Nak Alvan sudah dikasih minum Ning?” tanya ayahnya Fitri sambil melihat ke arah anak gadisnya yang diam termangu di pojokan.” Ning adalah panggilan sayang Fitri dari ayahnya. “Sudah pa, tadi di depan saya sudah minum.” Alvan mendahului menjawab pertanyaan ayahnya Fitri. “Ya sudah, kalau nak Alvan sudah istirahat bapak ingin melanjutkan obrolan yang kemarin. Sebslumnya bapak minta maaf kalau membuat nak Alvan kurang nyaman, tapi bapak memang harus membahas ini segera. Pertama bapak mau menegaskan lagi pertanyaan kemarin. Apakah kakek nak Alvan asalnya dari Purworejo, dan selagi muda pernah nyantri di Tebu Ireng?” “Ia pak, betul.” Jawab Alvan tambah penasaran, kenapa ayah Fitri bisa tau. “Alhamdulillah. Bapak senang dengar jawaban itu. Begini nak Alvan. Sebelum bapak bercerita lebih jauh tentang bagaimana bapak tau Kiyai Marzuki, bapak ingin tau dulu bagaimana hubungan nak Alvan sama Fitri anak bapak”. Seketika Alvan terdiam. Sambil sesekali melirik Fitri di pojok kamar, seolah mencari jawaban dari wajah Fitri yang juga tampak kikuk.
“Apa nak Alvan suka sama anak bapak?” Ayah fitri melanjutkan pertanyaannya, kali ini lebih egas, seolah sudah tidak sabar dengan jawaban Alvan. Lagi-lagi Alvan tidak menjawab, hanya sesekali menatap ke arah ayah Fitri lalu tertunduk, seolah memberi isyarat bahwa dia memang menaruh hati ke Fitri. Sebagai orang tua ayah Fitri rupanya paham dengan isyarat Alvan.
“Ya sudah, tidak usah dijawab, biar bapak lanjutkan ceritanya saja. Begini nak Alvan, sebelum kakeknya Fitri meninggal, beliau sempat bercerita setengah berpesan ke bapak. Beliau bilang, beberapa kali bermimpi ketemu sahabat lamanya waktu jadi santri, yaitu Marzuki. Dalam mimpinya Marzuki bercerita punya cucu laki-laki yang ganteng dan soleh, lalu beliau ngajak besanan sama kakeknya Fitri. Kakeknya Fitri bilang mimpi ini berulang sampai tiga kali. Sebelum meninggal beliau menceritakan mimpi ini ke bapa, walaupun beliau juga belum faham apa maksudnya. Setelah bapak ketemu nak Alvan bapak jadi teringat pesan dari kakeknya Fitri dulu, ga tau kenapa bapak merasa harus menanyakan itu ke nak Alvan, dan ternyata firasat bapak benar, nak Alvan adalah orang yang dipesakan melalui mimpi kakeknya Fitri. Alhamdulillah. Bapak lega ahirnya mimpi kakek nya Fitri sekarang bisa segera terlaksana.”
Alvan dan Fitri hanya bisa terdiam dalam pikiran yang berkecamuk, antara senang, bingung bercampur heran dengan semua ini. Semua masih sulit untuk dipercaya, perasaan cinta diantara mereka berdua yang bahkan belum terucap ternyata sudah mendapat restu, bahkan sebelum mereka saling bertemu. Dua orang anak manusia yang senantiasa menjaga keimanan dan kehormatanya, tidak pernah berpacaran ahirnya dipertemukan dalam jalinan cinta yang suci. Dua orang baik, dari keluarga baik-baik ahirnya sepakat bersatu membangun rumah tangga yang baik, penuh cinta dan rahmat Alloh SWT.
Tiga bulan kemudian digelarlah resepsi pernikahan antara Alvan dan Fitri. “Ya Alvan Ismail bin Ahmad Hudori saya nikahkan engkau dengan ananda Fitri Suci Ayuning Ratri binti Bapak Abdullah Safe’i dengan mas kawin berupa uang sebesar Rp. 2.212.000 dan perhiasan emas seberat 5 gram dibayar tunai. ” “Saya terima nikahnya Fitri Suci Ayuning Ratri binti Bapak Abdullah Safe’i dengan mas kawin tersebut tunai.
Cerpen Karangan: Adzka Rijal Blog / Facebook: Adzka Rijal