Panas menyengat sehingga membuat ubun-ubun kepala terasa berdenyut-denyut.. Batang-batang cahaya yang tertuang dari petala langit ke tujuh menghantam bumi. Siang ini aku merasa bahwa cairan timah neraka lagi dituangkan oleh tangan-tangan ribuan malaikat. Kepala terasa pening. Kedua mataku terasa berkunang-kunang. Nun jauh di sana, fatamorgana menari-nari. Pepohonan di sepanjang jalan menjerit-jerit kepanasan. Saat itu pula, lamat-lamat aku mendengar suara lantunan azan dari menara-menara masjid. Suara panggilan untuk hamba-hamba yang selalu dirindukan oleh Tuhannya. Meski kepala terasa mumet, tapi aku tetap memegang stir motor dan memacu sepeda motor matikku dengan kecepatan sedang. Dan aku tiada henti untuk menyebut asma Allah tanpa henti. Di jalan raya, kendaraan berlalu-lalang. Motor saling salak-menyalak. Klakson mobil saling bersahut-sahutan. Becak tampak kocar-kacir.
Ketika aku sampai di pertigaan Plaza Metro, tampak sebuah motor matik yang dikendarai oleh seorang gadis muda terjatuh. Gadis itu terperosok ke aspal. Dengan gerak refleks, aku langsung menghentikan laju motorku. Aku meminggirkan motor dan menguncinya. Lalu sambil melambaikan tangan pada kendaraan yang lain, aku pergi ke tengah jalan. Aku membantu mendirikan motor matik itu, juga membantu membangkitkan pemiliknya. Gadis itu tampak meringis kesakitan.
“Kamu tidak apa-apa?” aku bertanya kepada gadis berseragam SMA yang meringis kesakitan itu. Aku melihat kakinya tampak berdarah. Aku yakin pasti karena tertindih oleh mesin sepeda motornya sendiri. “Hanya lecet, Mas.” Gadis itu masih berusaha tersenyum meski ia meringis kesakitan. “Sebaiknya segera dibawa ke dokter untuk mendapatkan perawatan!” saranku sambil memarkirkan sepeda motor gadis itu di tepi jalan depan Plaza Metro. Saat itu, orang-orang hanya menjadi penonton. Sebenarnya aku ingin mengantarkan gadis itu untuk pergi ke dokter agar ia segera mendapatkan perawatan. Aku yakin dia tidak bisa membawa motornya sendiri karena kakinya sakit dan terus mengalirkan darah. Lalu gadis itu melihat ke arahku. “Apakah kamu punya nomor kakak? Saudara sepupu? Atau teman?” “Ada, Mas,” jawab gadis bermuka cantik itu seraya mengeluarkan ponsel dari dalam tas sekolahnya. Setelah itu ia menyalakan ponselnya, tapi ponsel tersebut mati. “Astaghfirullah! Aku lupa kalau baterai ponselnya mati.”
Aku melihat ke arah gadis itu. Pada saat yang bersamaan, seseorang yang aku kenal lewat di depanku dengan mengendarai sepeda motor dan melambaikan tangan kirinya padaku. Aku pun lantas melambaikan tangan supaya dia berhenti. Orang itu pun berhenti dan menghampiriku. “Ada apa ini?” tanyanya. Lalu aku menceritakan kronologi kejadiannya. Dia lantas memberi saran agar aku membawa gadis itu ke dokter atau rumah sakit. Maka mau tidak mau aku membawa gadis itu ke rumah sakit. Aku memboncengnya di boncengan sepeda motor matikku.
—
Senja yang ceria. Aku duduk seorang diri di salah satu bangku di cafe yang berada di pusat kota. Segelas kopi yang kupesan tergeletak di atas meja kotak kayu sampai dingin. Aku belum menyentuhnya sama sekali. Kemudian aku meletakkan laptop di atas meja dan menyalakannya. Setelah itu aku membuka salah satu file tulisanku. Aku membaca sebentar tulisan yang kutulis hanya beberapa paragraf saja. Kubaca ulang dengan penuh teliti. Entah mengapa aku merasa bahwa tulisanku kali ini sama sekali tidak bertenaga. Tidak bernas. Dan aku yakin, kalau aku menulisnya sampai tamat dan siap dijadikan buku, tulisanku tidak akan dilirik pembaca. Saat itu aku berpikir dalam-dalam. Tulisan yang seperti apa yang musti aku tulis? Pikirku. Aku tidak ingin tulisanku kali ini gagal di pasaran.
Beberapa jurus kemudian, datang dua orang gadis berjilbab dan duduk di salah satu bangku cafe. Salah seorang gadis memanggil salah satu pegawai cafe. Setelah mencatat pesanan gadis itu, pegawai cafe kembali. Lalu tanpa sengaja aku mencuri-curi dengar pembicaraan dua orang gadis muda itu.
“Kamu kerja di mana sekarang?” tanya gadis berjilbab biru. “Belum. Kamu tahu sendiri kan kalau pekerjaan di sini susahnya minta ampun. Memang ada sih toko. Tetapi kamu tahu sendiri kalau gaji di toko itu berapa. Di pabrik juga telah tutup. Tidak lagi menerima karyawan. Aku pusing. Sementara ibu mendesakku agar tidak pilih-pilih pekerjaan. Aku sama sekali tidak pilih-pilih pekerjaan. Tapi aku ingin bekerja yang sesuai dengan passion-ku,” kata gadis itu kepada temannya. “Iya aku tahu. Kamu memang hobi membaca, dan nilai bidang studi bahasa Indonesiamu memang paling tinggi. Aku pun juga sama sekali tidak heran pas kamu mendapatkan nilai sembilan ketika try out kemarin. Tetapi, kalau mau mencari pekerjaan yang sesuai dengan passion-mu di sini tidak ada. Apakah kamu sudah pernah mengirimkan lamaran ke sebuah penerbitan buku? Atau ke kantor surat kabar?” tanya temannya.
Saat itu, pegawai cafe datang dengan membawa pesanan dua gadis itu. Setelah meletakkan dua cangkir kopi dan dua porsi makanan ringan di atas meja, pegawai cafe itu kembali ke tempatnya. Tidak lupa gadis itu mengucapkan terima kasih.
“Memangnya kamu tahu di mana di sini ada penerbitan buku atau kantor surat kabar?” tanya gadis yang mengenakan jilbab cokelat. “Biasanya penerbitan buku dan kantor surat kabar adanya hanya di kota-kota besar seperti di Malang, Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta. Kalau di sini mah, mana ada? Lha wong orang-orangnya saja jarang ada yang membaca buku dan koran! Kalau kamu mau bekerja di luar kota ya paling tidak kamu harus mencari kosan.”
Saat itu tanpa sengaja aku melihat ke arah dua gadis yang sedang mengobrol soal pekerjaan itu. Dan aku sedikit terkejut karena salah seorang gadis yang sekarang duduk di seberangku adalah gadis yang pernah aku tolong saat kecelakaan di persimpangan Plaza Metro. Kemudian aku pun menghampiri keduanya. Tidak lupa aku menguluk salam. Dan betapa terkejutnya gadis berjilbab cokelat itu. “Mas, kan waktu itu…”
—
Permadani hitam telah dihamparkan di langit malam. Bintang-gemintang bertaburan. Bulan sabit mengambang di antara awan tipis yang menyaput alam. Aku memarkirkan sepeda motorku tak jauh dari pantai. Kemudian aku melangkah menuju pantai yang didekap kesunyian. Di bibir pantai kedua kakiku terhenti saat aku melihat seorang gadis duduk di atas pasir yang setengah basah. Ia menangis di antara desiran ombak yang bergulung-gulung. Aku memerhatikan dengan saksama. Ujung kerudungnya berkibar-kibar dicumbu oleh angin. Aku mengenal gadis itu. Tanpa berpikir panjang, aku langsung berjalan ke arah gadis itu.
“Kenapa kamu duduk sendiri di sini?” aku bertanya saat aku berdiri tak jauh di belakang Alia. Gadis manis itu mengusap air matanya, lalu menengok ke belakang. Kedua matanya memandang ke arah wajahku. Ia berusaha mengulum senyum. Aku tahu bahwa senyuman itu karena terpaksa. “Iya, Mas.” Gadis itu tersenyum. Aku melihat sisa-sisa air mata yang mengalir di pipinya yang telah mengering. “Kamu baik-baik saja, bukan?” “Iya. Aku baik-baik saja, Mas.” “Sejak kapan kamu belajar berbohong? Bukankah sudah lama kamu bekerja padaku?” Gadis itu pun terisak. Air matanya meleleh. Debur ombak mengiri tangisannya yang menyayat-nyayat hati. Aku sama sekali tidak tahu apa yang membuatnya menangis. Kemudian aku duduk di sebelahnya. Gadis itu sama sekali tidak beringsut dari duduknya.
“Apakah kamu masih ingat? Saat itu ada seorang gadis terjatuh dari sepeda motornya. Ia meringis kesakitan karena salah satu kakinya lecet hingga berdarah. Lalu aku memintanya agar menghubungi salah seorang keluarga atau kenalannya tapi ponselnya mati. Aku bingung pada saat itu. Lalu dengan bantuan temanku aku membonceng gadis itu ke dokter agar ia segera mendapatkan perawatan. Kamu tahu? Saat itu sebenarnya aku ragu mengantarkannya karena aku sendiri telah menikah dan mempunyai anak. Aku tahu bahwa Tuhan sedang menyaksikanku. Aku tahu bahwa sebenarnya aku tidak boleh melakukannya. Tetapi ini menyangkut kemanusiaan. Saling tolong-menolong adalah sunnah nabi. Tidak sedikit orang yang berceramah soal kemanusiaan, tapi hanya sedikit yang melakukannya. Terkadang, kata-kata tidak pernah sinkron dengan perbuatan,” aku mencoba menghiburnya.
“Setelah gadis itu mendapatkan perawatan, ia tersenyum seraya mengucapkan terima kasih. Aku masih ingat dengan senyumannya. Sejak itu aku wajahnya selalu terbayang-bayang di pelupuk mata. Terkadang senyumannya susah untuk kulupakan. Dan entah kenapa, setiap kali aku berpapasan dengannya hatiku selalu bergetar. Aku tidak ingin jatuh cinta tapi hatiku tidak bisa menolaknya.”
Gadis itu mengulum senyum lalu memandang wajahku lama.
Aku membawa gadis itu ke rumah sakit. Lalu dia menemui istriku yang sedang dirawat. Belalai selang infus tertancap di pergelangan tangan kanannya. Saat itu istriku tengah berbicara dengannya sambil berurai air mata. Entah apa yang sedang dua perempuan itu bicarakan. Aku sama sekali tidak mendengar percakapan mereka berdua karena aku berada di luar ruangan menemani anakku. Aku hanya melihat keduanya dari balik kaca. Setelah beberapa menit, Alia keluar seraya menangis.
“Kenapa mas tidak pernah bilang kalau istri mas menderita kanker rahim stadium akhir?” tanyanya. “Karena selama ini istriku menyimpan penyakitnya rapat-rapat dariku.” “Istri mas meminta mas agar mengganti pintu.” “Mengganti pintu?” Aku mengernyitkan dahi. Alia mengangguk. “Mas diminta untuk menikahiku.” Aku terkejut.
“Mas, menikahlah dengan Alia!” Kata istriku dengan berurai air mata. Tangan kanannya menggenggam erat tanganku. “Hidupku tidak akan lama.” “Tidak, Sayang. Kamu pasti sembuh.” Aku menangis. “Mas, menikahlah dengan Alia! Aku mohon! Menikahlah dengan gadis yang kamu cintai!” “Aku hanya mencintaimu, Sayang.” “Tidak, Mas. Kamu menikahiku bukan karena cinta. Menikahlah dengan Alia! Dia juga mencintaimu!”
Hidup istriku tidak lama. Ia juga berpesan kepada Alia agar selalu menjagaku dan merawat anakku. Sebab istriku tahu bahwa Alia sangat menyayangi anakku. Aku pun lantas menikahi Alia di hadapan istriku. Gadis itu bahagia tapi sedih. Dia bahagia karena selama ini cintanya terjaga dan sama sekali tidak ternoda. Dia juga tampak sedih karena hanya saat ini melihat seorang istri yang merelakan suaminya menikah dengan orang yang dicintai.
Probolinggo, September 2022 Novelis.
Cerpen Karangan: Khairul A.El Maliky Blog / Facebook: @khairulazzamelmaliky