Edi: Maaf, aku hanya mau mengutarakan perasaanku. Sepertinya aku mulai menyukaimu. Bisakah, kamu membalas perasaanku?
Aku terdiam untuk beberapa saat ketika laki-laki yang baru saja aku kenal, beberapa hari yang lalu, tiba-tiba saja mengutarakan perasaannya kepadaku. Aku bingung harus membalas apa, karena pada dasarnya aku sama sekali tidak memiliki perasaan yang sama seperti dirinya.
Aku menghela nafas gusar. Bukan pertama kalinya laki-laki mengutarakan perasaannya kepadaku semenjak aku dan Fadil tidak saling berkomunikasi. Ini mungkin adalah yang ke belasan kalinya, namun selalu kutolak karena aku belum terlalu move on dari Fadil.
Padahal, aku dan Fadil hanya sekedar gebetan yang saling tidak peka satu sama lain. Ah ralat, lebih tepatnya dia yang tidak peka, dan aku yang terlalu berharap. Teman-temanku sudah memberi saran jika Fadil bukanlah laki-laki yang pas untukku.
Tapi apa boleh buat, ketika kita mencintai seseorang, kita hanya terpaku pada sisi baiknya. Bahkan, kita tidak menganggap ada sisi buruk orang tersebut. Begitulah yang aku rasakan; sekitar satu tahun yang lalu.
Jika ditanya, apakah aku sudah sepenuhnya move on dari Fadil atau tidak. Jawabannya adalah, entahlah. Jujur, saat ini hatiku kosong terlebih lagi aku sudah jarang melihat keberadaan Fadil. Maklum lah, semenjak kami putus kontak dia kembali lagi menjadi gamers yang mana lebih sering mabar sana sini daripada bersekolah. Kalaupun bersekolah, paling tidak ketika jam 12 tiba, dia akan melarikan diri dengan alasan mau mengantarkan teman yang sakit.
Uh, hingga saat aku mengetik cerita ini, aku masih sangat ingat apa saja kegemarannya. Apa saja yang membuatnya bahagia, apa saja yang membuatnya benci, apa saja yang membuatnya ingin tidur lebih lama, dan apa saja yang membuatnya penasaran terhadap diriku.
Edi: Zah? Kenapa kamu hanya melihat pesanku? Padahal kamu online.
Ah, sial.
Aku bimbang, sungguh. Jika aku menolaknya, aku takut dia akan menjauhiku seperti mantan-mantanku yang lama. Jika aku menerimanya, aku takut hanya akan mematahkan hatinya karena cepat atau lambat dia pasti akan tahu jika aku tidak mempunyai perasaan apa pun terhadap dirinya.
Tidak ada pilihan lain.
Self: Ya, aku bisa membalas perasaanmu. Sent!
Aku berharap, keputusanku kali ini tidak salah. Dan semoga saja laki-laki ini bisa membuat hatiku yang tadinya kosong, terisi dengan penuh kasih sayang.
—
“Jadi, kamu beneran nerima dia buat jadi pacar kamu?” Aku mengangguk, sebagai jawaban untuk Indriani.
Siang ini, aku dan ketiga temanku sedang berada di kantin. Suasana siang yang panas ini, membuat beberapa kantin terlihat ramai karena beberapa dari mereka memutuskan untuk membeli minuman segar. Berbeda dengan kami berempat yang memilih untuk makan siang bersama.
“Kenapa kamu terima dia, Zah?” Mendengar Defita sudah membuka mulut, aku pun segera menoleh kearahnya. Apakah aku salah sudah menerima Edi? Toh, siapa tahu rasa sayang akan muncul jika dijalankan dengan ikhlas. “Memangnya kenapa?” tanyaku bingung. “Apa karena dia siswa Ips?” Defita menggeleng, “Dia enggak baik untukmu, Izah.” Aku terdiam. Kulanjutkan aktifitasku menikmati makan siang, sembari mendengar lanjutan perkataan dari bibir Defita. Begitu juga dengan Meidi dan Indri yang sekarang sibuk dengan minuman segar milik mereka.
“Kamu enggak tau aja gimana sifat aslinya, Zah. Kamu pasti terpedaya oleh janji manisnya, begitu kan?” “Enggak sama sekali, Fi.” Kataku pelan. Mataku masih terfokus pada mie ayam yang ada di depanku saat ini. “Aku menerimanya karena aku hanya ingin menjaga perasaannya. Itu saja, Fi.” “Kenapa sih, Zah, kamu lebih memikirkan perasaan orang lain daripada perasaan kamu sendiri?” pertanyaan Meidi berhasil membuatku menghentikan aktifitas makan siang, untuk kedua kalinya. Memangnya aku salah? Terlalu memikirkan perasaan orang lain dibandingkan perasaan aku sendiri?
“Fikirkan baik-baik, Zah. Kalau menurut aku, lebih baik jalani saja dulu. Tapi, menurut orang lain pasti mereka akan langsung menyuruhmu untuk memutuskan hubungan dengan dirinya,” sambung Meidi. Meidi benar. Beberapa dari mereka terlihat senang karena pada akhirnya, aku menemukan serpihan hatiku. Tetapi, sebagian besar dari mereka terlihat tidak suka dengan laki-laki yang saat ini menyandang gelar sebagai pacarku. Termasuk Defita dan Indriani. Sepertinya, aku harus kembali memikirkan tentang laki-laki ini.
Hari demi hari telah aku lewatkan. Dan entah kenapa, hari ini terasa begitu berat bagiku. Aku dan Edi masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, tetapi baru tiga hari pacaran, dengan diam-diam dia memposting foto bersama perempuan lain ke aplikasi bbm miliknya.
Aku tidak cemburu, tetapi aku merasa terkhianati. Dia tahu aku tidak menggunakan aplikasi bbm, dan karena itu dia berani memposting foto tersebut. Aku tahu akan hal itu ketika salah satu dari abangku memasukkan screenshot ke dalam grup Biang Rumpi. Aku pikir, mereka meminta promot Instagram atau apa lah itu. Ternyata?
Sudah terduga sejak awal.
Ini adalah hari jadian kami yang keenam, jika besok masih bertahan maka hubungan kami akan genap memasuki satu minggu. Yah, masih seusia jagung tetapi tidak apa-apa. Sebenarnya, aku berharap tidak langgeng dengannya karena aku sudah tahu sifatnya yang ternyata dimusuhi oleh orang-orang.
Dia pandai berbohong. Dia merok*k. Dan aku benci akan hal itu.
Dalam enam hari ini, aku menangis berturut-turut; setiap malam, sehingga wajahku kelihatan sekali sembabnya. Mereka semua sudah menduga jika penyebab awalnya adalah Edi, dan itu benar. Aku menangis bukan karena dia menyakitiku, tetapi karena aku yang menyakiti diriku sendiri; seolah aku mencintainya, padahal tidak sama sekali!
Jika kalian bertanya apakah aku masih sanggup atau tidak? Jawabannya sudah pasti tidak sanggup.
Dan malam ini, kurasa doaku terkabulkan oleh Tuhan karena ketika aku hanya bertanya apakah dia sangat menyayangiku atau tidak, emosinya memuncak. Bahkan dia mengatakan kalau aku tidak percaya dengan dirinya. Manusia mana yang mau percaya dengan yang namanya pembohong?
Makhluk Tuhan: Kamu gak percaya lagi sama aku?! Sudah aku kata kan, bukan? Selain makanan yang bermicin, aku juga tidak suka dipaksa untuk mempercayai sesuatu karena pada dasarnya aku adalah manusia yang paling susah mempercayai sesuatu. Self: Aku percaya. Aku selalu percaya, hanya saja kepercayaanku selalu disalahgunakan. Makhluk Tuhan: Jadi, mau kamu apa? Dan, kesempatan ini telah datang. Sungguh, aku tidak akan menyia-nyiakannya lagi.
Dengan satu tarikan nafas— Self: Kita berteman saja. Itu lebih baik daripada seperti ini. Makhluk Tuhan: Baiklah
Ah, aku rasa, aku sudah mematahkan hati orang. Untuk kesekian-kalinya.
Kabar tentang putusnya hubungan antara aku dan Edi membuat satu kelas heboh bukan main. Aku fikir, mereka akan memarahiku karena telah memutuskan laki-laki yang menyukainya. Nyatanya, mereka malah bersyukur, bahkan mereka mengatakan bahwa Edi sudah bertemu dengan yang lebih dari diriku.
Aku tahu akan hal itu. Karena ketika Edi memposting foto seorang perempuan ke dalam grup alumni SMP, aku melihat dan membaca pesan itu. Pesan dimana dia mengatakan bahwa “Untuk apa mengumbar hubungan ini,” Dan aku menyadari bahwa, selama ini maksudku selama kami berpacaran, ternyata dia juga mendekati perempuan lain. Aku bersyukur, karena dipatahkan hati oleh Tuhan agar diriku terhindar dari laki-laki menyebalkan itu.
“Mau ke kantin, gak?” Aku mendongakkan pandanganku, ada sosok Indriani yang dengan sabar menungguku tersadar dari lamunanku. “Mau,” kataku sembari mengangguk.
Kami berdua berjalan beriringan menuju kantin yang jaraknya tidak begitu jauh. Tetapi mau tidak mau kami harus melewati kelas 12 IPS karena hanya jalan itulah yang menjadi jalan pintas menuju kantin. Sejujurnya, kami bisa saja putar balik dan melewati kelas 12 IPA, tapi dikarenakan jarak yang sangat jauh dan membutuhkan energi yang banyak, terpaksa lah kami menggunakan jalan pintas pertama.
Belum lagi aku akan melangkahkan kakiku untuk masuk ke kantin 7, Indriani dengan semangatnya menolehkan kepalaku ke arah pondok yang terletak tidak begitu jauh dari posisi kami berdua.
Bukan masalah pondok yang membuat Indriani sengaja menolehkan kepalaku. Tetapi masalah laki-laki.
Fadil; laki-laki itu sedang tertawa bahagia bersama teman sekelasnya. Kenapa aku tahu? Karena aku tahu segalanya. Dia memang adik kelasku, tetapi bukan berarti aku tidak tahu segalanya tentang dirinya. Ah, Indriani membuatku merasa akan gagal move on.
“Mantan calon pangeranmu,” dia berkata seraya menyeret lenganku. Aku meringis, “Aku memang menganggapnya begitu, tapi dia? Bisa saja setahun yang lalu dia menganggapku sebagai parasit yang berusaha menganggu hidupnya,” Kudengar Indriani berusaha tertawa, perempuan itu sedang memesan mie ayam dan soto untuk kami berdua. “Faizah, aku tau kalau sampai detik ini kamu belum bisa melupakan Fadil. Betul, kan?”
Diam. Itulah yang aku lakukan.
Apa benar jika selama ini aku belum bisa melupakan laki-laki itu? Apa benar—
“Buktinya, ketika kamu melihat dia tadi, kamu meremas tanganku,”
Benarkah aku meremas tangan Indriani? Ah, betapa menyebalkan diriku ini.
“Itu bukan sebuah bukti, Indri.” Kataku berusaha mengelak. “Bukti itu—”
Aku menghentikan kalimatku secara mendadak. Mataku terfokus pada Fadil yang masih berada di pondok bersama teman sekelasnya. Aku masih setia di posisiku, namun kedua tanganku saling mencengkram satu sama lain. Seolah ada energi lain yang datang menghampiriku ketika wajah Fadil terbayang-bayang di dalam anganku.
Mungkin Indriani benar, selama ini aku belum bisa melupakan Fadil. Nama laki-laki itu masih tercetak dengan jelas di dalam hatiku yang paling istimewa.
Belum ada laki-laki yang bisa menggantikan posisinya, meskipun dia hanyalah mantan gebetanku. Dan, entah sampai kapan aku bisa bertahan dengan posisi ini.
Cerpen Karangan: Nurul faizah Azile Blog / Facebook: Nurul faizah Anf nama lengkap Nurul faizah Azile. suka menulis cerpen dan novel. saat ini sedang menduduki bangku kelas 3 sma.