In time, things will fall right in place, love does too.
Jam masih menunjukkan pukul setengah enam pagi, jalanan masih lenggang, dan angkot juga belum ramai. Gadis itu berjalan tersaruk menuju angkot dengan warna dan plat kuning, berkode JPK. “Alun-alun, Pak,” Katanya seraya duduk di samping supir angkot. Yang dipanggil hanya tersenyum dan mengangkat jempol. Rupanya dunia sedang bahagia hari ini. Orang-orang berhilir mudik dengan santai, pagi terlalu pagi untuk terburu-buru. ‘toh sekolah dan kantor baru masuk pukul tujuh.
“Hei, Ann! Kamu berangkat pagi juga?” Fadil baru saja masuk angkot yang sama. Ann mengangguk sambil membalas cengiran kawannya itu. Hatinya berdesir, sesuatu yang pura-pura dianggapnya wajar karena ia tak ingin menjadi sahabat yang kurang ajar. Walaupun sebenarnya, merupakan rahasia umum bila Ann menyukai Fadil sejak lama, hanya saja ia tak pernah mengungkapkannya, dan Fadil juga belum pernah menanyakan hal “tabu” seperti itu. Bagi Ann, kisah cinta dengan teman sendiri bukanlah cerita cinta yang Fadil harapkan, ia tak ingin Fadil semakin menjauh hanya karena Ann tak sabaran untuk segera menyatakan perasaan.
Angkot melaju, kini mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Membiarkan angin menghembus lewat celah pintu dan jendela yang terbuka, memeluk Ann dan Fadil yang kedinginan karena sikap “tak tersentuh” mereka.
Selalu tiap tahun, hujan bulan November menyisakan partikel-partikel angin basah yang membuat becek jalanan. Konon katanya, partikel hujan dan angin dihasilkan dari satu rahim semesta. Membuat mereka sama-sama terjerembab jatuh namun tetap pura-pura acuh, masih saja membelai tiap manusia yang bersembunyi dibalik jaket dan payung lusuh. Seumpama partikel, Fadil dan Ann tahu benar bahwa mereka layaknya angin dan hujan, sama-sama terluka karena tak ingin mengenal apa itu cinta, lalu membiarkan dirinya sendiri menertawakan ketakutan akan kehilangan, namun tak kunjung saling mengungkapkan.
—
Pukul tiga sore, tepat saat bel pulang sekolah, Ann segera mengemasi bukunya. Hari ini ia harus cepat pulang, banyak hal yang perlu dilakukannya saat menjalani kelas akhir. Ia wajib mengerjakan tugas lebih banyak, materi lebih susah, dan tekanan ujian masuk perguruan tinggi serta ujian nasional. Juga, satu yang paling penting bagi hati Ann, seorang Fadil harus dilupakan. Kenapa harus melupakan? Rutuk Ann dalam hati, sendirian. Jadi selama ini dugaannya salah? Dugaan bahwa Fadil menyukainya juga, dugaan bahwa Fadil tidak menganggapnya sekedar teman biasa, dan semua dugaan-dugaan tanpa dasar untuk sekedar membuat dirinya sendiri berharga.
“Ann? Kamu sakit?” Ann hafal betul suara itu. Tetapi ia hanya menggeleng. Rasanya malas untuk sekedar membuka mata, juga sebatas membuang nafas. “Ann, kamu akhir-akhir ini pucat. Kenapa sih?” Suara itu terdengar khawatir. Tetapi Ann tidak menjawab. Lalu tangan pemilik suara itu menepuk dahi Ann lembut. “Badan kamu panas, Ann. Aku antar pulang ya?” “kamu jangan terlalu baik padaku, Ra.” Desis Ann seraya menyingkirkan tangan Yora dari dahinya. Sedangkan Yora mengernyit kebingungan karena sikap Ann. Apa yang dia lakukan? Yora tidak merasa telah menyakiti Ann, bertengkar saja tidak pernah.
“Hai baangg!” Yora tampak senang saat Fadil memasuki ruangan kelas. Sedangkan Fadil hanya berjalan pelan tanpa menjawab, tetapi seketika ekspresinya berubah saat melihat Ann pucat pasi di tempat duduk belakang. Gadis ini sakit, Fadil paham itu. Dan Yora menyukai Fadil, pula sebaliknya. Setidaknya memang seperti itulah yang ada dalam persepsi Ann.
“Ra, aku pamit pulang ya,” kata Ann lirih sambil menenteng tas ranselnya, ia berjalan cepat tanpa menghiraukan tatapan Fadil yang seolah mengikuti bayangannya yang kian menjauh, Ann tidak ingin peduli. Karena ia tahu, yang terjadi antara ia dan Fadil hanya hubungan pertemanan yang kini ikut berakhir karena perasaan Ann. Hujan di matanya kini mulai jatuh, angin menerbangkan harapan satu persatu.
Desember selalu indah, penutup tahun ini yang salah. I don’t love me. And that’s how I understand why Fadil don’t either. Ann tersenyum, tetapi hujan kini menjadi badai.
—
Forget yesterday, it has already forgotten you. Time run so fast, isn’t? Siang ini, matahari bersinar terik seperti biasa. Menyinari manusia agar setidaknya peduli padanya, tetapi matahari sudah lupa bahwa semakin keras dia berusaha, bukan hangat yang manusia rasakan. Sehingga mereka mulai menghindar dan menyalakan pendingin ruangan. Tetapi anak-anak ini tidak. Mereka meloncat dan menceburkan diri ke sungai, sengaja membuat guru mereka yang sabar ikut basah.
“Sini ikut berenang, Bu!” Teriak Tom sambil memamerkan kemampuannya berenang, gaya superman paus, katanya. Sedangkan Ann hanya tertawa geli membayangkan ia terjun disana lalu tenggelam dan akhirnya diselamatkan murid-muridnya sendiri. Kalau begini siapa yang pahlawan tanpa tanda jasa dan siapa pahlawan yang sesungguhnya? “Sudah-sudah! Hei, Tom! Belum pakai sabun kau rupanya! Kemari, biar ibu gosok kulitmu yang kotor kena lumpur itu,” Ucap Ann dengan logat daerah pelosok Nusa Tenggara Timur.
Nusa Tenggara Timur, ratusan kilometer dari tempat tinggalnya dulu. Ann sendiri tidak pernah membayangkan bisa berada disini, apalagi sampai mengajar sekolah dan tinggal bersama relawan lainnya. Yang jelas ia bahagia, itu yang membuatnya bertahan selama puluhan bulan tanpa bayaran. Untuk operasional sekolah, tiap sehabis mengajar Ann sering bekerja di percetakan pusat kabupaten, selain itu beberapa donatur sering datang untuk menyumbangkan dana dan sarana untuk sekolah yang ia kelola.
Damn it! Ann baru ingat bahwa hari ini ia harus menemui donatur dari Surabaya. Ia menepuk jidatnya sendiri. Ann agak merasa bersalah, tetapi sebenarnya donatur itu juga terlampau keras kepala, Ann sempat muntab karena kecerewetannya.
“Ibu Annelies, bapak yang kemarin datang, sekarang mau ketemu Ibu,” Seru Tom yang menyebut seluruh pria donatur sebagai bapak, tak peduli umurnya. “Dia sudah disini, Ibu Ann!”
Anak-anak menggerombol ke tepi sungai, berdesakan dan ramai. Ann tidak pernah memaksakan akhirnya harus bahagia, ia tidak suka memaksakan kebahagiaan. Ann tidak pernah berharap apa-apa. Dan Ann tidak pernah mengharapkan cinta selain dari dirinya.
“Kenapa kesini?” Fadil tertawa, mataya menyipit. Masih sama seperti dulu. “Ann, sepertinya kita jodoh,” Fadil boleh saja bersumpah bahwa ia tidak mencari Ann hingga sejauh ini. Tetapi mengenai rindu dan perasaan, ia akhirnya mengerti. Ann ikut tertawa. Langit cerah, badai dan hujan sudah reda. Sayangnya Ann dan Fadil baru menyadarinya.
Cerpen Karangan: Annisa Kusumawardani Blog: cupofrainydays.wordpress.com