“Wan, bangun!” suara dari luar pintu kamar memanggilku. Aku yang sedang tertidur waktu itu langsung terbangun. “Wah, sudah agak siang nih.” Pikirku yang ketika melihat jam di samping kasurku menunjukkan pukul 6.30 WIB. Bangun tidur, kemudian aku bersiap-siap berangkat ke sekolah. “Kalau sudah kuliah baru diberikan motor.” Ujar Bapakku kepadaku. Aku kemudian bergegas berjalan ke sekolahku. Pakaian SMA lengkap sudah kukenakan. Ada perasaan aneh menggelayuti perasaanku semenjak aku bangun tidur tadi sampai aku memasuki gerbang sekolah. Namun perasaanku itu kubiarkan saja, karena aku lebih berkonsentrasi untuk jalan dan bersekolah hari ini.
“Iwan, apakah kamu sudah siap dengan ujian tertulis matematika hari ini?” tanya temanku Syara, aku hanya mengangguk dan kemudian mengatakan “ya” padanya. Syara yang berada di depanku lantas tersenyum, lalu aku mengambil posisi duduk di belangku, yakni kursiku kelima dari belakang sebelah kanan pintu masuk kelas.
Kelas waktu itu sudah ramai, jam di tanganku menunjukkkan jam 7 (tujuh) kurang. Lembaran soal matematika mulai dibagikan. Satu persatu murid-murid di kelasku mendapatkan lembaran soal, terlihat wajah yang berbeda di masing-masing murid itu. Ada yang senang, was-was, cemas, bahkan ada yang cengengesan, mungkin dia belum siap menghadapi ujian ini, pikirku.
Lembaran soal mulai mendekatiku. Kemudian datanglah guruku di sebelah kananku. “ini soalnya untuk kamu kerjakan.” Ujarnya. Aku menoleh ke arah kananku seperti biasa. Melihat guruku yang seorang wanita itu, yang bernama Bu Ani. Seketika aku menoleh ke arah kanan seperti ada yang tidak biasa.
—
Malam itu di rumahku, sebelum hari ujian itu berlangsung, aku terbangun. Sebelumnya ketika tidur aku seakan melihat wajah seorang bidadari yang persis di hadapanku. “Kamu siapa?” tanyanya kepadaku. Kemudian aku menjawab dengan jelas namaku kepadanya. Hatiku tenang sekali dan damai dibuatnya. Ia begitu mempesona.
—
“Iwan.” Kataku perlahan namun jelas. “Iwan kerjakan soal matematika ini dengan serius, jangan kebanyakan melamun.” Ujar Bu Ani kepadaku, namun seakan tak kudengar jelas perkataan itu. Aku hanya masih melihat wajah seorang wanita di seberang mejaku dan temanku yang ada di samping kiriku. “Seperti wajah yang kulihat di dalam mimpi kemarin malam,” kataku dalam hati kepada diriku sendiri. Setelah melihatku, ia kemudian menaruh muka ke depan lagi.
Ujian sudah selesai. Tepat dua jam setelah soal kukerjakan. Beberapa waktu kemudian, setelah ganti beberapa pelajaran, kami banyak yang sibuk sendiri. Di kantin, para murid sudah ramai. Maklum sudah jam istirahat. Aku sendiri memilih makan siomay. “Wan, gimana tadi lo bisa gak ngerjainnya?” tanya kawanku kepadaku, Anto. “Bisa.” Jawabku singkat kepadanya. Obrolan kami masih berlanjut di kantin itu.
Matahari mulai meninggi di awan. Waktu bersekolah sudah mulai mendekati akhir, murid-murid sudah siap untuk pulang sekolah. “Wan, hati-hati di jalan ya!” ujar Ita dari jarak beberapa meter dariku. Aku hanya terseyum lantas mengiyakan sarannya itu. Ia wanita yang cukup cantik di sekolahku, bagiku juga ia teramat cantik, malahan ia bisa disebut primadona di kelasku. Kemudian ku bergegas untuk pulang sekolah.
Teman-temanku satu sekolah mulai keluar dari gerbang sekolah, tak terkecuali aku. Sambil berjalan aku masih memikirkan pelajaran apa saja yang aku pelajari di sana. “Wan, mau pulang bareng gak?” tanya Anton kepadaku sambil menaiki motornya. “Boleh!” ujarku semangat kepadanya. Aku kemudian menaiki motor Anton untuk ia gonceng. Motor pun jalan perlahan.
Di jalan kecil, masih di dekat sekolah. Ia terlihat seperti biasanya, menunggu seseorang yakni pacarnya untuk pulang bersama menaiki angkot. Ia adalah wanita teman sekolahku yang kulihat tadi sebelum ujian matematika, yang cepat membuat konsentrasiku pecah. “Husnah…” Ujarku dalam hati.
Cerpen Karangan: Agung Darmawan Blog: blogagungoke.blogspot.co.id sederhana