T. Dia memang dipanggil begitu. Dengan satu huruf alfabet saja, T. Dia gadis cantik berbadan tinggi, kutaksir, tingginya sekitar 168 cm. Dengan rambut panjangnya yang lurus, dan pinggangnya yang ramping, sulit sekali tak meliriknya ketika dia sedang berjalan. Aku mengenalnya setahun yang lalu. Koreksi. Bukan mengenal, lebih tepatnya melihat. Aku melihatnya setahun yang lalu untuk pertama kalinya.
Aku begitu ingat. Siang itu aku sedang berdiri di balkon ruang kerjaku. Omelan dan repetan managerku memenuhi kepalaku. Telingaku panas dan amarahku hampir saja meledak melalui percakapan telpon yang baru saja berakhir 30 detik yang lalu. Aku menghembuskan nafas dengan kesal yang tertahan. Sudah berulangkali kukatakan untuk resign, selalu berakhir dengan kata ‘tidak jadi’ hingga masalah yang sama berulang, omelan yang sama berulang, lalu kata resign dan tak jadi ku juga berulang. Huuuufftttt… Sedang asyiknya ngedumel dalam hati, mataku tak sengaja menangkap sesosok siluet wanita yang menarik pandanganku seketika.
Didepan mataku, jauh diujung sana, kulihat pantulan bayangan seseorang yang menarik. Rambut panjang dan kaki jenjangnya membuatku menyimpulkan bahwa dia seorang wanita. Dasar aku lelaki yang gampang penasaran, kuikuti arah langkahnya hingga dia hilang dari batas pandangku. Kutunggui dia selama beberapa menit. Satu menit, dua menit, tiga menit.. Mataku kembali menangkap bayangannya. Tak sia-sia kutunggui dia untuk beberapa menitku yang berharga. Benar. Dia Wanita yang cantik sekali.
Entah langit dan bumi memang sedang menyenangkanku setelah bertubi-tubi masalah yang kuhadapi di kantor ini atau memang hanya sekedar bermain-main denganku, mataku cukup terkejut ketika di pagi Senin setelahnya, kudapati dia, -wanita yang menarik perhatianku itu-, dengan santainya sedang duduk di pantry, menikmati secangkir kopi hangat dan kue coklat. Saking asyiknya dia dengan tatapnya yang tertuju keluar jendela pantry, dia tak melihatku yang berusaha terlihat santai dengan menyeduh segelas teh, tepat disebelahnya.
“T, lo mau nitip ga? Kevin mau beliin sarapan tuh…” Oh namanya T. Tentu saja kucatat itu dalam hati. Kulihat dia menggeleng sembari tersenyum manis ke koleganya yang barusan bertanya. Sedetik kemudian kami berpapasan mata. Dia tersenyum simpul. Sepertinya mereka dari Marketing Department. Samar-samar, tapi kurasa dugaanku benar. Sedang aku dari Creative Department, mencakup segala advertising dan edit-mengedit didalamnya. Walau satu gedung, komunikasi department yang satu dengan department yang lain cukup terbatas. Seperti halnya aku yang Head Chief, aku biasanya akan berkonsultasi atau berkomunikasi dengan Head Chief dari department lain. Begitu sebaliknya. Dan selama hampir dua tahun bekerja di kantor ini, aku belum pernah bertemu, berpapasan, atau melihat wanita ini sebelumnya berkeliaran di kantor ini. Mustahil aku melewatkannya. Atau memang aku yang selama ini terlalu terpaku pada duniaku sendiri?
Sudah hampir tiga bulan aku menjalankan rutinitas baru yang menurutku menyenangkan. Rutinitas yang entah sejak kapan menjadi kebiasaan dan aku enjoy melakukannya. Rutinitas itu adalah menyeduh teh setiap pagi sesampaiku di kantor dan duduk menyantap sarapan, -yang kalau dulu selalu kulakukan di rumah-, di pantry kantor. Biasanya kuhabiskan sekitar 20-30 menit disana. Duduk membelakangi pintu pantry dan menghadap keluar jendela. Ternyata duduk disana cukup menyenangkan. Kusayangkan waktuku yang berlalu tanpa melakukan rutinitas ini. Ataukah gadis ini yang membuatku nyaman melakukan rutinitas, -yang kalau kata temanku yang lain-, aneh ini?
T. Sudah tiga bulan sejak pertama kali aku melihat dia disini. Sedang duduk manis tanpa menyadari kehadiranku. Selama tiga bulan yang diam ini, aku berusaha tidak berisik didekatnya. Menikmati waktu 20-30 menit kami dalam hening. Beberapa hal yang kucatat darinya. Dia begitu suka cappuccino coffee dan chocolate cake. Dia suka mengenakan jaket. Suka berbandana, dan suka menatap rintik hujan. Dia seringkali menyadari keberadaanku disampingnya kini. Dan dengan sederhana, dia akan tersenyum dengan manis sekali. Senyumnya cukup membuatku berdebar-debar tak menentu sepanjang hari.
Kalau kupikir-pikir, aneh juga. Aku bukan anak a-be-ge belasan tahun yang baru pertama kali tertarik pada wanita. Usiaku sudah hampir 28 tahun. Kurasa aku sudah cukup dewasa untuk bisa mengimbangi semua perasaan-perasaan itu. Yah walaupun aku belum sekalipun pernah berpacaran dengan wanita manapun selama 28 tahun aku hidup. Tetapi dari segi umur, aku harusnya sudah cukup mature untuk meng-handle itu kan?
Pagi ini cukup sendu dengan hujan yang terus turun menemani awal aktivitasku. Aku melangkahkan kaki ke kantor dengan sedikit agak berlari, menghindari hujan yang tanpa enggan membasahi kemejaku. Salahku, tak kubawa payung padahal hujan sudah turun sejak dini hari tadi. Setelah meletakkan tas di mejaku, aku bergegas menuju pantry. Kudapati T sudah duduk disana, seperti kebiasaannya hari-hari kemarin. Dengan tenang aku menyeduh teh dan duduk disebelahnya. Dia tak melirik, seolah sudah tahu bahwa akulah yang duduk disana. Aku hendak menawarkan cake coklatku padanya, -untuk pertama kalinya-, ketika kudengar dia sedikit terisak.
Aku mengurungkan niat. Aku menelan ludah. Apa yang harus kulakukan sekarang? Menepuk pundaknya seperti orang sok kenal sok dekat? Tidak, itu bukan ide yang bagus. Aku memutuskan duduk diam tak bereaksi apa-apa. Kuputar satu lagu dari ponselku. Lagu lama dari The Beatless ‘let it be’. Tak ada niat apa-apa. Aku hanya sedang berusaha menyamarkan suara isaknya dengan suara music dari ponselku. In case ada orang lain masuk ke pantry secara tiba-tiba. Semoga wanita ini bisa memahami arti dari apa yang sedang kulakukan. Waktu dudukku di pantry ini sedikit agak lebih lama dari biasanya pagi ini. Kutemani dia hingga dia dia agak tenang. Tetap saja tanpa suara. Ketika isakannya sudah tak terdengar lagi, aku melangkahkan kaki keluar, kembali bekerja, sebelum omelan dari managerku mendarat manis di telingaku.
Keesokan harinya aku berangkat ke kantor seperti biasa. Hari kemarin terlalu sibuk hingga menyita banyak waktu dan pikirku. Tak kulihat lagi T seharian, dan aku sama sekali tak ada waktu untuk mencoba mencari tahu keadaannya. Baiklah, aku akui aku sedang berbohong. Aku bukannya tak ada waktu, aku hanya tak tahu harus mengkhawatirkan dia dengan cara apa. Aku tak punya nomor ponselnya. Ya, memang aku bodoh sekali. Saat-saat ini aku benar-benar mengutuki tingkah konyolku yang tak pernah bertanya padanya tentang apapun juga, -termasuk nomor ponselnya, mungkin-, selama tiga bulan kami yang diam itu. Lihat sekarang, aku khawatir tapi tidak tahu harus berbuat apa, dan akhirnya kuputuskan tenggelam dalam segala sibuk ini.
Pagi ini tak kudapati T di pantry. Kutunggui dia untuk beberapa waktu dan dia tak muncul. Aku mulai bertanya-tanya dalam hati. ‘Ada apa dengannya? Kemarin dia terisak, dan hari ini dia tak ada. Apa dia sedang sakit? Apa dia sedang butuh bantuan? Apa dia baik-baik saja?’. Banyak tanya tak tersampaikanku untuknya. Kugeser kursi yang biasa dia duduki, kupandang pemandangan yang biasa dia pandangi dari balik jendela itu. Ada sedih yang menggelitik di hatiku. Untuk ukuran seorang lelaki dewasa, aku memang terlalu sensitive dibanding teman-temanku yang lain.
Seharian perasaanku tak enak. Ada yang hilang, ada yang tak berada pada tempatnya. Ini terlalu aneh sebenarnya. Aku belum pernah menyapanya, belum pernah bertukar cerita, belum pernah berbincang dan bertukar tawa, lalu mengapa perasaan kehilanganku begitu besar? Apa memang hadirnya saja sudah membuatku secandu itu padanya? Ada harap besar di hatiku akan kemunculannya esok hari. Dan entah dengan cara apapun, aku berjanji pada diriku sendiri untuk menyapanya, mengajaknya bercerita, dan mungkin memenangkan hatinya. Kubulatkan tekadku. Lalu, sedikit banyak aku mulai memfokuskan pikiranku di sisa hari itu.
Ketika keesokan dan keesokannya lagi dia tak pernah muncul dihadapanku. Aku merasa begitu sedih. Banyak waktuku terbuang dengan keraguan-raguan dan pertimbangan tak jelasku. Meninggalkan semua tanya tak terjawab, gelisah, dan patah hati. Iya, aku patah hati. Tidak kusangka aku akan sepatah ini. Mengingat tak banyak interaksi diantara kami. Nyatanya semesta sedang membecandaiku, namun kurasa candaannya kali ini cukup keterlaluan. Di ujung ingin yang kupaksa hadir untuk berani memulai kata, dipersembahkan untukku sebentuk perpisahan tanpa pamit dan aba-aba. Bahkan di usia dewasaku yang tak pernah berbagi rasa dengan siapapun, aku dikoyak, dengan hebat. Tanpa persiapan apa-apa, aku hanya menyesali waktu yang berlalu, lalu memaafkan semuanya, berusaha berterimakasih pada sosoknya yang diam-diam kuamati dan memberiku banyak bahagia.
Aku menghela napas dengan berat. Ada sesak yang menghimpit paru-paruku. Aliran darahku sedang tak bekerja dengan baik. Aku memejamkan mata. Aku sedang berdiri di balkon ruang kerjaku, tempat dimana pertama kali kulihat T dengan siluet indahnya diujung sana. Aku menghirup udara dengan bebas. Merengkuh kenyataan dengan tubuh ringkihku. Semoga ada lain kali. Semoga ada hari lain. Semoga ada rasa lain, semoga ada cinta lain. T… semoga kita bertemu lagi. Lain kali.
Salam, Yos…
Cerpen Karangan: Tanty Angelina Blog / Facebook: Tanty Angelina IG : @tanty_angelina / @setengah_cerita
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 18 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com