Pesan itu tidak sampai! Barangkali kau lupa atau memang sengaja tidak kau kirim?
Aku ingat waktu pertama kali melihatmu. Kau datang tanpa permisi dengan senyum manis tepat bersamaan dengan senja datang. Sejak detik itu pikiranku mulai penuh, sengaja berlarian di fikiranku siang hingga malam. Aku kira ini hal yang wajar sebab hati memang suka bermain-main pada setiap tokohnya.
Aku tidak pernah menduga secarik kertas putih sampai ke rumah, dengan warna biru manis pertanda hal yang baik. Konon katanya jika secarik kertas datang tiba-tiba tanpa kau sangka, akan ada kode bahagia di setiap kata yang kau terima. Yahh benar saja, sapaan demi sapaan tertulis dengan rapi. Aku tidak ingin berdrama dengan keadaan namun aku sangat tergila-gila dengan setiap pesan yang kau kirim, aku tidak tau tapi aku enggan bisa mengeluarkanmu dari isi kepalaku.
Entahlah perihal apa ini, bukan apa yang ada pada dirimu namun jika kau percaya, denganmu aku merasa baik-baik saja (semoga kau juga).
Kau selalu mampu membuatku berkata jujur di setiap topik yang sengaja kita ketik, namun aku terlalu pelupa untuk ekspektasi yang sering kita baca. Bukannya sulit, tapi menduga-duga kau milik siapa adalah hal terlemahku, bukannya tidak baik bergelut dengan ekspektasi? memaksa waktu berjalan sesuai keinginanmu.
Kita terlalu menikmati suasana di zona nyaman, berkecimpung hangat pada ruang tunggu, dan terlalu akrab di lubang pertemanan. Bagaimana bisa kita tetap tinggal pada rumah tanpa tiang, bukankah sewaktu-waktu bisa roboh dan hancur? Otakku berpikir keras, mencoba meraba-raba jalan keluar menyisihkan waktu untuk menebak-nebak kata, kemana harus pergi. Membawa diri agar tidak terbuai terlalu dalam. Ketika langkahku mulai menemukan jalannya, sementara tanganmu seakan mencegahku ke mana-mana.
Tunggu, setelah pesan-pesan itu terkirim banyak ribuan kata yang harus kita jelaskan. Lihatlah, itu hanya pesan. Rangkaian kata yang sengaja kau sematkan menjadi memori, tidak ada arti, guyonan kita semalam hanya sebagai pengantar tidurmu, kau terlelap dengan mimpimu sedangkan aku terbelenggu dengan cerita fiksi yang tidak sengaja kita rangkai. Kalimat demi kalimat memaksa kita untuk tetap tinggal.
Sesekali ikutlah denganku, ke dunia di mana kau akan percaya tanpa aku harus repot-repot menuliskan berbait bait puisi agar kau mengerti. Di dunia khayalan mungkin kau akan menerimaku tanpa rasa sungkan. Tak apa kan jika sesekali aku sedikit memaksa? Walau begitu, Aku tetaplah aku dan kamu ya kamu. Jangan khawatir aku akan tetap menjadi temanmu, yang setia mendengarkan keluh kesahmu, mengusap setiap air matamu, menjadi mentari saat harimu mulai kelabu.
Aku harap tidak ada air mata di pelupuk matamu, Aku harap bibirmu tak pernah mengering atas kata yang tak pernah terkirim ah…. Mungkin saja hanya aku. Tak apa aku masih baik-baik saja sementara ini, masih mampu membalas semua pesanmu yang semakin singkat. Untuk badut sepertiku itu adalah hal biasa.
Kepalsuan hadir di antara aku dan kamu, mana berani Aku menginginkan cerita yang lebih daripada ini? Sosok sempurna sepertimu tidak pantas untuk seorang pemalas sepertiku. Bagaimana tidak? Aku sangat malas saat ingin menghapus pesan singkat di setiap kolom chat kita, malas berdebat denganmu, dan malas untuk melupakanmu. Kurang ajarkah aku jika sewaktu-waktu memberikan bahuku untuk tempat menyandarkan kepalamu? Tanganku masih kosong jika kau butuh untuk menggenggam saat dunia mulai menenggelamkanmu. Tapi jika kau enggan aku pun juga tidak memaksa.
Bak orang dungu, seperti kebodohan yang sengaja aku tumbuhkan. Kata rindu yang tersirat membuat aku semakin berdarah-darah, namun tetap saja aku berharap kau akan membalasnya.
Aku tidak pernah tau di mana sebenarnya perasaanmu bermukim. Adakah rumah yang sudah kau tinggali ataukah masih menjelajahi tempat untuk kau singgahi. Mungkin sangat susah untuk kau cerna tapi bisakah kau buka sedikit bola matamu untuk melihatku, bukankah aku cukup besar untuk terlihat olehmu?
Menyayangimu adalah suatu hal yang semu hal yang tidak bisa aku gapai dengan tangan kosong, perihal kau bahagia adalah keharusan entah denganku atau tidak, Aku harap tidak akan menjadi masalah bagiku.
Aku harap kau selalu baik-baik saja, jangan risau atas diamku, aku hanya sedang bertengkar dengan isi kepalaku sendiri. Jangan terkejut aku sudah biasa berpura-pura tersenyum. Tugasku hanya menghiburmu dan menemanimu entah dengan siapa kau berlabuh. Hanya saja Aku sedikit kecewa karena bukan aku yang membuatmu benar-benar bahagia.
Kau yang aku kira tercipta sebaik-baiknya Tuhan menciptakan, pantas mendapatkan yang terbaik namun jika tidak, izinkan aku berusaha lebih keras lagi.
Bagaimana bisa orang membuatmu terluka, sedangkan aku mengacuhkan pesanmu saja aku tidak mampu. Selusuh itu memang aku.
Kita sama, terlalu pintar menyembunyikan perasaan atau terlalu bodoh untuk menyatakan. Entahlah kurasa begitu.
Saat pesanmu tak lagi hadir di kolom chatku aku mulai yakin mungkin tugasku telah usai. Tapi rasa khawatirku mulai menggebu-gebu terkoyak pecah di bagian otak kiriku. Harusnya aku sudah menduga sejak lama bukan malah berdiam diri memandang layar handphone menunggu notifikasimu.
Ah sudahlah…. Bukankah aku sudah memupuk rasa luka sedari awal lalu mengapa aku harus basah di bagian terakhir. Sesekali aku harus belajar menjadi manusia biasa, wajar saja bila terluka wajar saja bila tidak baik-baik saja. Bahkan manusia terhebat di dunia pun pernah merengek-rengek kesakitan.
Sembuh itu butuh waktu tidak ada yang tahu dan tidak juga direncanakan. Sesekali rasa luka itu perlu dinikmati untuk menjadikan kita lebih bijak lebih berpikir dan membiarkan diri untuk memilih. Boleh saja untuk beristirahat boleh saja untuk menyerah, tidak ada sesuatu yang patah dan tidak tumbuh. Kau hanya perlu memulai kembali.
Menghapus segala pesan yang tersemat, mencari rumah ternyaman, atau mengangkat tangan untuk sekedar berdoa agar diberi keajaiban, kuharap aku bisa memilih semuanya.
Ayolah hentikan isakan tangismu bukankah itu terlalu berisik dan mengganggu? Dia bukan pilihan ganda pada kertas ujianmu, kau tak perlu pusing untuk memikirkannya bahkan jika kau tidak memilih salah satu diantaranya, tak apa Tuhan tak akan memarahimu.
Untuk sembuh memang tidak bisa terburu-buru, Tapi juga jangan berlama-lama mengenang seseorang yang memang tidak ditakdirkan untukmu.
“Tidak harus sembuh sekarang tapi harus bisa”
Cerpen Karangan: Jaseema jane Blog: Manusiadarimanusia.blogspot.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 23 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com