Mata lelaki itu tertumbuk lagi dengan pandangku yang berkeliaran secara acak menjelajahi keadaan luar kelas ketika jam istirahat tiba, sesaat setelah pemilik mata itu pergi senyumku terukir untuk kesekian kalinya, kali ini telah terhitung tiga perempat dari dua caturwulan di masa SMAku, kejadian bertatapan yang setiap hari terus terjadi setidaknya satu kali telah mengobati perasaan yang selama ini kurasakan walaupun aku tidak tahu apakah semuanya terjadi sengaja atau hanya kebetulan, miris.
Jika tatapan tersebut tidak bisa kujumpai setiap duduk mendengarkan penjalasan guru ketika jam belajar, aku akan memandang ke arah sekre osis atau ke lapangan olahraga yang menjadi lingkup tugasnya sebagai anggota kepengurusan bidang olahraga sembari berdusta perpustakaanlah yang menjadi tujuan utamaku dengan temanku ketika ia bertanya kemana akan perginya aku.
Tidak bisa aku pungkiri bahwa perasaan jatuh cinta yang seperti inilah yang pertama kali kurasakan, bahkan tanpa memandang fisiknya aku telah jatuh hati dengan sikapnya, ketika berpidato membuka acara perlombaan liga sekolah atau membantu memarkirkan motor sebagai salah satu tugas wajibnya. Tidak ada yang terlalu mencolok dari fisiknya namun satu yang pasti aku telah jatuh ke dalam pesona sikap dan senyumnya yang manis dengan tambahan gigi gingsul. Semua itu adalah alasanku menyukai seseorang bernama Ian.
Kenalkan, aku adalah Vira gadis biasa saja yang memiliki sejumlah skenario indah untuk lelaki satu-satunya yang ia sukai ketika masa sekolah menengah atas. Jika ketika sekolah menengah pertama aku adalah gadis yang terlalu ambisius mengejar kakak kelas tampan maka sekarang aku akan menyukainya dengan tenang, mengamati setiap perilakunya yang menjadi sketsa terbaik di pikiranku dan memotret dengan fokus terbaik untuk dimasukkan ke dalam pikiran ini serta menjadikan perilaku sebagai alasan terbesar aku menyukai seseorang.
Aku terlalu banyak tersenyum ketika menuliskan keinginan indah bak novel di buku diary kecil murahan bergambar koala yang kubeli dari sisa uang saku, syukurlah ketika senyumku merekah lebar berpangku tangan di meja belajar ayah dan ibu serta adikku tidak pernah melihat, bisa gawat jika semua itu terjadi yang pasti adik perempuanku akan senang mengolokku denga mulut jahilnya secara terus-menerus.
Untuk perasaan dengan Ian aku selalu optimis setidaknya tidak ada gadis lain yang ia jadikan kekasih aku telah senang bukan kepalang. Sampai suatu jam istirahat di hari senin Dina teman yang duduk tepat di belakangku tersipu malu mendengar teman sebangkunya mengatakan bahwa ada murid kelas sebelah yang menyukainya. Saat itu aku terlalu terbenam dengan senyum malu Dina tanpa menyadari bahwa mungkin saja akan terjadi bencana pada hatiku sendiri, benar saja ketika Ian berjalan sendiri melewati kelas dengan mata yang tertuju padaku serta bisikan teman sebangku Dina bahwa lelaki itu adalah yang ia bicarakan, sontak saja tubuhku mematung kejadian awal tatapan kami bertemu dan terjadi secara berulang berputar sepeti kaset di kepalaku dan akhirnya aku menyadari bukan aku yang ia ingin lihat melainkan gadis yang sedang tersipu malu dibelakangku… Dina.
Kurasakan pikiran tubuh ini entah telah melayang kemana pertanyaan yang diajukan teman sebangkuku tak kuhiraukan dan tanpa satu orangpun sadari, air yang terbendung di mataku telah menetes tanpa dicegah. Itu adalah hari pertama patah hatiku untuk cinta pertama di sekolah menengah atas yang akan kurencanakan menjadi cinta terakhir ketika lulus.
Sejak saat itu mataku tidak pernah beralih ke pintu kelas ketika jam pelajaran, papan tulis adalah fokus utama terbaikku untuk menyembuhkan patah hati. Keinginan untuk berfoto dengan Ian satu kali saja sebelum lulus entah hilang kemana sejauh ini itu adalah keinginan sederhana yang paling ingin terwujud. Namun akibat tragedi yang tidak ada dalam skenario di kisah cintaku, aku memutuskan untuk berpasrah melepaskan satu persatu mimpi yang kubangun susah payah.
“Vir, itu aku salah lihat atau gimana ya Ian lihat ke arah kamu terus tiap lewat kelas kita” bisik Loli ketika Pak Wawan menjelaskan materi karya ilmiah di depan kelas. Sontak aku terdiam kemudian perlahan mengalihkan fokus ke tempat yang Loli sebut, sontak aku mematung ketika melihat Ian yang berhenti tepat di sisi kiri pintu kelas tersenyum tipis ke arahku kemudian berlalu perlahan. Secepat kilat aku berbalik ke bangku tepat di belakangku menatap Dina yang sedang menyalin tugas dari buku temannya kemudian aku kembali berbalik menatap tempat Ian tadi beridiri, Itu tadi… Maksudnya apa?
“Vir! ditanyain kok malah lihat ke arah Dina itu Iannya udah pergi telat sih kamu” hardik Loli sembari terus berbisik agar tidak ditegur oleh Pak Wawan yang terkenal dengan sikap dinginnya ketika marah. “A… ah mana mungkin Li itu mungkin dia lagi lihat Dina di belakangku” aku menjawab pelan dengan kegugupan yang mulai mencuat. “Kamu enggak denger, kemarin anak kelas bilang kalau Ian udah suka Dina dari awal kelas 10?” taambahku dengan hati yang sedikit nyeri ketika menyadari apa yang baru sajaku ucapkan. “Masa sih? aku udah sering lihat Ian lihatin kamu tiap lewat kelas kita dan hari ini aku makin yakin kalau dia emang lihatin kamu waktu dia bela-belain berhenti di deket pintu kelas” percakapan kami yang berupa bisikan terhenti ketika suara tenang Pak Wawan terdengar dengan tatapan dingin tertuju ke arah kami berdua, sontak aku dan Loli duduk tegap serta kehabisan kata-kata untuk diucapkan.
Tidak seperti sebelumnya hari ini langkah kakiku menuju perpustakaan sekolah hanya untuk meminjam buku bukan untuk melihat Ian atau hal lainnya, ya hanya untuk meminjam buku! Ketika melewati sisi pinggir lapangan tidak sekali pun kutolehkan kepala ke arah lapangan, fokusku tetap lurus menatap koridor sekolah menuju perpustakaan.
Suara gaduh murid yang bermain futsal kuhiraukan, bukannya tak tahu jadwal olahraga kelas siapa hari ini tetapi lebih baik aku berpura-pura tidak tahu untuk diri sendiri, itu akan jauh lebih baik untuk hati yang sedang berupaya melupakan. Setelah selesai meminjam buku di perpustakaan segera kulangkahkan kaki keluar, menghampiri rak sepatu dengan kepala yang tertunduk kemudian memakai sepatu dengan berjongkok.
Saat memakai sepatu aku mengernyitkan dahi ketika melihat dua sepasang sepatu yang terpakai di kaki seseorang tetap diam berdiri di sisi kanan dengan jarak dua langkah kurang dariku. Sontak saja aku terkejut ketika berdiri menatap siapa orang yang berdiri tepat di depanku dengan seragam olahraga. Aku masih mematung menunggu apa yang akan Ian katakan mungkin ada pesan yang harus kusampaikan kepada ketua kelas.
“Hai kenalin aku Ian!” Ian mengulurkan tangannya untuk menyambut telapak tanganku, untuk sesaat aku diam terpaku menatap uluran tangan perkenalannya yang tidak ada dalam skenarioku. “H..ai aku Vira!” setelah sadar dari keterpakuan aku menyambut uluran tangannya pelan, kemudian menatap wajahnya yang dihiasi dengan senyum cerah senyum yang sering kulihat ketika ia berbincang dengan rekan osis.
Sekian detik berlalu kami berdua masih diam terpaku menunggu salah satu dari kami mengucapkan satu atau dua kalimat. Jantungku masih seperti sebelum aku memutuskan menghapus perasaan ini, degupnya tetap ada. “Em.. aku ke kelas duluan ya” ucapku setelah meyakinkan tidak ada yang akan ia bicarakan atau pesan yang akan ia titip. “Sebentar..” jawabnya pelan menghentikan langkah kakiku yang akan berbalik menuju kelas, kemudian kulihat raut wajahnya yang gugup dengan tangan menggaruk kepalanya. “A…ku suka sama kamu Vira” pernyataanya membuatku diam terpaku mengalihkan pandangan ke arah lapangan yang hanya tersisa satu atau dua teman kelasnya. Degupku semakin cepat saja ketika melihat dirinya tersenyum gugup ke arahku.
“Tatapan yang sering bertemu itu bukan ketidaksengajaan, tapi itu adalah kesengajaan yang kubuat…” Ian mengambil jeda sejenak untuk melontarkan kembali pernyataan dalam percakapan pertama kami. “Semuanya berubah ketika aku tahu siapa kamu dan bagaimana dirimu bersikap, nyatanya aku telah jatuh dengan pesona sikapmu bukan wajahmu.” pernyataannya ditutup dengan senyuman tulus secerah mentari hari ini.
Aku bahagia bukan kepalang perasaan Ianlah yang selama ini kudambakan, perasaan yang tumbuh bukan karena alasan fisik melainkan karena sikap yang tidak akan mudah luntur ditelan waktu.
“Terima kasih Ian!” ucapku bahagia membalas senyumannya, koridor ini menjadi saksi bisu betapa aku menyukai sosok lelaki di depan ini serta skenario terbaik yang Tuhan buat untuk kisah cinta di masa sekolah menengah atasku.
Cerpen Karangan: Rhee
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 23 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com