“Saya terima nikah dan kawinnya Azkia binti Ahmad dengan mas kawin tersebut tunai.” “Sah?” “Sah.” “Alhamdulillah.”
Inilah jawaban untuk setiap doa yang selalu kulangitkan dalam heningnya sepertiga malam. Tak pernah sekalipun aku melupakan namamu saat bernegosiasi dengan Tuhan. Berharap kamu adalah jodoh yang telah tertulis di lauhul mahfuz untuk bersama-sama menggapai ibadah panjang menuju jannah-Nya. Namun, semua itu hanya harapan kisah kita tak seindah Ali dan Fatimah yang sama-sama mencintai dalam diam, lalu berakhir dalam ikatan suci. Dalam kisah kita, mungkin kita sama-sama berdoa disepertiga malam dengan aku yang menyebut namamu dan kamu menyebut nama gadis lain.
Bertapa bodohnya aku masih mengharapkanmu saat kamu dan gadis pujaanmu menyebarkan sebuah undangan. Saat itu, aku masih saja berharap ada keajaiban dan saat itu pula doa-doaku masih tetap saja aku langitkan memintamu pada Rabb yang maha membolak balikan hati manusia.
“Undangan? Dari siapa dan untuk siapa?” “Dari aku untuk sahabatku Anindya. Undangan itu spesial untuk kamu karena orang pertama yang kuberi undangan adalah kamu.”
Masih aku ingat senyum bahagiamu saat memberikan undangan yang kamu sebut spesial untuk seorang sahabat. Padahal dalam lubuk hatiku yang terdalam aku mencelos, berupaya menyakinkan diri bahwa semua itu hanyalah mimpi buruk. Namun, ternyata kenyataan menampar telak bahwa nyata adanya.
Kini, embun-embun air mata berjatuhan dari kedua pelupuk mata saat satu persatu tamu undangan memberikan ucapan selamat sekaligus doa. Sementara aku masih bersembunyi di balik dinding untuk menetralkan hati yang berkecamuk dan memgumpulkam keberanian. Keberanian untuk mengucapkan sebuah kata ‘selamat’. Aku mulai meyakinkan diri untuk melangkah maju memberikan selamat, namun kembali urung saat denyutan nyeri kembali mengeruak. Sesakit inikah rasanya melihat seseorang yang dicintai berdiri di pelamainan dengan pilihannya?
“Anin, kenapa kamu berdiri di situ?” tanya seorang wanita paru baya yang sudah kuanggap seperti ibuku sendiri karena saking dekatnya. “Gak apa-apa, Tante,” jawabku tersenyum berusaha menyembunyikan apa yang sedang aku rasakan.
Ia menatapku, lalu tak lama ia membawa tubuhku dalam dekapannya. Tangannya mengusap lembut punggguku. Ah, wanita paru baya ini tahu apa yang sedang aku rasakan, ia tahu betul bahwa perasaanku terhadap anaknya tanpa harus menjelaskan apapun.
“Kamu tahu Anin, Tante selalu berharap kamulah yang menjadi pasangan hidup Azriel, menjadi menantu Tante. Bahkan Tante pernah meminta Azriel meminangmu. Tapi, Azriel memiliki pilihannya sendiri dan Tante tidak bisa memaksanya. Tante menghargai pilihan Azreil, mencoba menerima takdir yang telah dituliskan untuk kalian berdua.”
Air mata yang sejak tadi kutahan kini tumpah sudah dalam dekapan wanita yang telah melahirkan Azriel. “Aku tahu Tante sekuat apapun aku memintanya, jika bukan ditakdirkan untukku semua akan sia-sia.”
“Semua tidak ada yang sia-sia, setidaknya kamu pernah berjuang di sepertiga malam dalam balutan doa. Hanya saja, perjuanganmu saat ini bukan lagi tentang memintanya, tetapi tentang keikhlasan menerima bahwa ia bukanlah takdirmu. Dan kamu bisa memulai kembali doamu disepertiga malam dengan meminta untuk segera dipertemukan dengan seseorang yang memang tertulis sebagai takdirmu,” jelasnya membuatku semakin terisak dalam dekapannya.
“Terima kasih, Tante. Doakan aku semoga ikhlas itu tertanam dalam hati,” ucapku seraya menatap wajah wanita paru baya itu.
“Percayalah Tante akan selalu mendoakan kebahagiamu. Entah dengan siapapun nanti, Tante harap kamu selalu dalam limpahan kebahagian.” Aku mengangguk paham padanya, lalu wanita paru baya itu berpamitan padaku untuk menemui sanak-saudaranya yang lain.
Aku kembali menatap sepasang manusia berbeda jenis yang sedang bahagia itu. Azriel … tahukah kamu bahwa dulu aku selalu berharap tanganmu yang menjabat tangan ayahku, lalu setelahnya diiringi suara lantang janji suci pernikahan dengan namaku tersemat dalam kalimat qabul, lalu aku pernah berharap mencium tanganmu setelah akad dan aku pernah berharap hidup bahagia denganmu dalam mahligai pernikahan. Namun, semua harapanku hancur, runtuh dan usai dengan akhir yang amat menyakitkan bagiku. Mungkin aku harus lebih mendekatkan diri lagi kepada Allah agar aku bisa menerima segala ketetapannya.
“Barakallahu laka wabarak alaina waja baina fii khoir. Selamat menempuh hidup baru untuk kalian berdua.” Aku tersenyum menjeda ucapanku. “Sakinah, mawaddah, warrohmah,” sambungku disambut senyum ramah kedua mempelai. “Aamiin, Nin. Kamu kapan mau nyusul kita?” tanya Azriel, sahabat sekaligus pria yang aku cintai dalam diam. “Nyusul kemana, nih?” tanyaku seolah tak mengerti. “Nyusul ke pelaminan, Nin,” jawab Azriel. “Nih, lagi nyusul kalian ke pelaminan,” candaku membuat gadis yang baru saja dinikahi Azriel tersenyum, sementara Azriel mencebik. “Gini, nih! Pantesan jodohnya gak datang-datang kebanyak bercanda, sih!” gerutu Azriel.
Azriel tahukah kamu bukan jodohku yang tak kunjung datang, tapi aku yang selalu menaruh harapan besar bahwa suatu saat kisah kita seindah Ali dan Fatimah.
“Zriel, jangan lupa ya kasih aku keponakan yang lucu-lucu.” Percayalah bahwa setiap kata yang keluar dari bibirku sudah seperti pisau tajam yang mampu menghasilkan luka amat perih. Namun, sesakit apapun luka yang aku dapatkan saat ini, aku tetap berusaha menyembungikannya seolah aku ikut bahagia atas kebahagian sahabatku.
“Kamu dengar dia ‘kan, Sayang? Kita harus berusaha dan berikhtiar untuk memberikan keponakan yang lucu untuk sahabatku ini.” Azriel menatap Azkia istrinya membuat gadis itu tersenyum malu-malu.
Segala doa dan harapaanku telah memukan jawabannya. Kisah perjalanan cinta dalam persahabatan telah menemukan endingnya dengan versi dua sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang dari sisi Azriel, ia menemukan cinta sejatinya, jodoh yang tertulis di lauhul mahfuz. Sementara aku masih dalam perjalanan panjang mencari cinta sejatiku. Inilah jawaban dari doa-doa yang selalu kulangitkan disepertiga malam, sosok imam yang kuminta ternyata bukan Azriel, tetapi sosok lain yang entah siapa. Aku akan terus berdoa, namun doaku bukan lagi menyebut Azriel melainkan menyebut sosok lain yang aku harapkan mampu menjadi imam yang baik untukku kelak.
“Allah, ajarkan aku ikhlas untuk menerima takdirku agar jalinan persahabatan itu tetap ada.”
Dari aku, seorang gadis yang diam-diam mencintaimu dalam bingkai persahabatan. Dari aku seorang gadis yang diam-diam selalu memintamu disepertiga malam. Dari aku yang selalu berharap menua bersamamu. Dari aku yang memiliki sejuta rasa cinta untukmu. Dari aku yang selalu berharap kamu jodoh lauhul mahfuzku dan dari aku yang harus mengikhlaskan kamu, dengan sejuta kecewa. Doaku semoga kamu selalu bahagia dengan pilihanmu dan aku bahagia dengan jalanku yang masih mencari seseorang yang di takdirkan untukku.
Sekali lagi dari aku yang harus mengikhlaskan kamu dengan sejuta kecewa.
Cerpen Karangan: Selawati Facebook: facebook.com/profile.php?id=100039967100111 Selawati, lahir di Bogor 21 November 2001. Memiliki hobi menulis sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama hingga saat ini. Jejaknya bisa dilihat pada akun instgram @selaa_2111 atau akun facebook @selaa. Jadikan hari ini sebagai pelajaran untuk memulai hari esok dengan lebih baik lagi.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 10 Juni 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com