Perempuan itu berdiri tegap dibawah hujan. Seakan aliran air deras dari langit itu bukan apa-apa untuknya. Bajunya basah, rambutnya basah, seluruh tubuhnya basah. Aku memandangi dia dari kejauhan. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat punggungnya yang berguncang. Sepertinya perempuan itu sedang terisak. Apa yang sedang ia tangisi?
Kejadian itu sudah dua tahun berlalu. Awal mula perjumpaanku yang tak biasa dengan seorang perempuan, yang kemudian kukenal bernama Alinea. Perempuan dengan perawakan tinggi, berambut hitam lurus, berhidung lancip dan berpipi penuh dengan barisan giginya yang putih dan menawan hati ketika tersenyum. Alinea, si empunya kisah mengharu biru. Yang anehnya masih bisa tersenyum manis dengan lesung pipi cantiknya di esok hari dan esoknya lagi.
“Hidup terus berjalan, Al…” Begitu dia menjawabku ketika kusuarakan keanehannya di suatu pagi. Aku ingat, aku mendebatnya kala itu. “Tapi kamu gak selalu harus terlihat kuat kan Lin…” Kataku padanya. “Lalu aku harus bagaimana? Menangis dan minta dikasihani?” Dia bertanya dengan nada rendah. Tak mengisyaratkan amarah apapun pada suaranya. “Tidak semua orang benar-benar peduli dengan apa yang kita alami, Al… Ada yang hanya sekedar ingin tahu, ada yang pura-pura bersimpati lalu menjadikanmu bahan omongan. Menertawakan kisahmu yang kau tangisi siang dan malam itu,…” lanjutnya lagi. Alinea ada benarnya. Sejak itu tak pernah kutanyakan hal yang sama padanya. Aku mengerti, dia sudah terluka dengan hebat. Menyembuhkan lukanya tak akan mudah. Semoga kata bijak tentang ‘waktu bisa menyembuhkan segala sesuatu’ juga berlaku untuknya.
“Al, nanti jemput di galeri aja ya,…” Satu pesan singkat dari Alinea kudapati siang ini. Sengaja kuajak dia bercengkrama sore ini, sekedar menikmati suasana kota Jogja di sore hari. Memang penuh dengan hiruk pikuk dan lautan suara bising dari manusia pun kendaraan lalu lalang, tetapi hal itu tidak jadi masalah. Ditengah keramaian apapun, aku dan Alinea akan bisa beristirahat. Galeri yang dimaksudkan Alinea adalah studio kecil miliknya. Tempat dia menuangkan segala ide gilanya dalam kanvas dengan kuas-kuas jelek miliknya. Alinea seorang pelukis. Walaupun dia tidak terlalu pe-de dengan panggilan itu. Tetapi sepertiku, kurasa kau pun akan takjub dan terkesima dengan hasil lukisan miliknya ketika pertama kali melihatnya. Beberapa hasil lukisannya bahkan kupajang di kantor dan rumahku. Aku pembeli setianya. Aku penganggumnya, aku pecinta lukisan-lukisannya, aku pecinta Alinea.
Setibaku di galeri, kulihat Alinea sedang berbenah. Rambutnya dicepol dan mulai agak berantakan. Dia tersenyum ketika menyadari kedatanganku. Galerinya berantakan. Kutebak, seharian ini dia pasti sedang berusaha mencari ide baru untuk lukisannya dan berakhir dengan kegagalan. Tebakanku sepertinya benar, kulihat raut wajah lelah dan matanya yang mulai sayu itu. Dengar kerlingan mata, Alinea seolah menjawab tebakan dalam kepalaku. Aku hanya tersenyum simpul dan menunggunya berbenah. Di kepalaku sudah kususun berjuta rencana dan tempat yang akan kami kunjungi sore ini. Bukan hari istimewa. Mungkin aku hanya sedang berusaha menyenangkan Alinea setelah harinya yang, -lagi-lagi kutebak-, buruk?
Diam banyak menemani perjalananku dan Alinea. Entah harinya yang terlalu buruk hingga ia sedang enggan bersuara atau memang angin menjadi bising hingga kami berdua tak berselera bercerita. Hanya kurasakan kepala Alinea bersandar di Pundak sebelah kananku, pose favoritnya ketika sedang berboncengan denganku. Dan seolah hal itu menyenangkan bagiku, -padahal terkadang pundakku terasa sakit setelahnya-, aku membiarkan Alinea melakukannya. Kulajukan motor dengan kecepatan rata-rata. Setelah menimbang dengan susah payah, akhirnya aku memutuskan membawanya ke suatu tempat yang sudah lama tak kami kunjungi.
Sebenarnya tak ada yang menarik dari tempat ini. Hanya padang hijau yang luas. Tempatnya yang agak lebih tinggi dari sekitarnya, membuatku jatuh hati pada awalnya. Aku bisa berdiri disana dan melayangkan pandang ke ujung langit. Malam hari, lampu-lampu dari pemukiman warga yang terletak dibawahnya tampak seperti bintang-bintang yang mudah diraih. Itu sebabnya aku mencintai tempat ini. Setelah kemudian aku mengajak Alinea ke sini, dia juga langsung jatuh hati. Belakangan jarang berkunjung kesini, karena sibuk yang selalu dikambinghitamkan olehku pun Alinea.
Percakapanku dengan Alinea berlanjut setelahnya. Dia bercerita tentang harinya yang tak terlalu berjalan baik. Tentang ibunya yang tiba-tiba meneleponnya dan meminta sejumlah uang. Tentang rentenir yang datang dan sempat berdebat mulut dengannya di galeri. Tentang makan siangnya yang asin. Juga tentang Raka, lelaki yang begitu dicintainya, yang entah kenapa meneleponnya seolah tanpa segan hari ini untuk pertama kalinya lagi setelah perpisahan mereka yang sudah berlalu 2 tahun yang lalu. Ternyata harinya begitu berwarna. Aku mendengarkan Alinea dengan hati-hati. Tak banyak mencelanya, dan seringkali mengangguk mengiyakan apapun yang disuarakannya dari pikirnya.
Hingga hari sudah begitu malam, kuajak Alinea meninggalkan tempat itu. Cuaca begitu dingin, sepertinya akan turun hujan sebentar lagi. Sempat kuomeli dia yang lupa membawa jaket padahal kami sudah berjalan sejauh ini. Untung aku mengenakan kemeja panjang yang lumayan tebal, dengan senang hati kuberikan Jaket denimku pada Alinea. Tentu saja dia menerimanya sembari misuh-misuh tidak jelas. Sudah dia yang salah, dia pula yang ngedumel. Kebiasaan Alinea. Dalam perjalanan pulang, kembali kubiarkan Alinea menyadarkan kepalanya di pundakku. Tangan mungilnya di pinganggku kadang terasa geli, tetapi aku menyukainya. Kulajukan motor dengan kecepatan penuh, kilat sudah terlihat, sepertinya hujan akan turun dengan cepat.
Di detik-detik hariku yang berlalu dengan Alinea, selalu tersimpan banyak cerita. Entah tentang aku yang semakin cinta, atau tentang dia yang kembali sibuk membicarakan lelaki itu, Raka. Ah ya, ada Raka. Laki-laki yang selalu memenangi hati Alinea sekalipun raga mereka terpisah bermil-mil jauhnya. Sedang ragaku dan Alinea sedekat nadi dan darah, tetapi perasaannya sejauh ujung kepala dan ujung kaki. Susah bersambut, bahkan mungkin…., mustahil? Malam ini kusuarakan keletihan pikiran dan hatiku dengan helaan napasku yang berat. Suasana hatiku yang muram kubawa pergi jauh dalam tidur, kutenggelamkan bersama malam yang semakin larut. Seandainya esok masih menyapa, aku akan melangkah menuju Alinea lagi. Meski tak pernah kutahu, dimana segala sesuatu tentangku dan tentangnya berujung kelak.
Sudah 2 bulan. Alinea memilih menghilang disuatu pagi setelah perjalanan kami malam itu. Kumaklumi pikirannya yang berkecamuk, pun suasana hatinya yang tak baik. Namun kepergiannya tak bisa kumaafkan begitu saja. Sekalipun aku tak bisa berbuat banyak untuknya, tak bisa memberinya segepok uang, tak bisa memberinya jalan keluar yang tepat, setidaknya pelukku selalu ada untuknya. Pundakku selalu bersedia disandarinya. Telingaku selalu bersedia mendengarkan apapun yang dia ceritakan. Apakah itu tak cukup untuk membuatmu nyaman di dekatku, Alinea?
Alinea memilih menghentikan langkahku dengan kepergiannya. Yang kusesali hanya satu: mengapa tak ada pamit yang dia ucapkan padaku? Apakah pamitnya terlalu berharga untuk dilabuhkan padaku? Hanya pamit, Alinea. Yang kuminta dari pergimu hanya pamit. Bukan hatimu. Bukan cintamu. Ah ya, tentu saja aku menginginkan itu. menginginkan hati dan cintamu. Ingin kurengkuh segala hal indah dalam dirimu. Namun seperti yang kau jelaskan tanpa kata-kata, pamitmu saja tak tersampaikan padaku dengan baik, apalagi hati dan cintamu? Siapakah aku berani meminta lebih?
Aku merasakan dadaku terhimpit dan sesak. Ada amarah yang kuabaikan disana, ada kesal yang tak tersampaikan. Ingin rasanya ku teriak, ingin rasanya aku mencaci maki, namun yang kulakukan hanya diam tanpa sikap. Hanya memandangi ujung langit dari tempatku berdiri. Berkelebat bayangan Alinea dalam kepala kecilku. Senyumnya, rambut cepolnya, barisan gigi putihnya, senyum manisnya, hahahahahah kutertawakan diriku sendiri. Masih sempat-sempatnya aku merindukan gadis yang tak mempedulikan aku itu saat ini? Kurasa aku sudah tidak waras. Pelet apakah kiranya yang kau perbuat untukku, Alinea? Hingga tentangmu masih jadi candu untuk hatiku yang telah kau tinggal tanpa ampun?
Sejak itu kabar Alinea sepenuhnya senyap diujung petang. Tak ada satupun kabar dari angin pun siulan burung-burung kecil itu. Alinea seolah tak pernah hadir. Tentangnya benar-benar tenggelam diujung laut. Mungkin hanya aku yang masih begitu setia kawan pada cinta tak berbalasku padanya. Tentangnya masih sering kuceritakan pada angin dan langit biru itu. ‘Aku melihat gadis yang begitu mirip Alinea hari ini. Hampir aku berlari mengejarnya ketika kulihat ada lelaki lain disebelahnya, dan ketika ia memalingkan wajah, dia bukan Alinea. Lalu aku merindukan Alinea lagi..’ kira-kira begitu aku bercerita. Entah angin akan menyampaikannya pada Alinea atau ceritaku menghilang begitu saja di antara gemerisik dedaunan, aku tidak peduli. Bagai si gila tanpa arah dan tujuan, begitu aku melewati hari-hariku tanpanya.
Jalan setapak yang dulu tak terasa jauh itu kini lelah kulewati sendirian. Biasanya ada empat jejak kaki. Sepasang jejakku, sepasang lagi milik Alinea. Kini tertinggal jejakku saja. Sedang apakah kau di tempatmu kini, Alinea? Sudah membaikkah segala cerita hidup menyedihkanmu yang begitu kau tangisi dengan hebat? Apakah tentangku pernah terlintas dalam benakmu? Apakah kau merindukanku? Apakah lukisanmu tambah cantik dan indah persis sepertimu?
Alinea…, Kita akan saling bahagia, meski tak telusuri setapak yang sama. Berjanjilah untuk selalu menertawakan dan menipu dunia seperti yang biasa kau lakukan. Jika kau ingin pulang, kembalilah. Tempat untukmu akan selalu ada. Aku rumahmu, Alinea. Aku akan menunggumu pulang. Sampai bertemu…
Cerpen Karangan: Tanty Angelina Blog / Facebook: Tanty Angelina IG : @setengah_cerita / @tanty_angelina