Itulah yang membuatku semakin yakin dengan dirinya, keteguhannya dalam menjaga Al-Qur’an. ~ Fthn
Melihatnya adalah aktivitas yang membuang massa bagiku. So sia-sia. Sifat yang angkuh, dingin, dan menolak untuk bertukar kata dengan seseorang di sekelilingnya membuatku tidak tertarik sama sekali untuk berteman dengannya tapi apa boleh buat, kita itu satu kelas.
Di kelas ini aku berpikir bahwa semua yang ditakdirkan Allah itu tidak adil kenapa? Karena awalnya aku benci dengan semua anak yang ada di kelas ini kecuali Mu’nisah, sebab dia pernah satu Madrasah Ibtidaiyah denganku dan aku cukup dekat dengan dirinya. Aku tidak ingin berteman dengan semuanya awalnya.
Tapi hari begitu cepat berganti bulan yang akhirnya aku bisa mendapatkan satu teman perempuan itupun satu bangku. Dia berbicara dengan sangat ramah layaknya seorang ustadzah yang sedang mengajar santrinya, nama anak itu Naily. Aku senang dan bangga mempunyai teman seperti dia meskipun aku baru memberi cap teman tidak lebih.
“Hai namaku Dhea, siapa namamu?” ucapku dengan penuh rasa gelisah, semoga dia menerimaku sebagai temannya, batinku. “Hai juga aku Naily, senang bertemu denganmu” sembari tersenyum menunjukan deretan gigi putihnya padaku. “Bolehkah kita berteman baik?” To the point ucapku lalu dibalas anggukan manis olehnya, fyuuh… aku membuang nafas, setidaknya di hari pertamaku aku mendapatkan satu teman yang cukup ramah.
Satu setengah tahun berlalu cukup cepat, kami berdua memiliki hubungan yang baik dan akan selalu baik sampai kapanpun. Sekarang kami menduduki kelas sebelas semester akhir dengan perasaan yang cukup bahagia karena kami masuk ranking 10 besar di kelas.
“Nai, aku tidak mengira sebentar lagi kita kelas dua belas, ujian, lalu lulus” mataku sedikit mengeluarkan bulir bening yang langsung dibalas senyuman oleh temanku ini. “Dhe apa kamu ingin tahu tentang sesuatu?” tanyanya dengan penuh keseriusan menatapku dalam. “Apa Nai? Apa kamu ingin pindah sekolah? Apa kamu tidak mau berteman denganku lagi? Apa kamu bosan denganku? Apa apa apa…” tanyaku melesatkan berbagai pertanyaan padanya lalu hanya dibalas cekikikan olehnya. Wajahnya memandangku seolah hanya aku teman dekat yang ia miliki di sekolah tercinta ini. “Aku senang mengenalmu, bahkan terlalu bahagia menjadikanmu temanku” saat ini kami sedang duduk berdua saja di saung baca atau yang sebut dengan gazebo. “Aaaaaaaa so sweet banget, unyuuu kamu Nai…” kucubit kedua pipi gembil yang membuat pemiliknya memberontak meminta dilepaskan. “Sakit tau dheea” rengeknya padaku. Kami menghabiskan waktu untuk bergurau bersama disela jam pelajaran kosong itu dengan penuh kebahagiaan. Aku juga berfikir aku sangat bahagia mengenalnya, karena dia lah yang sering mengingatkan disaat aku salah dan mengajari disaat aku tidak mengerti.
Sampai suatu hari kami mulai akrab dengan satu teman laki laki di kelas. Awalnya memang sekedar berteman biasa dan saling bertanya tentang pelajaran yang sama-sama belum kami pahami, tapi aku merasa sedikit ada yang berbeda dalam hati ini.
“Ran kenapa kamu menyukai pelajaran matematika?”. Tanyaku heran dengan anak OSN ini. Iya, dia Fathan anak Olimpiade Sains di sekolah kami. Dia pandai matematika dan terampil dalam komputer, itulah yang menyebabkan dirinya terpilih menjadi anak kesayangan guru mata pelajaran Sejarah Indonesia atau yang kami panggil Pak Teguh. “Asik saja” jawabnya singkat sambil masih terus menulis materi dibuku tulisnya. “Kenapa menurutmu asik?” Tanyaku lagi, membuatnya sedikit terganggu dan menoleh padaku. “Ya karna itu mengasah otak dan membuat kita berpikir logis untuk memahami setiap soal” tatapannya tidak bersahabat membuatku mengurungkan niat untuk bertanya kembali. Dasar es batu pikirku.
Naily yang sehabis sholat dhuhur menghampiriku dan bertanya “kamu tanya apa un sama Fathan?” sambil memakai kaos kaki di kakinya. “Ooh hanya tanya pelajaran” aku sembari membuka aplikasi Instagram. “Apa kamu suka dia?” Membuatku melolot ke arahnya dan memukul bagian lengan dengan sedikit keras. “Ishh sakit dhea” memegang lengan yang kupukul tadi. “Eh sorry Nai aku ngga sengaja, mana mungkin lah aku suka sama dia, lagian aku ngga mungkin suka sama temen sekelas sendiri” tambahku untuk meyakinkannya agar dia tidak bertanya yang aneh-aneh lagi.
Tapi siapa sangka lambat hari kemudian kami berteman dengan Fathan, sebenarnya aku sedikit kagum padanya, kenapa? karena disamping pandai dalam pelajaran, dia juga pandai mengaji. Buktinya dia mengikuti ekstrakurikuler Tahfidzul Qur’an dimana anak yang mempunyai hafalan dijadikan satu dan membuat kegiatan seminggu sekali tepatnya hari Jumat untuk hafalan dan setoran dengan guru kami yang bernama Pak Sahlan.
Aku bersyukur mempunyai teman yang bisa membawa pengaruh besar dalam hidupku terutama selalu memberi motivasi disetiap kondisi yang membuat diriku selalu bersemangat setiap harinya, dialah Fathan dan Naily. Terimakasih Tuhan karena Engkau selalu memberikan yang kami butuhkan, bukan yang kami inginkan.
Cerpen Karangan: Unafa Awayuki Blog / Facebook: Unafa Awayuki UNAFA AWAYUKI, berasal dari Purwokerto, Jawa Tengah. Sekarang dia menempuh pendidikan S1 di UIN SAIZU Purwokerto, Pendidikan Agama Islam. Berdomisili di Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto. Unafa sangat senang bepergian sendirian untuk mencari titik kedamaian dan ketenangan. Karyanya dibukukan dalam antologi Tak Lelah Mendaki Bersamamu; antologi 112 puisi terbaik Nasional yang diterbitkan Antero Literasi, penerbit ini pernah meraih penghargaan penerbit terbaik 2018 yang menjalankan UU No. 4 diberikan oleh Perpusnas RI di Hotel Harris Surabaya. unafaawayukii[-at-]gmail.com; Instagram @unafaawayuki