Bel masuk telah berbunyi kembali, aku merasa bersalah dan kasihan dengan Amel. Aku juga egois sendiri, karena kesal saja sampai meninggalkan Amel di kelas. Seharusnya aku bisa memberikan semangat untuknya. Apa ya yang sekarang dilakukan Amel.
Sesampainya di kelas, aku pun terkejut ternyata di bangkunya tidak ada Amel. Aku kepikiran apa dia sedang keluar kelas menuju kantin, tetapi ini sudah masuk. Sebelum Bu guru masuk ke kelas, aku memutuskan untuk mencari keberadaan Amel. Namun, itu tidak bisa. Nyatanya baru sampai depan pintu kelas, Bu guru ada di depanku dan menyuruhku untuk masuk kelas. Aku pun tidak bisa apa-apa.
“Baiklah, mari pelajaran kita mulai dengan berdoa terlebih dahulu sesuai agama masing-masing” sahut Bu guru sebelum memulai pelajaran. “Oke, mari kita mulai pelajaran ini. Tapi sebelum itu, ibu akan mengabsen terlebih dahulu. Siapa yang tidak masuk?” tanya Bu guru. Semua siswa di kelas terdiam kemudian melirik ke bangku kosong di sebelahku. Aku pun kebingungan untuk mengatakannya, kemudian Bima membuyarkan lamunanku.
“Ca, ke mana si Amel? Tadi dia masih di kelas.” “Mana aku tahu, Bim. Aku aja baru dari kantin,” bisikku menanggapi. “Aku kira dia menyusul. Kelihatan tadi rautnya murung,” “Iyakah? Terus bagaimana, Bim?” “Ya sudah, aku bilang aja. Bu, Amel tadi ke UKS.” kata Bima membantu. “Eh beneran ke UKS?” “Yaa, manaku tahu. Barang kali,” katanya kemudian menghadap ke depan kembali.
“Baiklah, sudah anak-anak jangan ramai. Sekarang kita mulai pelajaran ini,”
Waktu ke waktu terus berjalan. Jam pelajaran terus berganti sampai ke jam terakhir, dari tadi aku masih cemas dengan Amel. Apa benar dia ke UKS, pasti bukan. Aku tahu dia, kalau ke UKS selalu bilang kepadaku tanpa ada yang disembunyikan. Dari tadi aku selalu menghubunginya lewat chat. Namun, chat tersebut tak terbaca dari tadi. Aku takut kenapa-kenapa dengannya.
“Baik, anak-anak pelajaran kali ini sampai di sini dulu. Besok kita pelajari kembali, selamat berpulang.” salam guru mengakhiri pelajaran. “Terimakasih, Bu” serempak teman-teman.
Setelah terdengar bel pulang berbunyi, aku langsung keluar mencari keberadaan nya sambil membawakan barang bawaannya. Berputar-putar mengelilingi sekolah sampai dua kali pun belum juga ketemu. Berpikir kembali tempat yang belum aku kunjungi. Namun, sebelum mencari kembali lagi, Bella datang menghampiri. “Eh, kenapa Ca? Duh, istirahat dulu lah. Oiya, si Amel belum ketemu?” tanyanya khawatir “Ah, iyaa makasih, Bel. Tapi aku gak bisa lama-lama. Menurutmu tempat apa yang biasanya suka dikunjungi Amel?” tanyaku tebruru-buru. “Hmm.. apa ya, kalau tidak salah dari dulu SD sedang merasa murung suka ke belakang sekolah, Ca.” “Eh, kok kamu tahu dia lagi murung?” “Oiya sebelumnya Bima memberi tahu ke aku,” “Ooh, begitu. Oke, makasi Bel. Aku akan menyusul Amel dulu.” “Baiklah, beri tahu ya kalau Amel baik-baik saja.” katanya berteriak dan aku hanya menanggapinya dengan anggukan.
Beberapa menit kemudian sampailah di belakang sekolah. Di tempat ini banyak sekali barang-barang yang sudah rusak dan tidak terpakai bertumpukan. Kulihat sekelilingnya dan benar Amel berada di sana. Tanpa lama-lama aku pun menghampirinya.
“Amel…” panggilku cemas Amel pun tidak menjawabnya, dia masih terdiam sambil menunduk lama.
—
Aku tahu pasti dia akan datang. Dia tidak jahat, aku juga harus mengerti perkataan sahabatku. Aku merasa bersalah. Aduh, aku hanya meratapi masalah saja sendirian di sini. Tetapi perasaan sedih ini langsung hilang, sejak kedatangan Caca yang memanggil namaku dengan cemas. Tak lama aku pun menengok ke arahnya. Dan… “Huaaaa” “Ya ampun, Mel. Kamu sampai sembab begini, pasti menangis sendirian ya.” tenangnya sambil memelukku. “Hiks… hiks… aku sekarang paham Ca. Benar apa yang kamu katakan,” “Apa yang benar Mel? Duh, minum dulu ya.” katanya sambil menyodorkan botol ke aku. “Terimakasih” kataku kemudian menerima pemberiannya. Setelah merasa tenang aku pun mulai menceritakan masalah itu ke sahabatku. Dari awal sampai akhir yang aku rasakan.
“Jadi begitu ya, tapi maafkan aku juga ya Mel. Malah langsung curiga dengan perasaanmu.” “Gak apa, Ca. Kamu gak salah, sekarang aku seperti tercabik-cabik Ca.” “Iya, tenang ya Mel. Ada aku di sampingmu kok,” katanya tersenyum sambil memelukku. “Memang benar ya, mereka berdua saling suka tapi belum mengungkapkan. Aku harus mundur aja deh, kasihan dengan temanku.” “Eh, kok bisa begitu? Apa kamu yakin, Mel? Jangan main-main dengan perasaan.” “Aku yakin kok, Ca. Gak papa aku juga belum siap lebih menerima perasaan yang dalam.” “Baiklah, Mel. Ya sudah kita pulang dulu ya, tenangkan dirimu dulu. Besok agar lebih baik lagi.” “Iya, Ca.”
—
Pagi hari ini begitu cerah. Matahari menampakkan dirinya dengan begitu ceria yang kebalikan dari perasaanku kali ini. Aku merasa ini hari yang tak tepat untuk merasa senang ataupun sedih. Pagi ini aku berangkat ke sekolah menggunakan gojek lagi. Karena aku yang meminta sendiri dan kedua orangtuaku mengiyakan.
Sesampainya di sekolah, aku pun berjalan menuju ke dalam kelas dengan rasa yang masih tak enak. Kulihat sekeliling bangku kelas masih sepi, dan ternyata aku datang kepagian sekali. Aku memutuskan untuk pindah duduk yang agak ke belakang dan tidak dekat dengannya lagi. Aku gak mau karena perasaan saja, pertemanan antar teman di kelas menjadi kacau balau.
Satu per satu siswa mulai berdatangan, dan Caca pun akhirnya datang. Dia pun kebingungan dengan kepindahan bangkunya. “Kita duduk sini Mel?” “Iya, gapapa kan?” “Iya gapapa kok. Masih gak enakan, Mel?” tanyanya dan mengelus punggungku.
Tidak lama kemudian masuklah, Bella dan Bima dengan bersamaan. Aku yang melihatnya tercengang sepertinya mereka memang berangkat bersama. “Uyy, guys. Kabar baru nih, di kelas kita ada yang pacaran!!” salah satu teman sekelas berbicara serentak. “Ecieee siapa nih!?” teriak yang lain. “Gak salah lagi, Bella dengan Bima dong!” kata Ira dengan serentak. Teman-teman yang mendengar langsung menyoraki mereka dan memberi selamat. Aku lihat raut wajah keduanya tampak bahagia sekali, dan aku hanya bisa menerima.
“Amel, kamu gapapa?” bisik Caca khawatir. “Aku gapapa kok, Ca. Sebaiknya memang harus move on, deh. Untung dia belum tahu perasaanku, aku tak ingin pertemanan di kelas menjadi berantakan karena perasaan.” jawabku dengan tersenyum.
“Jadi, sekarang kamu akan menganggapnya dengan teman saja?” “Nah, tepat sekali, Ca!” Kataku menanggapi dengan senang. Dalam diriku tidak tahu kenapa, merasa rasa kesedihan itu menghilang dan berubah menjadi senang. Apa rasanya ikut bahagia saat melihat teman bahagia ya. “Baiklah, semangat ya Mel!!” seru Caca menyemangati “Kamu juga dong, Ca!” balasku kemudian kami berdua berpelukan dengan bahagia.
Cerpen Karangan: Salma Nur Hanifah Salam kenal, semoga suka ya dengan cerpenku. Selamat membacanya