Kisah ini dimulai sejak pertemuan pertama kami sore itu. Saat kali pertama aku mendengar lantunan bait sholawat yang tersaji dalam alunan suara indah bak di surga. Iya, sejak saat itu aku memanggilnya “si pemilik suara surga”. Mungkin terkesan berlebihan, namun entah setiap kali aku mendengar suara itu aku merasakan ketenangan dan rasa nyaman. Lalu beruntungnya aku, Kami saling mengenal sebagai “teman”.
Aku mengaguminya sedari awal. Apapun tentang lelaki itu aku selalu antusias. Kuikuti seluruh aspek kehidupannya. Bahkan tak jarang aku sering mengintip laman instragamnya hanya karena ingin tau sedang apa dia saat itu. Aku sudah seperti Intelegent negara, haha. Sebegitunya rasa kagumku hingga seakan aku lupa siapa diriku.
Mengaguminya sudah menjadi rutinitasku sejak lama. Menatapnya diam-diam dari kejauhan tanpa sedikitpun dia sadar sudah menjadi makananku setiap hari. Mengaguminya dalam diam sudah seperti candu bagiku. Aku tak tau apa obat dari candu yang seperti ini. Meskipun terkadang aku harus menelan kenyataan pahit bahwa ia sudah memiliki tambatan hati lain. Yang jelas aku yakin wanita itu tidak sepertiku, wanita itu pasti sosok bidadari yang sudah berhasil mendapat malaikat sepertinya.
Wanita itu adalah wanita beruntung yang bisa mengukir senyum di wajah teduhnya. Terkadang, aku sangat penasaran siapakah sosok wanita itu. tak heran aku sering mengorek kisahnya terlalu dalam. Hingga terkadang aku tertampar oleh fakta-fakta yang sangat menyesakkan. Memang benar kata orang, terkadang kita tidak perlu mencari tahu tentang apa yang tidak kita tahu.
Tak jarang di setiap postingan cerita media sosialnya aku sering menebak-nebak sehebat apa sih wanita itu hingga dia mampu membuatnya seakan tunduk. Dia sering terlihat sedih lewat lagu-lagu yang dimuat dalam media sosialnya. Terkadang aku sering bertanya pada diriku sendiri, mungkinkah itu aku? haha terkesan tidak tau diri memang. Seorang wanita lemah sepertiku yang bahkan mengatur perasaan padanya saja aku tak mampu, berkhayal akan mendapat kisah sempurna dengan pria sepertinya. Tak jarang sering kudengar berita angin tentangnya lewat orang-orang disekitarku maupun disekitarnya. ketika mendengarnya jelas aku sangat sakit dan hancur, namun semua itu tak pernah cukup untuk menjadi alasan aku harus membencinya.
Sejujurnya kami pernah saling dekat. Saat itu aku menganggapnya lebih dari sekedar “teman”. Bukan tanpa alasan, aku seperti itu karena memang dia memperlakukanku bukan selayaknya teman pada umumnya.
Setelah beberapa waktu kami dekat, tibalah saat yang mungkin sampai detik ini masih teringat jelas dalam ingatanku. Terjadi kesalahpahaman diantara kami yang membuat aku marah saat itu. Aku sangat kecewa padanya, hingga aku memutuskan membatasi komunikasiku dengan “Pemilik Suara Surga” itu.
Setelah beberapa tahun berlalu. Ternyata takdir semengejutkan itu, kami bertemu kembali setelah beberapa tahun ditempat yang baru. Awalnya aku sama sekali tidak tau kalau dia juga ada disana saat itu. Lalu sampai ada seseorang yang memberitahuku bahwa kita ada ditempat yang sama. Dari situlah lalu kami mulai kembali saling berkomunikasi. Meski tak se-intens dulu, tapi cukup membuat pertahanan yang kubangun beberapa tahun terakhir goyah.
Jujur dalam hati terdalamku aku masih mengingatnya dengan jelas. Semua hal tentangnya masih tersimpan rapi di ingatanku. Bukan tak berniat menghapusnya, namun memang sulit sekali bagiku. Sejak pertemuan kami saat itu kami saling bertukar kabar, tak jarang dia me-reply story whatssapku yang terkadang kubalas sekedarnya saja. Bukan. Bukan karena aku sudah tak menjadikannya spesial, namun aku membatasi diri karena aku takut terlalu jauh berekspektasi.
Perlahan komunikasi kami semakin membaik. Namun, sejak pertemuan keduaku dengannya saat itu, aku semakin berkaca. Aku sadar posisi. Dia yang kukenal saat ini bukan lagi orang yang sama yang kukenal beberapa tahun yang lalu. Kali ini dia berhasil kembali dengan versi terbaiknya. Disitulah aku mulai bimbang. Aku takut mengulangi rasa sakit yang sama seperti sebelumnya. Aku percaya bahwa kehendak Tuhan tidak akan pernah salah. Namun mengapa harus takdir ini.
“Si pemilik suara surga” itu kini kian bersinar. Yang menatapnya tak lagi wanita biasa sepertiku, namun bidadari pun kurasa akan jatuh hati padanya. Siapa yang tak mau dengan lelaki bermata teduh dan bersuara indah sepertinya?. Saat ini, dalam setiap sujudku pada Rabb-ku aku hanya meminta agar jika kami bertemu dalam takdir-Nya, maka tolong pertemukan kami dalam versi terbaik dari diri kami. Namun, apabila kami tidak diizinkan bertemu dalam takdir yang sama, tolong hapuskan perasaan itu dan gantikan dengan kebahagiaan pada diri kami masing-masing.
Aku tidak tau apa yang akan terjadi kedepannya. bahkan hingga saat ini aku masih menerka nerka perihal perasaan yang tak kunjung mengurang bahkan terus menambah setiap harinya. Namun apapun itu, kuharap kamu, “si pemilik suara surga” selalu bahagia dalam setiap harimu meski bukan aku alasan senyum itu. Biar saja aku terus mengagumimu dalam hening. Tak perlu kamu tau, biar saja aku yang memendam perasaan itu sendiri. Jika nanti aku harus menerima kenyataan bahwa bukan aku takdir yang disiapkan Tuhan untukmu, biarkan aku menerima takdir itu dengan ikhlas sebagai wujud ketulusan rasa yang selama ini kurawat sendirian.
Cerpen Karangan: Laily Mafthukhatul Hikmah Blog: catatanniskala.blogspot.com