Acara paling khidmat yang disaksikan oleh Tuhan, orangtua dan seluruh tamu undangan telah terlewati. Titik air yang menetes di pipi Neena–sahabat sejak putih abu-abu itu membawa gelombang haru yang luar biasa dan mampu meluruhkan air mata sang ayah yang merupakan veteran Tentara Nasional Indonesia yang kukenal begitu keras menjaga pergaulan anak gadis satu-satunya itu.
Sampai tak terasa, aku pun ikut menitikkan air mata. Saat kuberbalik untuk menghapus air itu. Dia datang menghampiri. Dia yang pernah membuatku semangat untuk berangkat ke sekolah hanya sekedar untuk melihatnya berjalan dan tertawa di koridor sekolah. Dia yang namanya terus kupanjatkan saat pembagian kelas dan tempat duduk. Berharap agar aku bisa berada di ruangan yang sama.
“Arin. Apa kabarmu?” Dia menyapa. “B-baik.” Aku tergugu menjawab. Debaran jantungku menggila. Dia masih memiliki senyum yang sama, begitu manis dan hangat. Layaknya marshmallow di atas coklat panas di tengah hujan. “Sendirian?” tanyanya lagi. Aku mengangguk dibalasnya dengan senyum dan menatap jauh ke sepasang sejoli dimabuk cinta yang tengah berdiri memamerkan kebahagiaan di tengah kelip lampu flash fotografer. “Em,” dia ragu untuk melanjutkan percakapan. Pun denganku.
Rasanya semua tertahan di ujung bibirku. Ingin terucap tetapi tak sanggup. Sesekali aku melirik padanya yang makin bercahaya dibawah kilau lampu dan background rangkaian bunga putih ungu yang dikonsepkan sang pemilik dunia hari ini. Untuk kami yang hanya ‘mengontrak’, cukup nikmati saja. Dan aku sangat menikmatinya. Menatapnya di jarak yang begitu dekat. Wangi parfum yang semerbak juga mampu membuatku melayang.
Aku harus pergi sebelum mabuk dan makin terbawa akan perasaan lama yang tak pernah berubah.
“Kamu mau pergi lagi?” Dia mencekal pergelanganku saat aku akan beranjak. “Lagi?” Aku bingung. Dia mulai salah tingkah, bibirnya bergerak. Namun, tak satu katapun terucap.
“Arin, Arga!” Bima, teman sekelas kami mendekat dan membuat Arga melepaskan cekalannya. Kami saling bertatap tanpa kata. Namun, entah kenapa aku seperti menunggu. Sama seperti saat perpisahan dulu. Dan akhirnya, kita berpisah tanpa kata. Tanpa kuungkapkan perasaanku, tanpa kutanyakan perasaannya, arti tiap senyumannya, perhatiannya dan sentuhan tangannya di kepala.
Sesekali aku berbalik melihatnya yang masih berbicara dengan Bima. Namun, hanya Bima yang berbicara satu arah, sedangkan Arga matanya masih memandang ke arahku dengan tatapan yang sama seperti delapan tahun lalu.
Aku terpekur dalam tiap langkahku. Dentum dalam hatiku bergejolak seolah menolak langkahku tuk pergi tanpa kata yang tak sempat kuucap. “Beranilah.” Sisi hatiku bicara. “Bagaimanapun nanti, setidaknya kau tak memendamnya lagi.” Hatiku berucap lagi lebih keras.
Langkahku terhenti. Aku pun berbalik. Namun, sebelum aku menghampirinya, Arga telah berada tepat di depanku. Matanya menatapku dengan napas yang tak beraturan.
“Aku mencintaimu,” ucapnya lirih. Dia memandang ke langit-langit, lalu dia menghentakkan kakinya keras dan menatap mataku. “Kurasa, aku akan gila jika kehilanganmu lagi tanpa sempat kukatakan perasaanku ini.” Arga menarik napas panjang dan mengembuskannya gugup. “Arin, aku mencintaimu.”
Aku tersenyum, mengangguk dan mengucap kalimat yang sama. Kalimat yang selalu ingin kuucap bahkan setelah delapan tahun berpisah. Kalimat yang menjawab semua tanya dalam hatiku.
“Terima kasih.”
Cerpen Karangan: Ai Sara Blog / Facebook: Ai Sara