Masih tak bersuara, Nara sama sekali belum mengucapkan satu-dua kalimat. Selayaknya tidak mau menghancurkan keheningan, ia bergeming di tempat. Langitnya sedang terlelap, sekian kali melewatkan jam pelajaran terakhir demi menemui mimpi. Kelopak terpejam menyembunyikan sepasang iris hitam. Nara menyangga wajah dengan telapak tangan, tatapannya memandang Langit tiada ekspresi.
Empat puluh lima menit setelah bel pulang berdering. Kelas IPA-1 telah kosong tanpa diisi oleh siswa-siswi, mereka sudah terlebih dahulu pergi menuju rumahnya masing-masing. Menyisakkan dua sejoli bersahabat sedari kecil itu-Nara-Langit di satu ruangan tanpa merasa risih-terganggu, disebabkan seisi kelas sudah tahu betapa begitu dekatnya mereka berdua berinteraksi.
Jemari Nara terulur menyentuh setitik helaian rambut Langit yang terhembus angin segar, kala itu, kelopak Langit yang terpejam segera memperlihatkan isinya. Memperlihatkan sudut gelapnya angkasa yang tak tersinari matahari melalui dua warna netra hitam. Langit menggenggam jemari Nara bersama senyum lebar lainnya, “Sori, hari ini gue ketiduran lagi ya.”
Nara menggerakkan telapak tangan beralih mengusap halus rambut Langit, membiarkan tekstur rambut lelaki itu sedikit menggores ringan kulitnya. “Kita pulang.”
“Oke Nona Nara~!” Langit menyahut semangat, yang bila digambarkan dalam buku bergambar terlihat kerlingan silau di sekelilingnya. Pemuda itu memang begitu, ia adalah pusat yang mudah menarik orang-orang untuk memperhatikannya. Selayaknya matahari menarik setiap planet mengikuti rotasinya. Matahari-si pusat kehidupan.
“Jangan panggil gue begitu.”
Langit yang sedang membereskan barang-barangnya di kolong meja, untuk dimasukkan ke dalam tas, mengangkat kepala bingung. “Lo bilang apa tadi?” Nara tidak pernah mengeluh untuk selalu mengulang perkataannya, “Gue bilang jangan panggil gue Nona.” “No! Ra kita sahabatan udah berapa lama sih? Kenapa gue nggak boleh panggil Nona Nara!”
Dia Langit Angkasa, si lelaki penyandang tuna rungu, sahabat akrab seorang Nara Danastri. Sudahkah Nara menceritakannya? Ah, kita akan sedikit membahas mengenai kecacatan pendengaran Langit Angkasa. Tidak, Langit, tidak benar-benar kehilangan fungsi pendengarannya, kedua telinga Langit hanya setengah kehilangan fungsi seperti orang normal pada umumnya.
Kala itu, pada kelulusan SMP setelah Langit menetapkan lanjutan SMAnya, ia mengalami demam tinggi selama dua minggu. Nara tidak diperbolehkan berkunjung akibat ditakutkan demam Langit akan menular padanya. Saat pada akhirnya kedua mata Langit membuka bersama kain hangat di dahi, tak ada lagi suara jam berdetik maupun suara kipas angin berputar. Segalanya terasa sunyi bersama kamar pengap minimalis lelaki itu. Sendirian dan kesepian.
“Tuli mendadak ya.” Dokter itu berbicara sembari menggenggam hasil pemeriksaan Langit Angkasa. “Saya belum yakin demam penyebabnya, dan gejalanya berlangsung selama dua minggu.” Dia menjelaskan, memberitahu perlahan-lahan hipotesisnya pada Langit dan Ibu kandung Langit. “Kalau begini saya rasa pendengarannya tidak akan kembali normal. Mulai sekarang dia akan membutuhkan alat bantu dengar.”
Nara menundukkan pandangan, saat langkahnya terhenti bersama Langit yang berjongkok mengikatkan tali sepatunya. Perempuan itu setengah sadar dari lamunan, baru menyadari bahwa ikat sepatunya tak tersambung dengan benar. Langit yang terlebih dahulu tahu akan lepasnya tali sepatu Nara membantu sang sahabat, meski Nara tidak terlalu memperhatikkan. Setelah benar-benar terikat Langit menengadah, pandangan mereka bertemu, Nara berbisik menuturkan kalimat, “Makasih.” Langit tersenyum, “Enggak masalah.” Telinga Langit memang terpasang alat bantu dengar. Lelaki itu merangkul jemari Nara merangkumnya dalam kehangatan. “Ayo kita pulang Nara.”
Awan mendung menghias langit malam, menimbulkan hawa dingin, hingga Nara memutuskan menutup jendelanya. Perempuan itu berjalan ke meja belajar, mengerjakan PR yang akan dikumpulkan minggu depan. Lebih baik dikerjakan lebih awal, pikirnya. Suara gerimis mulai terdengar, tergantikan rintikkan hujan membasahi tanah, genteng, dan menimbulkan cipratan ke kaca jendela. Nara bersandar pada lipatan tangan di atas meja, menghadap buku catatannya bersama sepasang mata mengantuk.
Ketukan yang berasal dari jendela terdengar begitu saja. Entah karena sudah hapal siapa seseorang yang mengetuk kamar, Nara tidak lagi terkejut. Dia menegakkan tubuh, berdiri membuka jendela mempersilakan Langit untuk masuk. Nara menghela napas, mengambil handuk biru untuk mengeringkan Langit yang basah kuyup.
“Ra lihat gue bawa apa?” Langit bertanya sembari menunjukkan sebuah DVD film aksi. Nara segera menyadari malam ini Langit tidak memakai alat bantu dengarnya, setelahnya perempuan itu sibuk mengeringkan rambut sahabat. “Lo basah kuyup Lang.” “Ra gue pingin banget nonton ini sama lo, makannya gue beli bajakannya hehe.” Dia mengabaikan pernyataan Nara, malah membalas dengan senyum tanpa dosa. Nara mendengus sudah terbiasa diperlakukan seperti itu.
Sebenarnya meski Langit tidak menggunakan alat bantu dengar, lelaki itu mampu mengetahui dengan cara memperhatikan gerakan bibir lawan bicaranya. Meski hal itu membuat dirinya harus sangat berkonsenterasi. Namun bersama Nara, Langit sering kali tak memasang alat tersebut pada kedua telinganya. Langit pernah mengatakan bahwa begitu mudah membaca gerakan bibir Nara yang berbicara. Terlebih, Nara jarang mengeluarkan kalimat.
Setelah Nara merasa sudah mengeringkan helaian rambut Langit. Ia mengambil sepasang pakaian dan celana yang memang milik pemuda itu yang sengaja ditinggalkan di lemari Nara–Langit sering mengunjungi kamar Nara. Si perempuan menyodorkannya ke arah sahabat, menyuruh Langit untuk berganti pakaian segera.
Selang waktu Langit berganti pakaian, Nara memilih membereskan peralatan belajar dan mempersiapkan laptop juga cemilan untuk mereka bagi berdua menonton film bersama.
“Ra kata Aldi filmnya bagus banget, intinya tentang orang miskin yang jual obat ilegal demi hasilin uang buat Ibunya, sampe ikut organisasi gelap gitu.” Langit sudah terlebih dahulu mengoceh tiada jelas, dia adalah tipe yang bila diberitahu alur cerita film malah semakin penasaran untuk menontonnya. Nara mengangguk-ngangguk mengiyakan saja, menarik telapak tangan Langit, menyeretnya dan memaksa pemuda itu menerima cokelat panas buatan Nara.
Langit yang ingin bercerita lebih banyak, segera terdiam dan menyantap cokelat panas tersebut. Hal itu tak luput dari pandangan Nara, perempuan itu memperhatikan bagaimana cara Langit meminum isi dari cangkir itu. Langitnya yang sering mengeluarkan kalimat riang, Langitnya yang sering tersenyum lebar, dan Langitnya yang selalu bertindak semaunya, adalah Langit yang menjadi alasan Nara merasakan perasaan jatuh cinta sejak awal mereka menjalin pertemanan.
Cerpen Karangan: Nur Aeti Fadilah Blog / Facebook: Nur Aeti Fadilah