Vina meneleponku, menanyakan sedang dimana diriku sekarang. Aku hanya diam membisu, tak mau menjawabnya. Kumatikan sambungan telepon kami. Aku berjalan lunglai di tepi jalanan yang agak ramai, kemudiam duduk di salah satu kursi taman. Jika menuruti emosiku sekarang, aku ingin mengamuk. Aku mati matian menahannya. Hatiku sakit, teramat sangat sakit. Diperdaya oleh harapanku sendiri yang tidak sebanding dengan apa yang terjadi.
Vina sahabatku, sejak kami duduk di bangku SMA. Dia gadis yang baik dan memiliki otak yang encer. Dengan mudahnya dia diterima di kampus ternama di kota kami. Aku yang notabene tidak ingin berpisah dengannya berusaha mati matian agar ikut masuk di kampus yang sama dengannya. Dan takdir Tuhan berkata aku masih diberi kesempatan dekat dengannya. Aku diterima dan memilih fakultas yang sama dengannya.
Bisa dibilang kami seperti gula dan semut. Dimanapun Vina berada, aku selalu mendampinginya. Banyak orang mengatakan kami sepasang kekasih, namun kami sama sama menepisnya karena kami memang sahabat. Tapi di setiap hubungan pertemanan pasti terbesit rasa ingin memiliki seutuhnya bukan sekedar hubungan pertemanan saja. Itu yang aku rasakan. Aku mencintainya, aku ingin memilikinya lebih dari sekedar teman.
Aku selalu jadi tempatnya untuk mencurahkan isi hatinya. Entah itu masalah kampus, masalah keluarga, ataupun sirkel pertemanannya. Terkadang dia menangis, terkadang dia tertawa amat bahagia. Aku senang menjadi tempatnya bersandar. Aku senang membantu memecahkan masalahnya. Tetapi sikapnya berubah setelah dia mengenal Rendy. Cowok keren, paling populer dan paling tajir di fakultas kami. Rendy sedang mendekati Vina.
Singkat cerita Rendy mengutarakan rasa cintanya pada Vina. Saat Vina mengatakan itu hatiku mendadak hancur, bayang bayang Vina telah memiliki kekasih selalu menghantui. Aku takut kehilangan Vina karena aku amat sayang padanya. Dan benar saja, sikap Vina padaku berubah. Dulu kami tidak terpisahkan, sekarang kami berjauhan. Saat aku mengajaknya makan siang bareng ataupun jalan bareng seperti dulu, Vina selalu menolak dengan alasan akan pergi dengan Rendy. Aku masih bersabar, masih memendam rapat rapat rasa sakit hatiku.
Sikapku yang selalu jadi tempat curhat Vina memang tidak tergantikan. Vina masih curhat padaku meskipun tidak sesering dulu. Namun itu lebih dari cukup untuk tahu apa masalah yang sedang dia hadapi. Dia pernah bercerita mengenai sikap Rendy yang mencurigakan karena dia pernah melihat Rendy jalan dengan cewek lain. Tetapi beberapa hari kemudian ternyata cewek itu adalah sepupu jauh Rendy yang akan berkuliah di kampus yang sama dengannya.
Beberapa hari kemudian dia bercerita sambil menangis, karena tersebar gosip bahwa Rendy punya pacar yang lain selain dirinya. Saat itu aku amat marah pada Rendy, ingin kupukul dia karena sudah membuat Vina menangis seperti ini. Tetapi beberapa hari kemudian mereka kembali baikan.
Aku mencoba mencari tahu profil Rendy dari teman laki lakiku. Dan benar saja. Dulunya Rendy adalah seorang playboy, dan sekarang mungkin masih menjadi playboy. Vina telah masuk dalam perangkap si playboy itu. Aku tidak mau Vina kembali menanggung rasa sakit hati.
Pernah suatu saat aku menjelaskan profil Rendy pada Vina. Tapi Vina tidak percaya, dia lebih percaya pada pacarnya dibandingkan aku sahabatnya. Berkali kali Vina disakiti Rendy, berkali kali pula Vina menangis dihadapanku meminta bantuanku.
Pernah suatu saat, aku dan Rendy berkelahi, agar Rendy berbaikan pada Vina karena aku tidak tahan melihat Vina menangis saat Rendy menjauhinya. Dan saat mereka berbaikan, Vina seakan jauh dariku. Dia pergi bersama Rendy. Melupakanku yang selalu ada saat dia butuh bantuan. Sangat menyakitkan. Seolah olah aku hanya menjadi tempat persinggahannya saat dia menangis. Dan saat dia tertawa, dia pergi meninggalkanku sendirian. Semakin lama, batas kesabaranku memendam rasa sakit di hati semakin menipis. Aku tidak mau terus terusan seperti ini.
Di suatu hari, aku sedang nongkrong di cafe seorang diri. Karena tadi Vina menolak ajakanku. Tiba tiba handphoneku berbunyi, nama Vina tertera di layarnya. Aku dengan perasaan yang masih dongkol menjawab panggilannya. “Ada apa?” Tanyaku sedikit ketus. Terndengar isak tangis di seberang sana. Vina sedang menangis. Sejenak aku terdiam, ingin tahu apa yang akan Vina katakan. “Rendy.. Pram, Rendy putusin aku.” Ucapnya setelah tangisnya sedikit reda. “Kamu dimana? Aku akan kesana.” Ucapku. Vina menyebutkan nama Cafe. Aku segera memacu motorku kesana.
Saat aku sampai, aku segera menghampiri Vina dan mengajaknya pulang. Di sepanjang jalan dia hanya menangis, menangisi laki laki bodoh yang telah berkali kali menyakitinya. Sesampainya di depan kos an Vina, aku segera mengungkapkan rasa sakit hatiku selama ini.
“Kamu lihat, siapa yang paling peduli saat kamu sedih?” Tanyaku membuka obrolan. Vina menatapku dengan matanya yang masih berkaca kaca. “Kamu anggap apa aku selama ini Vin?.” Lanjutku. “Apa maksud kamu?” Tanya Vina yang masih belum mengerti arah pembicaraanku. “Saat kamu sedih dan ada masalah kamu lari ke aku, tapi saat kamu bahagia dan tertawa kamu pergi sama dia. Kamu anggap aku apa?. Apa kehadiranku hanya menjadi pemecah masalah kamu?. Aku lelah Vin ngadepin ini. Aku ngomong gini bukan karena aku pengen memutus hubungan persahabatan kita. Dan aku ngomong gini bukan karena aku bosan mencari solusi buat kamu. Aku cuma pengen kamu mikir, dan memutuskan siapa yang berhak kamu hargai kehadirannya. Aku atau dia!” Ucapku. Vina terdiam. “Untuk saat sekarang, aku pengen kamu sendiri yang mencari jalan keluar dari masalah kamu.” Ucapku lalu pergi. Vina menatap kepergianku.
Handphoneku berdering. Nama Vina tertera di layarnya. Aku mengangkatnya. Vina menanyakan dimana aku sekarang. Aku hanya diam membisu. Kemudian menutup sambungan telefon kami.
Tamat
Cerpen Karangan: Seli Oktavia Facebook: Sellii Oktav ya