“Waktu terus berjalan tanpa henti, meninggalkan semua kenangan yang pernah terjadi. Tak terasa waktu jua yang mengantarkan kita pada ujung pertemuan. Namun ada maksud yang tak sampai, ada kata yang tak terucap, ada tangis yang tak terobati, ada cinta yang terpendam. Tapi semuanya sudah dikubur oleh waktu dan hanya menyisakan cerita di penghujung”
“Aku tak tahu harus kemana setelah ini,” Aini memulai pembicaraan, di salah satu tempat makan favorit mereka. “Tapi kamu punya mimpi kan? kamu perempuan multi talent, begitu banyak pengalaman yang kamu dapatkan di kampus selama ini, kamu seorang akademis dan aktivis yang berprestasi. Untuk apa kamu khawatir masalah itu”. Pungkas Rangga yang sedang asyik menikmati nasi goreng ayam cabe hijau di depannya.
Aini mengganggukkan kepalanya sambil melemparkan senyum manis kearah Rangga, sepertinya dia setuju dengan apa yang dikatakan Rangga, semangatnya kembali hidup dengan seribu ide brilian, yaaa dia memang seorang perempuan brilian, dia mahasiswa berprestasi dari segi akademik maupun non-akademik.
Pertemuan Aini dan Rangga malam itu merupakan pertemuan yang kesekian kalinya, namun mungkin juga yang terakhir. Mereka saling berbagi kisah dan cerita hidup, harapan, cita-cita, hobi, masa lalu dan cinta. Mereka adalah mahasiswa tingkat akhir pada sebuah Universitas Negeri ternama di kota A. Keduanya telah menyelesaikan tugas akhir dan hanya menunggu jadwal wisuda.
“Aku, selepas wisuda ingin langsung pulang kampung Ngga, meninggalkan kota ini dan menetap di kampung sambil mencari kerja”. Aini memulai kembali perbincangan. Rangga yang masih menikmati nasi gorengnya terkejut dan berhenti mengunyah, dia tertahan, dadanya sesak dan fikirannya sedikit kacau. Dia berpura-pura tidak terkejut dengan meminum air putih didepannya.
“Kamu lansung pulang kampung Ai?” Tanya Rangga dengan nada berbeda. “Ya, aku harus pulang kampung, ada hal yang harus Aku selesaikan”, jawab Aini santai. Jawaban Aini begitu menggelegar di kepala Rangga, sepertinya dia tidak mau mendengar jawaban seperti itu, dadanya sesak dan dia merasakan ada sesuatu yang tidak beres dalam dadanya.
“Kamu masih kembali kesini kan?, Tanya Rangga penuh harap. “Kalau ada waktu mungkin aku kembali Ngga, tapi aku tak tahu kapan”, pungkas Aini.
Suasana hening sejenak, nada-nada mellow ikut menari pada speaker tempat mereka makan malam. Hal yang ditakutkan oleh Rangga selama ini menjadi nyata. Dia akan kehilangan perempuan yang selama ini dia cintai dalam diam. Yaaa, Rangga mencintai Aini. Bahkan jauh sebelumnya, Rangga mulai mencinta Aini saat mereka pernah melakukan kegiatan kampus bersama, kira semester 4 yang lalu. Sejak itu Rangga Memendam rasa, rasa yang belum pernah dia ungkapkan, rasa yang dia simpan dengan rapi. Berharap suatu saat Aini mengetahui perasaannya tanpa dia mengungkapkannya. Bukan Rangga tidak berani untuk mengungkapkannya, hanya saja Aini pernah disukai oleh sahabat dekat Rangga yaitu Ari. Dengan alasan menghargai sahabat, Rangga bertahan pada posisi tanpa kejelasan. Bertahun menahan rasa dan masih tetap saja bertahan, sungguh sebuah cinta yang sulit dimengerti.
“Aku ingin liburan sebelum aku pulang”, Aini memecah sepi. “Aku ingin pergi ke tempat wisata yang ada di kota ini, kamu ajak Aku traveling dong”. Dengan manja Aini membujuk Rangga. “Okee, kamu mau kemana, Aku siap antar”, jawab Rangga sambil menunjukan beberapa spot wisata yang Dia tahu di kota A. Suasana tak menentu masih menari dalam benak Rangga. Dia berusaha untuk tidak menampakan keadaan yang sebenarnya kepada Aini. Rasanya waktu begitu cepat. Rangga membenci keadaan seperti ini.
“Ai”, Rangga menatap mata Aini dalam-dalam. “Adakah waktu untuk kita bertemu selepas ini?, adakah kesempatan untuk kita bercerita tentang dan kemana kita setelah ini?”. Tanya Rangga pada Aini. Aini membalas tatapan mata Rangga, pandangan mereka terpaut. Bagaikan dua sisi magnet yang menyatu tanpa ruang pembatas. Mata Rangga berkaca-kaca, mengisyaratkan arti ketulusan yang sebenarnya, namun belajar untuk ikhlas menerimanya.
“Ngga, kamu kenapa?”, Tanya Aini. “Kamu takut dengan perpisahan?, jangan khawatir Ngga aku gak akan pernah lupakan kamu, kamu adalah salah satu yang terbaik untukku, kamu jangan takut. Hidup kita masih panjang lho, kamu mau kuliah S2 kan?. Selepas wisuda nanti, kita akan mendayung perahu kita masing-masing Ngga”. Aini menjawab pertanyaan Rangga dengan nada yang sedikit serak.
Keduanya saling menunduk. Malam semakin larut, rembulan malu-malu mengintip mereka dari balik awan yang menari. Lalu lalang pengendara motor sesekali membuat mereka bising, namun suasana perpisahan malam itu tak terelakkan. Kegembiraan mereka tentang wisuda seolah-olah tak berarti malam itu. Mereka sedang bercerita tentang sebuah cerita penghujung yang membawa sesak. Bagaikan anak kecil yang menangis saat mainan kesayangan diambil tanpa iba.
Keduanya terdiam cukup lama. Aini pun tak tahu harus berkata apa. Sepertinya dia merasakan juga apa yang dirasakan Rangga. Aini pun merasa waktu adalah pemisah kebersamaan, namun berbeda dengan Rangga malam itu, Aini berupaya sekuat mungkin untuk dapat bercerita tentang ini. Dia tahu Rangga mencintainya dan diapun mencintai Rangga. Rangga yang selama ini selalu hadir dalam keadaan apapun untuknya. Ini sulit buat Rangga namun lebih sulit baginya.
Rangga menghabiskan lemon tea yang masih tersisa sambil menengok jam tangannya. “Kita jalan yuk”, kali ini Rangga yang memulai. “Ayokkk”, Aini menurut tanpa protes. Rangga berlari cepat menuju kasir.
“Kamu kannnn? janji kita kemaren malam ini aku yang bayar” Aini merajuk karena Rangga lebih duluan membayar makan mereka malam itu. “Aku gak suka kamu kayak gtu Ngga, Janji kita apa kemaren?’ “Emang kita ada janji?” “Kita kan dah sepakat kalau malam ini Aku yang bayar”. “Udahlah, simpan uangmu untuk besok”. “Janji ya, kalau besok kita makan aku yang bayar lagi”. “Iya, Aku janji”. Jawab Rangga sambil memasang helm kesayangannya di kepala.
“Kemana lagi kita?”. “Terserah, Aku nurut aja”, Aini pasrah.
Perlahan keduanya meninggalkan tempat makan itu. Mereka menelusuri jalanan kota yang sudah mulai sepi, angin malam menemani perjalanan mereka. Jam menunjukan sudah hampir jam 10. Namun aktifitas manusia penghuni kota Tua masih bisa disaksikan, mungkin ini kota 24 jam. Cafe, tempat makan, warung kopi masih ramai pengunjung.
Setelah menikmati suasana malam itu, keduanya pulang. Rumah Aini yang tidak begitu jauh dari tempat Rangga membuat keduanya mudah untuk berkomunikasi. “Sampai sini aja, nanti teman-teman lihat”, Aini meminta Rangga untuk berhenti. “Makasih ya untuk malam ini, tapi ingat besok Aku yang bayar yaaa”, Aini mengingatkan Rangga kembali tentang janji mereka. “Iyaaa, Aku janji kok”, jawab Rangga. “Aku masuk yaa, hati-hati di jalan, jangan ngebut”, Aini berpesan khawatir pada Rangga.
Rangga memutar motornya dan pergi, namun tak jauh dari rumah Aini dia berhenti sejenak. Dia mematikan motornya dan menatap rumah Aini dari kejahuan, Rangga melirik kebelakang, gang kecil yang selalu dia lalui setiap hari dengan Aini, rumah berpagar kuning, penjual gorengan yang ramah, semuanya akan menjadi kenangan bisiknya dalam hati. Matanya berkaca-kaca, tanpa dia sadari pipinya sudah dibasahi oleh air matanya. Dia menyesal, tidak berani jujur tentang perasaanya selama ini kepada Aini. Dan sebentar lagi dia akan berpisah, entah kapan waktunya bertemu lagi. “Masih adakah waktu kita Ai?”, Rangga menjerit dalam hati.
Semua kenangan tentang Aini menari di kelopak matanya, senyum manis Aini membekas di hatinya. teringat jelas oleh Rangga, saat-saat Aini merajuk dengan manja, ekspresi muka yang polos, senyum yang jujur. Semua melintas di kenangan Rangga. Dia menangis, dia terluka.
Tak lama setelah itu, Rangga menyalakan motornya melaju dengan pelan menuju kost, dia merasakan tubuhnya lemah, separuh semangatnya terasa pergi meninggalkannya, kebahagian wisuda yang sudah di depan mata seakan sirna malam itu jua. Perjuangan cinta selama ini berakhir tanpa ada kata pasti.
Cerpen Karangan: Randa Blog / Facebook: Randa Jaskar/Randa Sibunsu Alamat: Padang Sumatera Barat ig: randajaskar