Usaha penyelidikkan aku mulai dari orang terdekat, yaitu satpam. Aku tanya satpam yang biasa nongkrong sedari pagi hingga malam, dari malam hingga pagi karena waktu kerjanya ditentukan oleh shift. Tapi dirinya pun tidak tahu dan baru mengetahui wanita itu beberapa minggu belakangan ini. Penyelidikan pertamaku belum menemui titik terang. Aku tanya penjaga toko kelontong sebelah kantor yang biasa aku ajak ngobrol kalau ada waktu senggang saat tak ada pekerjaan atau saat aku sengaja datang ke tokonya untuk membeli sesuatu. Dia hanya memberikan penjelasan bahwa wanita itu baru bekerja di toko obat sebelah toko klontongnya seminggu yang lalu dan dirinya pun belum mengenalnya. Penyelidikan kedua mulai ada secercah cahaya, tinggal melanjutkan penyelidikan tahap berikutnya.
Ketika aku hendak melanjutkan penyelidikan selanjutnya, langkahku terhenti di depan toko obat karena disana telah berdiri sosok yang akhir–akhir ini menggangguku. Wanita itu. Aku celingukan, tak berdaya menatap mata yang berbinar terang di hadapanku. Aku menunduk dan melangkah menjauh dari tempat itu.
Langkahku terhenti ketika suara seseorang berteriak memanggilku sebelum melanjutkan langkah memasuki ruangan kerja. Aku menoleh dan mencari tahu arah suara itu, ternyata kudapati seseorang yang berdiri di pinggir jalan dengan mengenakan pakaian serba orange. Juki namanya, tukang parkir yang biasa bertugas di sekitaran emperan toko dan kantor.
Dia selalu menyapaku setiap pagi. Dengan senyum yang khas dia menghampiriku, menepuk–nepuk pundak dan bertanya dari mana saja diriku sepagi ini karena terlihat mondar–mandir kayak orang sedang kebingungan mencari sesuatu yang hilang. Iya, sebenarnya aku telah kehilangan separuh hatiku yang tercecer di emperan toko obat. Sebab tidak seperti biasanya aku kelihatan mondar–mandir sepagi ini, kecuali kalau saat jam kerja sudah dimulai. Juki menaruh curiga kepadaku dan mulai menyelidiki tentang sesuatu yang aneh terjadi pada diriku. Aku hanya cengar–cengir seperti orang yang diinterogasi aparat kepolisian saat ketangkap basah sedang melanggar lampu lalu lintas. Juki meledekku, karena dia tahu betul siapa diriku dan kebiasaanku. Sebab kami telah berteman lama sejak pertama bekerja di perusahaanku saat ini. Walau intensitas pertemuan kami terjadi saat di kantor saja tapi ikatan emosional kami sudah terjalin erat seperti saudara sendiri. Seperti biasa setiap kali diriku terpojok dengan olok–olokannya, aku selalu menyerah. Dan memulai membuka percakapan tentang wanita itu.
Pertama mendengar itu Juki hanya tersenyum sambil menggangguk–angguk dan tak berselang lama suara tawanya menggelegar memenuhi emperan toko. Aku berusaha secepatnya untuk membungkam mulutnya sebelum nada suara yang tak beraturan itu merusak telinga orang yang mendengarnya. Tapi hal itu terlambat aku lakukan, karena suara itu sudah terlontar cepat sebelum sempat membungkamnya. Orang–orang di sekitar kantor pada keluar ingin mengetahui apa yang sedang terjadi dan kami pun hanya cengar–cengir menahan malu. Akhirnya orang–orang itu kembali lagi melakukan aktivitas yang sempat tertunda setelah mengetahui bahwa sesuatu itu hanya candaan yang konyol dari ulah temanku.
Setelah situasi aman, aku langsung memaksa Juki untuk mengatakan kenapa dirinya sampai berbuat konyol seperti itu. Karena terpojok oleh pertanyaanku yang tak berhenti melesat bagai anak panah menuju sasaran, akhirnya Juki pun angkat bicara.
“Namanya Ana,“ kata Juki sambil menahan tawa.
Tapi diriku masih belum begitu yakin dengan ucapan Juki barusan, karena kata yang terlontar dari mulutnya seperti tidak serius. Aku pun terus menekannya untuk mengatakan yang sebenarnya, berulangkali dirinya tetap saja menyebutkan nama yang sama, dengan mimik yang sama pula. Tanpa basa basi Juki meninggalkan diriku, aku pun dibuat heran oleh tingkahnya itu, karena belum pernah dirinya berbuat seperti itu. Dan seketika tubuhnya menghilang di antara toko kelontong dan toko obat. Belum keherananku hilang, seketika Juki muncul dengan seorang wanita dan menghampiriku.
Ternyata wanita itu adalah wanita yang selama ini memenuhi angkasa lamunanku, wanita yang telah menyelinap di ruang hatiku, wanita yang selalu berada di emperan toko obat ketika menunggu pintu toko dibuka, wanita dengan tatapan mata yang menikam hati hingga membuatku tak berdaya dibuatnya, wanita yang telah menggugah selera cintaku setelah lima tahun lamanya terkubur bersama kenangan pahit. Juki langsung memperkenalkannya kepadaku. Aku hanya celingukan menahan malu dan ragu untuk menyambut tangannya yang terlihat lembut, karena tanpa aku sadari tangannya telah tersodor dihadapanku.
“Ana,“ kata itu terucap dari bibir mungilnya yang merona. “Arul,” balasku tersipu malu karena tak mampu menahan tatapan matanya yang begitu tajam dan bercahaya.
Setelah perkenalan itu kami pun sering bertegur sapa dan kadang aku juga sering sms atau telepon hanya sekedar ingin mendengarkan suaranya. Hari–hariku semakin dipenuhi dengan senyum dan wajahnya. Kadang kukirim puisi melalui sms untuknya, sekadar mengungkapkan perasaan secara tidak langsung. Tapi aku tak tahu apakah setiap puisi yang kukirim akan membuat senang atau malah membuat risih. Aku tetap tak peduli dengan semua itu, karena dalam otakku sekarang ini yang ada hanya dirinya. Tapi sebenarnya aku berharap dia selalu membalas setiap puisi yang kukirim, agar setidaknya aku bisa mengetahui perasaannya. Tidak hanya puisi yang sebenarnya ingin dibalas, tapi membalas perasaanku yang saat ini sedang menggelora.
Aku masih mencari tahu tentang dirinya. Apakah dirinya masih sendiri atau sudah punya pacar? Bagaimana tipe lelaki yang pantas untuknya? Dan lain sebagainya. Meski sudah beberapa kali berkomunikasi, aku masih menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan rasa ini secara langsung.
Sepertinya aku dibuat penasaran. Aku berharap semua rasa ini tidak pernah salah. Agar aku bisa benar-benar membangun rumah cinta. Beratapkan kemesraan dan berdindingkan kebahagiaan. Merawat, menyiram dan memupuknya dengan kasih sayang. Sehingga tidak ada lagi yang mampu untuk merobohkannya.
Pagi sangatlah cerah. Aku begitu bersemangat untuk menjalani aktivitas. Aku lihat sepucuk undangan tergeletak di atas meja pantri. Sepertinya ada karyawan kantor yang akan melangsungkan hajatan, karena dari beberapa karyawan ada yang statusnya masih sendiri, kemungkinan ada yang mau melangsungkan pernikahan. Atau mungkin ada karyawan yang ingin mengkhitankan anaknya. Langsung aku ambil undangan itu dan membacanya: ”Ana dan Dika akan melangsungkan pernikahan pada tanggal 03 Juli 2008 di Gedung Depati Barin.” Seketika itu pagi berubah menjadi hitam dan gelap.
Pangkalpinang, Juli 2008
Cerpen Karangan: Herlambang Kusuma Wardana Blog / Facebook: Lambang Pisungsung Herlambang Kusuma Wardana, lahir di Klaten. Sekarang tinggal di Semarang. Karyawan swasta. Puisinya dimuat di beberapa antologi puisi bersama. Cerpennya juga dimuat di cerpenmu.com. Dan juga menulis di Kompasiana.