Fatia memilin ujung jilbabnya. Senyumannya merekah. Hatinya melayang terbang, lupa daratan. Ekor matanya sibuk mencuri-curi pandang sosok yang sedang duduk di ujung meja. Sesosok lelaki sederhana dengan setelan kemeja flannel, dengan rambut jatuh menutup sebagian dahinya.
Cinta dalam diam. Sudah setahun Fatia tenggelam dalam “cinta dalam diam”. Sekedar melihatnya dari kejauhan. Mengaguminya dalam bungkam. Mengirimkan doa di sepertiga malam. Fatia sangat memelihara pohon cinta itu. Membiarkannya tumbuh dengan subur dalam hatinya tanpa ada seorang pun yang tau.
“Fatia, silahkan presentasikan rencana kegiatan baksos kalian!” Kang Edi membangunkan Fatia dari lamunannya. Membuatnya kembali merasakan daratan. Menyadarkan bahwa ia sedang berada dalam rapat. Fatia segera bangkit. “Baik, kami dari tim Bakti Sosial akan menjelaskan secara singkat gambaran kegiatan yang akan dilaksanaan pada…” Fatia memulai presentasi selaku bagian humas baksos dari kegiatan Outing Campus yang akan mereka laksanakan bulan depan. Para panitia memerhatikan dengan seksama. Notulen rapat sibuk meng-input setiap bagian penting.
“Untuk tempat pelaksanaan…” kalimat Fatia terhenti. Lelaki itu mengangkat tangannya. Mengirim debaran aneh pada hati Fatia. Napas Fatia tertahan selama beberapa detik. Membuatnya membeku. Fokusnya hampir saja hilang. “Ya Adam, ada apa?” Fatia memiringkan kepalanya bertanya. Sebaik mungkin, ia menjaga air mukanya saat itu. “Izin ke belakang.” ujar Adam, jarinya menunjuk pintu keluar. Fatia mengangguk, mempersilahkan. Adam bangkit dari kursinya, menuju keluar. Fatia menghela napas, bersyukur kesadarannya masih sempurna.
Rapat dilanjutkan, hingga mendekati waktu magrib. Tepat di hujung acara, Adam kembali dengan tangan yang penuh dengan kardus air mineral di tangan kanan dan kresek putih di tangan kiri. “Jangan bubar dulu! Nih ada sedikit cemilan, siapa tau ada yang berpuasa.” ujar Adam, lantas mulai membagikan air. Kang Edi yang selesai menutup acara sigap membantu. Fatia yang sejak tadi memerhatikan, bergumam dalam hati. ‘Jika ada malaikat sepertimu di bumi ini, bagaimana hatiku tidak jatuh cinta’. Petang itu juga, Fatia berbuka puasa sunah seninnya dengan iftor dari Adam.
Rapat selanjutnya tiba. Langkah Fatia sangat ringan untuk hadir lebih awal ke ruang rapat. Dirinya tak sabar untuk bertemu Adam yang hanya bisa ia lihat selama kegiatan rapat. Ruangan rapat mulai ramai. Satu persatu panitia hadir. Saling bertegur sapa. Sekedar bertukar kabar selama seminggu ini. Ujung mata Fatia siaga. Tak berhenti memerhatikan daun pintu. Menerka-nerka siapa yang berada di baliknya. Mengharapkan sosok Adam segera tampak.
“Assalamualaikum!” Adam datang dengan mengucapkan salam singkat. Laptop yang berada di tangannya masih terbuka. Earphonenya masih bertengger di leher. Ia seakan terburu-buru datang ke ruang rapat, sepertinya kuliah design grafiknya hari ini kembali memberi tugas tanpa ampun. Adam mengambil tempat duduk, kemudian berkutat kembali di depan laptop. Melupakan suasana sekitar sesaat. Ia tidak menyadari wanita berkerudung navy itu sibuk menundukkan pandangannya, takut hatinya berzina.
Tidak perlu alasan bagi seseorang untuk jatuh cinta, seperti Fatia yang tidak bisa mengontrol hatinya untuk tidak jatuh cinta. Desiran aneh yang ia rasakan ketika melihat Adam yang membagikan brosur kegiatan Outing Campus tahun lalu, mengajarkannya bahwa jatuh cinta tidak memerlukan alasan khusus. Anak multimedia yang setiap hari selalu sibuk berkutat di depan laptopnya itu telah memikat hati Fatia. Tanpa permisi. Menanamkan benih cinta di sana.
Di ujung lorong gedung Jurusan Sastra, Fatia menghentikan langkahnya tiba-tiba. Membuat Ita, teman yang sedang berjalan bersamanya kaget dan ikut berhenti. Fatia membuka matanya lebar. Terlihat dari kejauhan Adam yang berdiri di depan papan pengumuman gedung jurusan mereka, sedang menempelkan pamflet bersama Ka Dian. Tanpa sadar, lengkungan bibir Fatia naik. Ia tersenyum, tidak menyangka bisa melihat Adam di gedung jurusannya. Adam dan Ka Dian merupakan tim media relation untuk acara Outing Campus mereka tahun ini. Pagi ini, mereka berkeliling sekedar untuk mengunjungi papan mading setiap gedung jurusan untuk mempublikasi acara.
“E..eh? apaan sie tiba-tiba berhenti!” tanya Ita sambil menyenggol pundak Fatia. “Bentar… bentar…” jawab Fatia singkat tanpa memalingkan wajah. Ita menggeleng tidak habis pikir. Entah dia yang tidak sadar bahwa Fatia sedang jatuh cinta atau Fatia yang terlalu pintar menyimpan rahasia cintanya. Adam dan Ka Dian melangkah mundur dari papan mading. Pamflet telah indah terpampang di sana. Mereka membereskan peralatan. Fatia mencoba melangkah kecil penuh canggung, melanjutkan perjalanan mereka. Adam dan Ka Dian melangkah menuju arah mereka. Membuat tangan Fatia berkeringat dingin.
“Lah Fatia, kebetulan banget ketemu di sini. Ada kuliah pagi?” sapa Ka Dian ketika mereka bertemu di lorong. Fatia menundukkan kepala, menyapa mereka. Ujung matanya melirik Adam, menantikan reaksi darinya. Adam menatapnya. Wajahnya lebih ramah jika dilihat dari dekat. “Iya Ka” “Lagi bagi-bagi pamflet ya?” tanya Fatia basa-basi. “Iya nih, tapi dah kelar. Kita cabut dulu ya.” Jawab Ka Dian. Mereka berpamitan, keluar dari gedung sastra. Meninggalkan tatapan Fatia masih yang mengikuti ekor punggung Adam yang menghilang di gerbang.
Sajadah milik Fatia basah. Sejak sepertiga malam, ia mengadu pada Rabbnya. Mengadu keadaan batinnya yang kian hari kian merindu. Dulu ia tak tau, bahwa mencintai dalam diam akan sesakit ini. Namun sekarang, ia menanggungnya. Rasa ini perlu disampaikan, sebelum merusak akal sehatnya. Fatia merintih. Memohon agar rasa ini menemukan induknya.
Pagi datang dan akal sehat Fatia kian memudar. Fatia di sini, di depan gedung jurusan Desain Grafik, menanti Adam. Fatia tidak ingin lagi sekedar melihatnya dari kejauhan, ia ingin rasa cinta ini menjadi nyata. Ia ingin memiliki hubungan yang diakui. Adam datang dari kejauhan, memakai hoodie serta kacamata full framenya. Ia bersiap memasuki gerbang, hingga Fatia mendekatinya. Menghadang jalan. Membuatnya hampir terloncat.
“Maaf, tapi ada yang mau aku sampaikan. Jika kamu berkenan, kita ketemu lagi jam empat di taman belakang kampus.” Bibir Fatia bergetar. Ia mengatakannya dengan cepat, kemudian berpaling pergi. Benteng iman yang ia jaga selama ini runtuh, dikalahkan cinta dalam diam. Adam mengedipkan mata, mencoba mencerna apa yang terjadi pada seperkian detik yang lalu. Ia tau gadis itu bernama Fatia, gadis satu panitia Outing Campus dengannya dan hanya itu yang ia tau.
Di sisi dinding bangunan, Fatih berdiri menunggu Adam datang. Ia melatih kata-kata yang akan ia sampaikan. Pertanyaan cinta. Seperempat jam berlalu, namun batang hidung Adam tidak terlihat. Fatia bersandar lemas, mulai putus asa. ‘Mungkin ini takdir terbaik untukku’ lirihnya. Takdir untuk tertolak bahkan ketika belum menyatakan.
Di tengah pikiran yang berkecamuk, Adam datang namun tidak sendirian. Kang Edi bersamanya. Mereka berjalan menuju Fatia sambil berbincang cukup serius. Fatia menggenggam tangannya. Kakinya sibuk menginjak-nginjak tanah, gelisah. Tak menyangka keadaan yang ia rencanakan akan menjadi pisau yang akan membunuhnya. Fatia membanting otak. Memikir topik lain yang pantas untuk dibicarakan nanti.
Adam dan Kang Edi telah tiba, tepat di hadapannya. “Maaf terlambat, ini tiba-tiba Ka Edi minta revisi pamflet.” Ujar Adam. Untuk pertama kalinya, Adam berbicara langsung dengan Fatia. Membuat hati gadis itu berdesir. Desiran Cinta. “Mau ngobrol disini?” tanya Adam santai. Fatia mengeritkan dahi, merasa kecewa. Memang bukan salah Adam jika ia bersikap sesantai ini. Bukan salah Adam juga jika Fatia sibuk menghabiskan malamnya untuk mempersiapkan momen ini, hingga sukar memejamkan mata. “Emm, gapapa kok, aku cuman mau ngabarin sesuatu, mumpung ada Ka Edi juga.” Jawab Fatia, ia mengigit bibirnya gugup. Berharap kalimat selanjutnya tidak terdengar aneh.
Cerpen Karangan: Nafi’aturohmah Blog / Facebook: N.R Seorang anak rantau asal Borneo yang sedang berjuang dengan skripsinya di Tanah Sunda