“Emm… jadi tadi pagi dosenku ngabarin kalau salah satu perwakilan lomba debat yang sudah berangkat kemarin ke Bali sakit, jadi beliau nawarin aku buat ngambil posisi itu. Tapi masalahnya, peranku di panitia sebagai tim humas kegiatan Baksos jadi pertimbangan. Nah, jika Adam berkenan, aku mau minta tolong untuk gantiin peran itu.” Jelas Fatia pelan. Ia menggenggam tangannya erat, takut salah bicara. Ia bersyukur ada tema yang pantas melintas di pikirannya. Sebenarnya Fatia sudah menolak penawaran itu mentah-mentah tadi pagi. Ia tak ingin kesempatan Outing Campus yang akan menghadirkan momen bersama Adam terlewatkan sia-sia. Namun siapa sangka, sekarang ia harus segera berlari menuju ruang dosen untuk menarik perkataannya dan terpaksa melepaskan kesempatan untuk hadir di Outing Campus tahun ini.
“Kenapa gak kabarin aku dulu Fatia?” ujar Ka Edi tiba-tiba. Fatia berdehem, berpikir lebih keras. “Emm… sebenarnya aku akan ngabarin Ka Edi setelah dapat persetujuan dari Adam. Ka Edi ingatkan, peraturan panitia nomor sepuluh, bagi yang mundur atau tidak bisa ikut andil harus mencari pengganti.” Ujar Fatia. Ia tersenyum, merasa bangga pada dirinya yang mampu bertahan dari serangan. “Oke…” ucap Adam menimpali. Fatia menoleh, mempertajam pendengarannya. “Aku sie gapapa. Kalau sekedar urusan humas, mungkin masih bisa aku handle, berhubungan tugas di media relation sudah rampung 80%.” Lanjutnya, menyetujui permintaan Fatia. “Ohya… syukurlah kalau begitu…” ujar Fatia sambil menepuk kedua tangannya, menampakkan ekspresi senang yang bertolak belakang dengan perasaan hatinya sekarang.
Pertemuan mereka selesai. Menyisakan hal menganjal dalam hati Adam. Meninggalkan Fatia yang menyumpahi dirinya karena hampir terjatuh ke dalam kemaksiatan yang hanya akan mencelanya. Kehadiran Ka Edi yang tiba-tiba itu seakan menjadi teguran langsung buatnya. Fatia pulang dengan janji akan menjaga cinta itu tetap suci.
Padang rumput hijau membentang di hadapan Adam. Ujung jaketnya berkibar-kibar diterpa angin. Kincir angin raksasa gagah berputar di puncak bukit di seberang. Bebatuan tempat ia berpinjak memudahkannya melihat matahari yang berada di ufuk timur, memancarkan sinar jingga. Area camp Outing Campus jauh berada sepuluh meter dari tempatnya. Adam mengeluarkan ponselnya, memeriksa sinyal di sana. Sudah tiga hari mereka Outing Campus, dan selama itu mereka terputus hubungan dari dunia luar. Tanpa ada sinyal. Tanpa ada kabar darinya. Outing Campus yang bertema “Kembali bersama Alam” itu benar-benar membuatnya kembali ke alam, jauh dari kehidupan manusia.
Pandangan Adam menerawang, sekilas terpintas di pikirannya kejadian sepekan lalu. Kejadian yang masih meninggalkan tanda tanya. Ketika Fatia tiba-tiba meminta bantuannya untuk menggantikannya, ia sadar bahwa ada maksud lain yang masih tersembunyi dari pertemuan mereka. Dimulai dari kehadiran Fatia di depan gerbang kampusnya pada pagi buta, hingga dosen yang memanggilnya pada pagi hari itu juga, semuanya mengganjal. Meninggalkan tanda tanya tanpa jawaban. Adam tak banyak mengetahui tentang Fatia. Bahkan sebenarnya, ia tidak pernah sadar kapan Fatia hadir pada rapat-rapat mereka. Namun sikap Fatia akhir-akhir ini membuatnya sedikit sadar akan kehadiran gadis itu. Seperti hari ini, lagi-lagi ia merasa ada yang kosong dari harinya.
“Tes… tes… oke… dalam satu jam kita akan mulai. Semua departement diharap standby di tempat masing-masing.” Talkhie walkhie milik Adam bergetar, bersuara. Panitia memintanya kembali. Hari ini, penutupan acara Outing Campus telah tiba. Sebelum kembali, Adam berhenti di salah satu pohon. Ia mengeluarkan slayer jingga yang selalu terikat di kantong celananya. Mengikatnya di salah satu dahan. Meninggalkan jejak seperti yang selalu ia lakukan setiap lintas alam. Panitia mulai sibuk bersiap-siap, hingga mereka tak sadar bahwa Fatia yang telah pulang dari Bali tiba di camp, mengunjungi mereka.
Fatia turun dari mobil travel yang membawanya. Piala juara II yang mereka raih, sudah berada di tangan dosen di kampus. Udara pedesaan berhembus sejuk. Membelai wajah Fatia yang merah berseri. Tepat seminggu ia tidak berkomunikasi dengan panitia Outing Campus, apalagi dengan Adam. Hal itu hampir mustahil. Fatia menyapu pandangannya. Berharap menemukan bayangan Adam di tengah hiruk pikuk camp. Namun nihil, panitia Outing Campus sudah berangkat. Mereka pergi untuk standby di setiap pos lintas alam yang akan berlangsung satu jam lagi. Fatia menghela napas, sedikit kecewa. Ia melangkah lemas menuju bebatuan di ujung bukit. Berharap mendapatkan tempat beristirahat setelah jatuh bangun mengejar materi debat semingguan terakhir. Sejujurnya badannya remuk, butuh rehat. Penerbangan panjang dari Bali menuju Jogja ditambah perjalanan terjal memasuki pedesaan menambah keletihan badan dan pikirannya. Namun ia tak peduli, ia yakin istirahat yang ia inginkan akan ia dapatkan di sini.
Padang rumput hijau menanti Fatia di depannya. Fatia mempercepat langkah. Terlihat kubah kincir angin raksasa dari balik bukit. Pandangan indah itu terhampar indah. Meringankan sedikit lelah batinnya. Dengan sigap, Fatia mengeluarkan ponsel, siap memenuhi galeri ponselnya. Ia menempatkan ponselnya di depan mata, membidik setiap objek. Dimulai dari kincir angin raksasa, berpindah ke padang rumput, kemudian aliran air jernih yang mengalir di antara dua bukit.
Fatia memutar badannya 360% enggan meninggalkan satu sudut pun. Ia takjub. Semua yang di hadapannya sungguh indah, bahkan bebatuan yang ia pinjak sekarang. Fatia tidak melepas bidikan ponselnya, hingga sudut kamera itu menangkap selembar kain slayer berwarna jingga yang terbang indah terbawa angin di salah satu dahan pohon yang berada tepat di belakangnya. Fatia menurunkan ponselnya kaget, ia mendekati pohon itu. Ia tau pemilik dari slayer itu. Slayer itu selalu memiliki arti khusus baginya. Slayer yang selalu memudahkannya dalam mencari sosok Adam. Slayer yang sigap menghentikan pendarahan dari salah seorang peserta Outing Camping tahun kemarin. Slayer yang selalu Adam ikat di kantong celananya. Wujud slayer itu kini hadir di hadapannya. Mengirimkan sinyal kepada Fatia, bahwa ia sedang berada di bumi yang sama dengan Adam.
Fatia mengeluarkan sapu tangan bertuliskan Bali yang ia simpan dalam tas. Sebelumnya, dia berniat untuk memberikannya langsung kepada Adam. Selain sebagai bentuk terima kasih karena telah menggantikan perannya, juga untuk dijadikan kenang-kenangan. Tapi Fatia urungkan niat itu, ia sadar jika ia melakukannya, langkah selanjutnya akan menjadi lebih berani dan akan membuatnya jatuh ke lubang. Biarlah cinta dalam diam ini tetap damai menjadi bagian dari hidupnya. Fatia mengikat sapu tangan itu di samping slayer milik Adam. Biarlah sapu tangan itu yang mewakili mimpi Fatia untuk bisa berada dekat di samping pemilik slayer.
“Fatia…!” terdengar suara Ita memanggil, ia berlari kecil mendekat. Fatia melambai, mereka berpelukan sesaat. Ita menyelamati Fatia atas kemenangan lomba debatnya. “Rencananya mau langsung balik ke rumah nih setelah ini?” tanya Ita, membuat Fatia berpikir sejenak. “Emmm, kalau aku mau ikut api unggun malam ini, boleh kan?” “Oh ya? welcome banget dong. Tapi emang kamu bawa perlengkapan?” tanya Ita kembali, ia amati gaya pakaian Fatia yang seperti sedang melakukan kunjungan sementara, terlalu santai dan bergaya kota. Fatia memukul kepalanya, merasa bodoh. Saking semangatnya untuk berangkat ke area camp, Fatia sampai lupa untuk menyiapkan pakaian. Ia hanya membawa ransel kecil praktisnya yang menyimpan perlengkapan mandi, make up dan ponsel. Sedangkan pakaian, kumpulan materi dan perlengkapan lain tertinggal dalam koper yang ia kirim langsung ke rumah setelah mendarat subuh tadi.
“Kamu gak bawa apa-apa Fatia!” Ita tercengang. Bibir Fatia manyun lesu, cahaya harapannya pupus. ‘Sungguh teledor’ pikirnya. “Terus kamu mau gimana?” tanya Ita. Fatia menatapnya penuh harap. Mengirim permohonan yang tersirat. Ita tertawa kecil, paham maksud tatapan Fatia. “Oke… oke… aku paham. Tapi tanggung sendiri kalau kamu bakal kedinginan malam ini. Jaketku cuman satu. Ingat itu!” Ancam Ita. Fatia memeluknya kembali, berterima kasih.
Cerpen Karangan: Nafi’aturohmah Blog / Facebook: N.R Seorang anak rantau asal Borneo yang sedang berjuang dengan skripsinya di Tanah Sunda