Malam tiba. Semua peserta duduk mengitari api. Fatia berdiri di depan tenda. Benar kata Ita, udara malam di pedesaan jauh lebih dingin. Ia merapatkan pakaiannya yang tipis. Mendekati api unggun, mengharapkan kehangatan di sana. Ita sudah meninggalkannya sejak sore tadi, ia sibuk mondar mandir mengatur konsumsi untuk malam ini. ‘Semua orang sibuk, cuman aku yang pengangguran.’ Ujar batinnya. Api unggun berkobar terang, menerangi area sekitarnya. Menyebar udara hangat. Percikan-percikan api berterbangan, kemudian menghilang di udara. Tarian api itu melayangkan pikiran Fatia. Ia melamun.
“Kak!” seseorang menyentuh pundak Fatia. Ia menoleh, ternyata salah seorang adik kelas yang ia kenal. “Ini ada titipan selimut” lanjutnya. “Dari siapa?” tanya Fatia. “Itu, dari kakak yang di sana.” Ujarnya sambil menunjuk ke seberang api unggun. Di sana, jauh di seberang. Beberapa orang sedang berdiri, berbincang-bincang. Namun ekor mata Fatia hanya menangkap sosoknya. Sosok Adam yang sedang berdiri gagah, wajahnya bersinar terkena sinar api. Ia sedang memastikan api unggun menyala dengan baik. Hati Fatia berdetak kencang, entah bahagia atau bertanya-tanya. Atas dasar apa selimut ini tiba untuk menghangatkan badannya yang kedinginan? Apa yang terjadi selama aku pergi? Apakah Adam selama ini juga memerhatikannya?
Sore hari itu. Beberapa jam sebelum menyalakan api unggun. Adam kembali mengunjungi bukit bebatuan, kali ini dengan membawa kapak, berharap menemukan kayu bakar tambahan untuk api unggun malam ini. Ketika ia sibuk mencari, matanya menemukan benda mengganjal, tepat tergantung di samping slayer miliknya. Adam mendekat penasaran. “Dari Bali?” tanya Adam ketika membaca tulisan dari sapu tangan berwarna biru itu. Adam tertawa kecil, ia merasa pertanyaan pagi tadi sudah terjawab. “Siapa lagi yang mungkin meninggalkan sapu tangan Bali ini di sini, kecuali jika gadis itu yang sudah pulang dari Bali” ujarnya. Adam mengambil sapu tangan itu. Menyimpannya aman dalam kantung saku bajunya. Tidak butuh peristiwa istiwema untuk membuat seseorang jatuh cinta. Perbuatan kecil dan sederhana yang Fatia lakukan itu berhasil mengirim desiran cinta pada hati Adam. Adam kembali ke camp, dengan harapan menemukan sosok itu. Sosok yang tanpa ia sadari telah mengisi ruang di hatinya beberapa hari ini.
Langit semakin gelap, hamparan hijau yang Fatia lihat pagi hari tadi kini menjadi lubang hitam yang menyeramkan. Acara api unggun telah selesai. Kini seluruh peserta kembali ke tenda mereka untuk beristirahat, bersiap untuk pulang besok pagi-pagi sekali. Fatia berjalan menuju ke tenda panitia masih dengan selimut yang melingkar di badannya. Ia ingin menyapa mereka dan memberikan beberapa kotak bolu susu dari Bali. Sejak pagi ia tidak menemukan waktu yang tepat karena panitia yang terlalu sibuk bolak balik tenda.
“Assalamualaikum” sapa Fatia begitu tiba. Tenda panitia bukan tenda untuk berkemah, lebih mirip seperti tenda untuk pesta, dengan empat pasak yang tertancap di setiap sisi dan sebuah meja besar di tengahnya. “Wa’alaikumussalaam” jawab mereka. Beberapa panitia sedang berkumpul mengemas pelaratan. “Ternyata Fatia, sini… sini… gimana lombanya kemarin?” sapa salah seorang disana. Mereka mulai mendekati Fatia dan menyalaminya. “Yah Alhamdulillah, walaupun hanya menang di peringkat kedua.” jawab Fatia yang kini sudah duduk di atas kursi yang mengitari meja. “Halah, gapapa. Itu sudah termasuk bagus bagi yang persiapannya dadakan.” Timpal Ka Edi yang tiba-tiba muncul dari belakang tenda bersama Adam. Fatia tersenyum, entah karena menanggapi perkataan Ka Edi atau karena sosok Adam yang muncul bersamanya. Fatia teringat sapu tangan yang ia tinggalkan di samping slayer milik Adam, ‘kamu baik-baik saja kan di sana?’ harapnya.
“Oh ya, ini ada sedikit oleh-oleh dari Bali.” Ujar Fatia mencoba menata detak jantungnya yang berdebar kencang. Ia menyerahkan bingkisan itu, kemudian mereka duduk melingkar berbagi cerita. “Ya sudah, aku pamit dulu. Sekali lagi, maaf belum bisa bantu apa-apa.” Pamit Fatia bangkit dari tempat duduk. Keluar dari tenda.
Tepat sepuluh langkah dari pintu tenda, lelaki itu memanggilnya. “Fatia…” teriak Adam. Membuat Fatia berpaling. Ia terkesiap melihat siapa yang memanggilnya. “Welcome to our camp.” Lanjut Adam sambil tersenyum. Mata Fatia menyipit, mumbuat eye smile di sana, membalas senyuman Adam. Ia kemudian mengangguk, mengancungkan jempol. Meskipun ucapan itu terlambat, namun tetap berharga bagi Fatia. “Makasih untuk selimutnya.” Ucap Fatia, teringat selimut yang masih berada di pundaknya. “Sama-sama. Tapi itu milik tim kesehatan, tolong sekalian kembalikan ke mereka besok.” ujar Adam, sambil menggaruk kepala yang tidak gatal, merasa malu. Fatia tertawa. “Tenang, bakal aku balikin dengan selamat.” Jawabnya ramah.
Setahun kemudian Mata Fatia siaga mengintip ke arah ruang tamu rumahnya. Tepat di atas sofa rotan yang menghadap lukisan ka’bah, Adam duduk di sana. Berhadapan dengan ayahnya. Baju koko putih yang dia kenakan memberi kesan damai dan rapi. Fatia menyentuh dadanya, menahan hatinya yang hampir terloncat dari tempat. Nafasnya terhenti sejak lelaki itu mengetuk pintu rumahnya. Matanya tak percaya apa yang ia lihat.
“Perkenalan saya Adam pak, salah satu teman kuliah Fatia dulu namun beda jurusan.” Adam memulai percakapan, tanpa basa basi dan tanpa menanyakan keadaan Fatia saat ini.
“Maksud kedatangan saya kesini untuk melamar anak bapak.” Lanjut Adam dengan suara mantap. Fatia mengantupkan kedua mulutnya, menahan teriakan. Ujung matanya mulai berair. Sungguh sebuah kejutan besar di penghujung hari yang damai. Bapak Fatia terdiam, tidak mampu menjawab. Beliau melirik ke dalam tirai ruang tengah, mendapati bayangan Fatia di sana.
“Saya akan serahkan jawabannya langsung ke putri saya.” Jawab bapak Fatia, lantas masuk ke dalam. Memanggil Fatia yang sedari tadi membeku. Fatia melangkah ragu menuju ruang tamu. Wajah Adam lebih berseri dari sebelumnya. Kilatan matanya memancarkan kesungguhan. Membuat hati Fatia terenyuh. Kini mereka saling berhadap-hadapan. Ditemani ayah Fatia.
“Bagaimana Ka?” tanya bapak Fatia setelah menjelaskan percakapan sebelumnya yang sebenarnya Fatia dengar dari awal. Fatia menarik nafas dalam. Mencoba berpikir jernih.
“Kenapa semuanya terasa tiba-tiba?” Fatia membuka suara. Sungguh ia ingin langsung menerima lamaran ini, namun kebingungannya juga membutuhkan jawaban. Adam menatapnya, untuk pertama kalinya sejak perpisahan mereka setahun lalu. Desiran cinta yang telah Fatia kubur sejak wisuda mereka terpaksa bangkit kembali. Membuat hatinya ngilu karena pacuan jantung yang begitu cepat.
“Semuanya… sejak pertemuan kita di depan gerbang gedung Desain Grafik tahun lalu, kemudian pertemuan kita di belakang gedung, hingga sapu tangan yang aku temukan di dahan slayer. Semuanya seperti kebetulan yang disengaja. Aku ingin tau apa maksud di balik itu semua. Makanya, sejak itu aku gak bisa untuk tidak menganggap kehadiranmu. Seperti seorang buta yang dituntun ketika berjalan. Aku seakan dituntun untuk belajar lebih banyak tentang kamu. Dan sekarang aku tau, bahwa kamu adalah jawaban dari doa-doaku.” Jawab Adam sambil menunjukkan sapu tangun yang ia keluarkan dari sakunya. Nangis Fatia pecah. Jika ini hanya mimpi, Fatia harap ia tidak pernah bangun untuk selamanya. Namun semua nyata, kini Adam berada di hadapannya. Melamarnya untuk menjadi teman hidup selamanya.
“Slayer ini aku kembalikan.” Ujar Adam sambil menyerahkan sapu tangan milik Fatia.
“Karena sapu tangan ini telah menemukan tuannya. Jangan menangis lagi, setelah ini hanya akan ada kebahagiaan. Aku berjanji.” Lanjut Adam. Fatia mengambil sapu tangan itu dengan tangan bergemetar. Perlahan ia menghapus air matanya.
“Bismillah, lamaran ini aku terima.” Fatia mengadahkan kepalanya. Tersenyum indah untuk calon imamnya.
Cerpen Karangan: Nafi’aturohmah Blog / Facebook: N.R Seorang anak rantau asal Borneo yang sedang berjuang dengan skripsinya di Tanah Sunda